Minggu, 10 Januari 2021
Benteng Pale'a sebagai Pusat Peradaban Kaledupa
Oleh : Ahmad Daulani
Sama seperti kerajaan pada umumnya, Kaledupa yang memiliki histori panjang sebagai kerajaan vasal juga memiliki banyak peninggalan sejarah yang belum terungkap. Diantaranya benteng dan bukti fisik lainnya yang menurut masyarakat setempat memiliki peran dan makna penting dalam sejarah peradaban Kaledupa.
Dipulau Kaledupa terdapat beberapa benteng peninggalan peradaban masa lampau yang menjadi warisan leluhur sebagai saksi sejarah sebagai hasil karya yang sangat mengagumkan oleh manusia sekarang. Ada 2 benteng besar yang masih tersisa meskipun sebagain sudah mengalami kerusakan karena dimakan usia dan tidak terawat lagi yaitu benteng Pale'a sebagai jejak peradaban Kaledupa sebagai kerajaan dan benteng Ollo sebagai jejak Kaledupa sebagai barata Kahedupa yang telah terintegrasi sebagai bagian dari wilayah kesultanan Buton.
Benteng Pale'a sekarang terletak di desa Pale'a kecamatan Kaledupa Selatan Kabupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara . Benteng ini terletak dibukit sebelah utara pulau Kaledupa. Posisi benteng yang terletak diatas bukit yang mengarah langsung kearah laut menjadi posisi yang sangat strategis untuk dijadikan sebagai pemukiman dan memantau setiap aktivitas para pelintas yang melewati perairan kerajaan Kahedupa. Posisi ini juga sangat strategis untuk memantau kedatangan para musuh jika terdapat serangan yang hendak mengancam keamanan kerajaan dan keamanan rakyat Kaledupa pada masa itu.
Benteng Pale'a pertama kali dibangun oleh raja Tongka Allamu pada masa pemerintahannya (1260 - 1310) ia merupakan anak ulama persia Muhammad Ma'arifatubillah Qurki yang datang melakukan syiar Islam ke Kaledupa. (La Ode Sariu : wawancara 2019)
Tongka Allamu diangkat menjadi raja oleh para tetua sara sara fungka yaitu tetua fungka Patua Bente La Rahamani, tetua fungka Pangilia La Serewaha dan tetua fungka Horuo La Taayoni dalam musyawarah penyatuan wilayah sara sara fungka menjadi kerajaan Kahedupa.
Tongka Allamu yang bernama Muhammad Umar Muhadar kemudian dinobatkan sebagai raja pertama Kerajaan Kahedupa dengan gelar Muhammad Ndangi Tongka Allamu atau lebih dikenal raja Tongka Allamu.
Dalam masa pemerintahannya merasa perlu membangun benteng sebagai simbol kekuatann untuk melindungi rakyat dan seluruh pemerintahan kerajaan Kahedupa. Fungsi benteng tersebut adalah selain untuk tempat pemukiman dan menjadi sentral aktivitas kerajaan Kahedupa juga menjadi sistem pertahanan diri dari serangan musuh. Benteng ini juga memiliki hubungan dengan benteng benteng lain yang sudah dibangun di fungka Patua, fungka Pangilia dan di fungka Horuo.
Benteng Pale'a dibangun dari susunan batu batu gunung yang sangat rapi dan tanpa perekat semen. Batu batu gunung tersebut diambil dari gunung Pangilia dengan cara posaka-posaka (gotong royong) oleh rakyat kaledupa. Ada juga mitos yang menceritakan bahwa konon batu batu itu dipindahkan oleh manusia berkekutan gaib dengan bantuan jin. (Wa Ata dalam Ngirusliati)
Adapun bentuk benteng Pale'a persegi panjang ada juga sebagian sumber yang mengatakan bahwa benteng berbentuk lafaz "ALLAH". Luas benteng sekitar 100x120 meter persegi dengan ketinggian tembok yang tidak merata. Didalam benteng terdapat beberapa bangunan penting lainnya seperti Bantea (Baruga), Kamali (istana raja). Benteng Pale'a dilengkapi dengan 4 lawa (pintu masuk) yaitu Lawa Naga, Lawa Montu, Lawa Te'e, dan Lawa Sambalagi yang masing-masing lawa diarahkan sesuai 4 penjuru mata angin. Lawa utamanya adalah Lawa Naga, penamaan dan fungsi lawa naga bersumber dari hikayat pelantikan raja, "te tombi no bhelo bhelo dilawa Naga Nu Pale'a). (La Ode Abdul Fattah : wawancara 2019)
Selama masa pemerintahan Tongka Allamu tidaklah cukup waktu untuk membangun benteng sampai sempurna, sehingga pembangunan benteng Pale'a dilanjutkan sampai masa pemerintahan selanjutnya dimasa raja ke 2 Syamsa Allamu. Raja Syamsa Allamu membangun benteng dgn merubah kontruksi benteng, ia menambah 3 lawa baru yaitu Lawa Langge, Lawa Tampara, Lawa Horuo sehingga benteng Pale'a memiliki 7 lawa dan ketebalan tembok menjadi 1,5 meter.
Kerajaan Kaledupa eksis sebagai negara vasal yang berdaulat sejak tahun 1260 M sampai tahun 1635 M dan terjadi pergantian kepemimpinan sebanyak 10 orang raja. Setelah kerajaan Kahedupa terintegrasi dalam kesultanan Buton menjadi Barata dari empat barata sebagai bagian wilayah kesultanan Buton. Sebagai wilayah barata, barata Kaledupa memiliki otonomi sendiri untuk mengelola wilayahnya sendiri terutama menjaga stabilitas keamanan diwilayah teritorialnya. Sehingga sebagai barata Kaledupa memiliki struktur pemerintahan dan jabatan hampir sama dengan stuktur pemerintahan dalam keraton Buton.
Barata Kahedupa pertama kali dipimpin oleh Kasafari (1635-1673 M). Pimpinan barata Kahedupa tidak lagi disebut sebagai Raja tapi disebut Lakina Kahedupa. Dalam masa pemerintahannya sebagai Lakina Kahedupa Kasafari masih bertempat di benteng Pale'a, namun Kasafari meragukan kemampuan benteng Pale'a dari serangan musuh. Informasi ini didapatkan dari hikayat Kasafari "faina faina ngkumonini te bentesu raga safaka fakkano". Sehingga masyarakat barata Kahedupa memperluas benteng Pale'a menjadi benteng berlapis. Lapisan luar benteng dibangunkan dinding setinggi 5 meter. (Sumber yang tidak ingin disebutkan namanya)
Setelah beberapa tahun menjadi Lakina Kahedupa Kasawari kemudian diperintahkan oleh Sultan Buton untuk membangun benteng diwilayah fungka Patua Bente. Awalnya pembangunan benteng itu untuk menjadi pusat kajian Islam karena posisinya yang dekat dengan mesjid Agung Bente yang merupakan mesjid agung barata Kahedupa. Pembangunan benteng Ollo lansung diawasi oleh La Ode Batini yang notabene menjabat sebagai Bonto To'oge Barata Kahedupa. Pembangunan benteng tersebut terus dilakukan oleh Lakina Lakina Kahedupa setelah Kasafari. Pembangunan benteng terus dilanjutkan pada masa Lakina Yiindolu Palea (1673-1702 M), kemudian dimasa Lakina Sangia Jalima (1702-1727 M), kemudian dimasa Lakina Galampa Melangka ((1727-144 M), kemudian dimasa Lakina Sangia Wande-Wande (1744-1764 M). (Catatan barata Kahedupa)
Pada masa pemerintahan Lakina Kahedupa ke 6, Lakina Sangia Geresa fungsi benteng Palea yang notabene sebagai pusat pemerintahan sepenuhnya dipindahkan ke benteng Ollo dan benteng Pale'a tidak lagi menjadi pusat pemerintahan. Benteng Pale'a hanya menjadi pemukiman warga dari kalangan bangsawan dan menjadi tempat penyimpinanan persenjataan. Pemindahan fungsi benteng tersebut berdasarkan kesepakatan dewan sara adat Barata Kahedupa. Namun kesepakan itu dilatar belakangi oleh beberapa alasan.
1. Adanya desakan dari Sultan Buton karena faktor politik dimana kerajaan Kahedupa saat itu memulai babak baru peradabannya sebagai barata Kahedupa yang terintegrasi menjadi bagian dari wilayah kesultanan Buton bukan lagi sebagai kerajaan Kahedupa yang berdaulat, alasan ini menurut para sumber merupakan alasan paling kuat karena Buton ingin menghilangkan keistimewaan Kahedupa yang pernah diberikan oleh Sultan.
2. Pertimbangan geografis karena benteng Ollo dianggap lebih strategis berada dipertengahan perbatasan wilayah Umbosa (Timur) dan Siofa (Barat).
3. Alasan penting lainnya karena tarikan benteng Ollo yang tidak jauh dari bukit Tapaa yang diyakini oleh masyarakat setempat adalah puo nufuta (pusat tanah) yang dijadikan sebagai temoat pertapaan dan tafakur.
Benteng Pale'a merupan hasil karya masyarakat Kaledupa masa lampau yang menjadi pusat peradabadan dan pusat pemerintahan selama ratusan tahun dan pernah diduduki oleh 15 pemimpin yaitu 10 Raja kerajaan Kahedupa dan 5 orang Lakina Barata Kahedupa. Karena keberadaanya sekarang dapat dijadikan sebagai bukti dan saksi sejarah yang mendeksripsikan kehidupan masa lampau dan menjadi warisan untuk generasi sekarang dan akan datang.
-------Disusun oleh : Ahmad Daulani
La Donda, Jejak Orang Mongol di Kahedupa
Oleh : Ahmad Daulani
Bangsa Mongol adalah masyarakat nomaden yang berasal dari pegunungan Mongolia yang membentang dari Asia Tengah sampai Siberia Utara, Tibet Selatan dan Turkistan Timur. Nenek moyang mereka bernama Alanja Khan yang mempunyai dua putra kembar bernama Tar Tar dan Mongol.
Dari kedua orang inilah yang melahirkan dua suku bangsa besar yaitu Mongol dan Tar Tar. Dalam kurun waktu yang cukup lama bangsa Mongol bertahan dengan menjalani kehidupan yang sangat sederhana. Mereka mendirikan kemah-kemah dan berpindah pindah dari tempat satu ketempat yang lain, mengembala dan hidup dari hasil buruan.
Sebagaimana bangsa nomaden pada umumnya, orang orang Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani menghadang maut demi mencapai keinginanya. Bangsa Mongol juga dikenal dengan kesetiaan dan kepatuhan terhadap pemimpin mereka. (M. Abdul Karim, Islam di Asian Tengah ; Sejarah Dinasti Mongol)
Pada mulanya keyakinan yang di anut bangsa Mongol adalah Syamanisme (Syamaniah) yaitu keyakinan yang menyembah matahari sedang terbit, bintang-bintang, dan menyembah kepada arwah-arwah terutama kepada roh jahat yang dianggap mampu mendatangkan bencana. Disamping itu bangsa Mongol juga sangat memuliakan arwah-arwah nenek moyang mereka yang dianggap masih memiliki kekuasaan untuk mengatur hidup keturunannya. (Hasan, Ibrahim, Tarik Al Islam ; jilid IV. 1979) h. 132-133
Salah satu ritual Syamanisme yang sering di lakukan yakni dalam berkomunikasi dengan arwah dengan menggunakan sesajian, dupa dengan mantra dan gerakan yang sangat khas. Kemajuan besar-besaran bangsa Mongol barulah di mulai pada masa kepemimpinan Timujin atau Jenghis Khan dimana pada masa itu bangsa Mongol berhasil menyatukan 13 kelompok suku. Jenghis khan memimpin bangsa mongol diusia 13 tahun menggantikan ayahnya Yasughei Khan.
Selama 30 tahun ia melatih dan memperkuat pasukan perangnya sehingga menjadi pasukan yang teratur dan tangguh. Dalam aturan ilyasiq yang menjadi undang-undang bangsa Mongol, laki-laki dan perempuan meiliki kewajiban yang sama dalam kemiliteran. Pasukan perang Mongol dibagi dalam kelompok besar dan kecil, tiap tiap kelompok dipimpin oleh satu orang komandan.
Setelah pasukan perangnya terorganisir dengan baik, Jenghis Khan berusaha memperluas wilayah kekuasan dengan melakukan penaklukan wilayah lain. Serangan pertama diarahkan ke Kerajaan Cina dan berhasil mendudukinya pada tahun 1215 M. (Najamuddin Muhammad : Jenghins Khan sang Pengembala yang menaklukan dunia)
Dimasa kepemimpinan Hulagu Khan sasaran penyerangan diarahkan ke negeri negeri Islam yang puncaknya adalah penyerangan kota Baghdad sebagai pusat peradaban dunia Islam dibawah kepemimpinan Khalifah Al Mutashim II yang merupakan penguasa terakhir dari Khalifah Abbasyiah. Dengan pembantaian kejam, kota Baghdad di taklukkan dan berhasil dikuasai pada tahun 1258 M. Masa ini menandai berakhirnya kekuasaan Bani Abbasiyah. Bangsa Mongol memperkuat kekuasaannya diwilayah tersebut selama ± 2 tahun. (Ali Mufrodi, Islam dikawasan Dunia Arab. Cet I : Jakarta : Logos, 1997
Selanjutnya mereka mulai bergerak ke wilayah Syria dan Mesir menyeberangi sungai Eufrat dan berhasil menaklukan wilayah Nablus dan Gaza pada tahun 1260 M. Setelah menguasai Syria pasukan Mongol terus bergerak ke wilayah Mesir yang merupakan pusat kota Dinasti Mamluk. Namun di Mesir, Mongol mendapat perlawanan yang sangat kuat dari Kerajaan Mamluk dibawah pimpinan Sultan Syarifuddin Qutus.
Tahun 1260 terjadi perang antara Mongol dan Mamluk di Ain Jalut (Perang Ain Jalut) yang pada akhirnya Mongol mengalami kekalahan terbesar sepanjang sejarah Mongol. Sultan Syarifuddin Qutus terus mendesak dan mengusir pasukan mongol hingga keluar dari wilayah Damaskus dan Syria. (Ahmad Syalaki ; Mausu'ah Al-Tarikh Al Islami wa Al Hadharah Al Islaniyah, 1979)
Dimasa kepeimpinan Monke Khan, bangsa Mongol terus melakukan ekspansi ke wilayah India, Vietnam, Kamboja, Thailand, Rusia, Asia Tengah, Eropa Timur, Burma, Korea, Timur Tengah bahkan sampai ke kerajaan Jepang dll. (Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam. Cet II, 2000)
(Man John dalam Risa Rehardisa : 2018) Dimasa kepemimpinan Khublai Khan pasukan Mongol terus melanjutkan ekspansi hingga sampai ke wilayah nusantara. Pada tahun 1293 M, Khublai Khan mengirimkan invasi dalam jumlah besar sampai 30.000 pasukan dengan ratusan para perwira. Invasi itu dipimpin oleh 3 orang panglima yaitu Shi Bi, Ike Mese dan Gao Xing.
Pasukan Mongol pertama kali mendarat di wilayah Tuban, dan mendirikan perkemahan disana. Kemudian Iki Mese mengirimkan utusan untuk menemui Raden Wijaya agar tunduk dan mengakui kekuasaan Khublai Khan. Tetapi Raden Wijaya memberikan syarat bahwa akan tunduk pada kekuasaan Khublai Khan kalau pasukan Mongol membantunya melawan Jayakatwang dari Gelang-Gelang yang telah membunuh Raja Kertanegara dan menghancurkan Singhasari. Mongol menyetujui permintaan Raden Wijaya untuk bergabung untuk melawan Jayakarta dan berhasil dikalahkan.
Setelah kemenangan itu Raden Wijaya meminta izin pulang ke Majapahit dengan alasan untuk mengambil upeti yang akan diserahkan kepada Khublai Khan. Perjalanan raden wijaya dikawal oleh 2 orang perwira dan 200 pasukan Mongol. Ditengah perjalanan Raden Wijaya berbalik bertempur dengan pasukan mongol yang mengiringinya, kemudian menyerang pasukan mongol diperkemahan yang tengah mengadakan pesta kemenangan mereka.
Dalam penyerangan tersebut, Raden Wijaya berhasil membunuh panglima Shi Bi dan Ike Mese dan ribuan tentara Mongol. Dengan kecerdikannya Raden Wijaya akhirnya berhasil membuat pasukan mongol kocar kacir dan memukul mundur mereka. Pasukan Majapahit terus mengejar pasukan Mongol sampai keluar dari perairan laut Jawa. Sebagian besar pasukan Mongol kembali ke Cina dan beberapa kapal lainnya terpisah jauh karena kejaran pasukan Majapahit.
(Catatan La Ode Djumaidin) Kapal Mongol yang telah lama terombang ambing dilautan karena kejaran Majapahit sebagian melintasi wilayah Kerajaan Kahedupa sekitar tahun 1311 m pada masa pemerintahan Raja Syamsa Allamu sebagai raja ke-2 kerajaan Kahedupa dengan gelar Raja Muhammad Syamsa Allamu.
Kemudian mereka (pasukan Mongol) berlabuh dipantai Saru Saru dan membangun perkemahan disepanjang pantai Saru Saru. Pasukan mongol yang sampai ke wilayah Kerajaan Kahedupa dipimpin oleh Komanda La Donda (sebutan dalam dialek masyarakat lokal). Ada sebagian penutur yang mengatakan bahwa Komandan Mongol yang sampai ke kerajaan Kahedupa itu adalah Laksamana Congha.
(John Man : 2010) menjelaskan bahwa anak Khubilai Khan itu ada 5 orang yaitu Zhenjin, Jenguk khan, Toghon Khan, Qughchu khan dan Nangjianzhen. Berdasarkan fakta ilmiah bahwa Komandan La Donda atau Laksamana Congha yang di maksud bukanlah anak dari Khubilai Khan.
Komandan La Donda sampai ke kerajaan Kahedupa bersama istrinya yang bernama Kunfi (kemudian menjadi wa Rumpi dalam dialek lokal kahedupa) bersama ratusan pasukan terlatih. Setelah berhasil membangun perkemahan, dengan dibekali peralatan perang dan pasukan terlatih komandan la donda ingin menginvasi kerajaan kahedupa. Penyerangan pertama diarahkan untuk menaklukkan wilayah saru saru dan tampara sebagaian.
(La Ode Jumaidin : wawancara 2015) Dalam penyerangan itu Komandan La Donda berhasil mengalahkan beberapa Kakado yang ditugaskan oleh Raja Kahedupa untuk menjaga wilayah tersebut. Setelah mengalahkan para Kakado, Komandan La Donda bukan hanya menguasai wilayah yang diinvasinya untuk ditempati, tetapi Komandan La Donda juga menyebarkan ajaran Syamanisme diwilayah yang dikuasainya.
Beberapa bukti peninggalan sisa ajaran Syamanisme yang pernah masuk di kerajaan Kahedupa khususnya di wilayah Saru Saru yakni adanya paransangia (tempat pemujaan) didalam benteng La Donda, juru kunci makam la donda yang masih melestarikan ritual ritual khas syamanisme salah satunya duduk hormat saat berada didepat makan komandan La Donda, juga adanya beberapa gerakan khas Syamanisme yang diadopsi dalam budaya masyarakat Kaledupa sampai hari ini.
Informasi tentang keberadaan komandan La Donda di wilayah Kerajaan Kahedupa yang sudah mengasai pantai Saru Saru dan sebagian wilayah Tampara akhirnya sampai ke istana di Pale'a dan mulai meresahkan Raja Syamsa Allamu sebagai raja yang memiliki kekuasaan penuh diseluruh wilayah Kahedupa termasuk Saru Saru dan Tampara yang telah jatuh ketangan Mongol. Setelah beberapa tahun pasukan Mongol berada di wilayah Saru Saru, Raja Syamsa Allamu memutuskan untuk memerangi pasukan Mongol yang pimpinan Komanda La Donda tersebut.
Dalam penyerangan itu komandan La Donda melakukan pertahanan dan perlawan yang kuat diwilayah yang telah dikuasainya dahulu saat diserang tetapi pada akhirnya ia berhasil dikalahkan oleh pasukan kerajaan kahedupa. Setelah penaklukan pasukan mongol, Raja Syamsa Allamu mengkhawatirkan adanya gerakan pemberontakan sehingga mendorong raja Syamsa Allamu melakukan negosiasi dengan Komandan La Donda.
Negosiasi tersebut bertujuan untuk mengajak Komandan La Donda agar sepenuhnya mengabdi dibawah perintah Kerajaan Kahedupa karena hal ini dikarenakan pasukan Mongol dinilai memiliki kemampuan militer dan pengalaman yang cukup banyak. Dalam negosiasi ini juga Raja Syamsa Allamu memerintahkan agar pasukan Mongol tidak lagi menyebarkan ajaran Syamanisme dan bahkan Komandan La Donda dan pasukan Mongol yang masih hidup di ajak untuk memeluk agama Islam. Komandan La Donda kemudian menyetujui semua isi negosiasi tersebut dan bersedia memeluk agama Islam. (La Ode Djumaidin : wawancara 2015)
Negosiasi antara Kerajaan Kahedupa dengan Komandan La Donda diabadikan dengan Tombi La Donda (Tombi Makuri yang menandakan kejayaan Kerajaan Kahedupa pada masa itu). Tombi Safika atau tombi La Donda (bendera la donda) ini memiliki bentuk yang sama dengan Tombi Pangnga yang merupakan bendera perang Kerajaan Kahedupa (tombi pangga dominan berwarna merah). Tapi dalam tombi La Donda semua berwarna kuning sebagai symbol kejayaan kerajaan Kahedupa dan terdapat simbol lafaz ALLAH, dibawahnya terdapat dua simbol bintang Daud ditiap cabang bendera sebagai penanda bahwa penganut Syamanisme telah memeluk Islam.
Tombi La Donda tersebut hanya boleh dikibarkan diwilayah Saru Saru yang mana merupakan penanda bahwa wilayah itu pernah dikuasai oleh mongol. Tombi La Donda juga disebut sebagai tombi safika (bendera kendaraan) karena dengan dikibarkannya bendera tersebut telah menjadi penanda dimana komandan la donda dan pasukannya bisa memasuki wilayah benteng pale’a. Sejak dikibarkannya tombi la donda ini, Komandan La donda sudah bisa masuk ke seluruh wilayah kerajaan kahedupa sebagai rakyat kerajaan kahedupa.
Komanda La Donda kemudian dibawa kedalam benteng Kerajaan Kahedupa untuk dikenalkan dengan suasana kerajaan kahedupa. Sesampai di benteng palea Komandan La Donda pertama kali mendengarkan syair syair asli Kaledupa (Fakera) yang dinyanyikan namun tanpa iringan alat musik.
(H. La Huudu : wawancara 2011) Saat itu kerajaan Kahedupa belumlah mengenal alat musik apapun sedangkan Komandan La Donda sudah mengenal alat musik karena dalam ritual Syamanisme menggunakan alat musik gendang (ganda). Sehingga Komandan La Donda mengusulkan kepada sang raja agar syair syair tersebut dinyayikan dengan iringan musik dan kombinasi dengan gerakan-gerakan tertentu sehingga akan menjadi lebih indah.
Usulan La Donda ini mendapatkan respon yang sangat baik dari raja Syamsa Allamu untuk menambah khazanah budaya di kerajaan Kahedupa. Perpaduan syair, musik dan gerakan ini menjadilah cikal bakal lahirnya tarian asli kahedupa yang digunakan untuk menyambut tamu-tamu kerjaan. Tarian tersebut kemudian disebut tarian Lariangi. Dalam tari lariangi ini terdapat perpaduan budaya dari dua bangsa yang bersatu yang sangat kental, baik dari gesture, syair maupun musiknya.
Komandan La Donda kemudian dinobatkan menjadi Pangilia Paraa (Panglima Perang) menggantikan La Sirilawa ketika wafat. Ketika La Donda dinobatkan menjadi Panglima Perang dia memperkuat pasukan dan armada laut sehingga jabatan Pangilia Paraa berubah gelar menjadi Kapitalao (Panglima Laut). Kapitalao La Donda memiliki seorang putri dari pernikahannya dengan Wa Rumpi bernama Ekka (Wa Ekka) yang kemudian dipersunting oleh Muhammad Kapalafari allamu yang adalah anak raja Kahedupa ke-2. (La Ode Sariu : Wawancara 2019)
Wilayah Saru Saru yang pernah ditaklukkan oleh La Donda kemudian dibangunkan benteng pertahanan oleh Raja Syamsa Allamu pada tahun 1359 M untuk menghalau musuh yang masuk dari wilayah itu. Benteng tersebut kemudian diberi nama benteng La Donda, untuk menjadi pengingat rakyat kerajaan Kahedupa bahwa wilayah itu pernah ditaklukan oleh Kamandan La Donda, juga untuk menghormati jasa-jasa La Donda bagi kerajaan Kahedupa.
--------------disusun Oleh – Ahmad Daulani
Jumat, 31 Juli 2020
PAJAGA
Bagian 1
Nama pulau “Kaledupa” diambil dari kata Kau Dupa yang berarti kayu dupa. Nama ini di berikan oleh serombongan pelaut yang kebetulan melintasi pulau Kaledupa dan mencium wangi dupa (kemenyan) sehingga oleh mereka pulau tersebut diberi nama Kahedupa dan kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kaledupa. Kayu dupa sendiri merupakan benda yang paling dekat hubungannya dengan ritual. Pada masa lampau penduduk Kaledupa menganut keyakinan animisme dinamisme, sehingga hampir seluruh masyarakat menggunakan dupa untuk media komunikasi dengan para arwah leluhur.
Agama Islam masuk dan menyebar dalam masyarakat Kahedupa, yang kemudian berasimilasi dengan tradisi atau adat istiadat yang sudah ada dan diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang. Agama Islam menunjukkan kearifannya ketika berhadapan dengan adat dan tradisi lokal yang sudah mapan, yang ditandai dengan pendekatan dakwah secara bijaksana, damai dan bertahap, bukan dengan cara frontal apalagi kekerasan.
Singkatnya, Islam mampu berdialektika dengan kemajemukan adat istiadat dan memberikan klasifikasi bijaksana terhadap unsur-unsur tradisi yang bernilai positif dan bisa dipelihara dan unsur-unsur adat yang bernilai negatif yang perlu ditinggalkan. Dengan demikian kehadiran agama Islam bukan untuk menghilangkan adat dan tradisi setempat melainkan untuk memperbaiki dan meluruskannya menjadi lebih berperadaban, berakhlak dan manusiawi.
Dengan metode seperti ini menjadikan Islam yang masuk ke Kahedupa yang pertama kali dibawah oleh Tongka Allamu tidak banyak mendapatkan hambatan dan penolakan. Islam datang sebagai sosok ajaran yang dinamis dan melindungi tradisi yang telah dimiliki oleh masyarakat Kahedupa.
Kehadiran Tongka Allamu yang mengawali perkenalan Islam di Kahedupa juga berarti awal dari proses interaksi Islam dan nilai-nilai tradisi lokal. Meskipun masih menyisakan beberapa tradisi-tradisi animism-dinamisme namun pada kenyataannya Islam hampir merubah seluruh adat istiadat masyarakat Kaledupa dalam segala aspek. Perpaduan antara Islam dan tradisi lokal dalam praktek hidup dan beragama masyarakat Kahedupa masih jelas terlihat umumnya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai khazanah budaya yang terwarisi, yang memiliki akar dan hubungan erat dengan tradisi dan sejarah Kahedupa masa lampau, sehingga apa yang nampak dari fenomena keberagamaan masyarakat Kahedupa sebagian di antaranya merupakan hasil proses dialektika yang masih kental tergambar pada tradisi yang dilakukan dalam berbagai sistem keyakinan serta berbagai upacara ritual dalam masyarakat Kahedupa merupakan deskripsi dari hasil interaksi antara Islam dengan tradisi lokal masyarakat setempat.
Salah satu tradisi yang sangat kental dengan nilai-nilai ajaran islam yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam aspek sosial masayarakat Kahedupa yaitu Pajaga. Pajaga adalah undangan lisan yang disampaikan secara adat. Pajaga merupakan salah satu rangkaian acara yang tidak dapat dipisahkan untuk semua jenis acara adat (karajaa membali – karajaa mate), mulai dari aqikah, khitanan, perkawinan sampai tahlilan.
Berdasarkan jenisnya Pajaga dibagi menjadi dua jenis yairu Pajaga lele dan Pajaga po’intesi. Sedangkan dalam penerapannya pajaga dibagi menjadi dua macam yaitu pajaga mo’ane dan pajaga fofine. Pajaga lele akan dilakukan paling lambat dua hari sebelum acara inti (hari-H) dan Pajaga Po’intesi dilakukan saat hari H sebelum acara dimulai. Pada dasarnya pajaga lele dan pajaga po’intesi sama fungsinya, yang membedakan hanya terletak pada kata-kata yang akan disampaikan (bake nu pogau) dan waktu pelaksanaannya. Pajaga po’intesi bisa dilakukan jika orang tersebut sudah pernah di Pajaga lele. Pakaian yang digunakan oleh orang-orang yang ditugaskan untuk pajaga menggunakan sarung tenun asli corak laki-laki dan menggunakan kopiah. Orang yang bertugas melakukan pajaga di sebut “Pande pajaga”
Adab-adab Pajaga sangat kental dengan nilai-nilai islam yang terlebur kedalam bentuk tradisi masyarakat Kahedupa secara turun temurun sejak masa lampau, bahkan sudah menjadi salah satu tradisi yang merupakan identitas masyarakat Kaledupa dalam peradaban modern.
Adapun adab-adab Pajaga adalah sbb :
1. Mengetuk pintu dengan lembut
Cara pande pajaga dalam mengetuk pintu saat meminta izin masuk ke dalam rumah adalah dengan lembut dan memperlihatkan kesopanan yang membuat tuan rumah ridho akan kedatangan kita. Hal ini juga memperlihatkan bahwa kita datang dengan niat kebaikan dan mengharapkan apa yang menjadi tujuan kita kerumahnya.
Ada satu hal lagi yang perlu kita perhatikan adalah batasan mengetuk pintu. Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita untuk mengetuk tidak lebih dari 3 kali, dan kembali pulang jika tidak ada jawaban. Seperti yang diriwayatkan dalam hadits berikut “Dari Abu Musa Al-Asy’ary RA, dia berkata: Rasulullah bersabda, ‘Minta izin masuk rumah itu tiga kali, jika diizinkan untuk kamu (masuklah) dan jika tidak maka pulanglah'” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Mengucapkan salam dan meminta ijin
Sebelum masuk ke rumah orang, hendaklah pande pajaga meminta izin terlebih dahulu kepada tuan rumah, walaupun pintu rumah itu terbuka, kita tetap tahu diri untuk tidak langsung masuk ke dalam tanpa dipersilahkan terlebih dahulu. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, “Dari Kildah bin Al-Hanbal, bahwa dia masuk ke rumah Rasulullah tanpa mengucap salam dan meminta izin, maka beliau SAW pun bersabda, Kembalilah, ucapkan Assalamu’alaikum, bolehkah saya masuk.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
3. Tidak menghadap langsung ke pintu
Saat pande pajaga meminta izin untuk masuk, hendaknya tidak langsung menghadap pintu rumahnya. Entah pintu tersebut terbuka atau tertutup. Hal ini bertujuan memberikan hak kepada pemilik rumah untuk mempersiapkan diri menyambut tamu. Hal ini juga sesuai dengan apa yang diteladankan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits yang berbunyi, “Adalah Rasulullah SAW jika mendatangi suatu pintu dan akan meminta izin, beliau tidak menghadap ke arah pintu. Akan tetapi beliau berada di sebelah kiri, atau kanannya. Jika diizinkan beliau baru masuk, jika tidak beliau pun kembali.” (HR Bukhari).
4. Tidak melihat kedalam rumah
Saat di persilahkan masuk ke dalam rumah, hendaknya tetap di tempat kita dipersilakan duduk saja. Tidak perlu mata kita melihat-lihat ke dalam isi rumah, atau bahkan sampai kita masuk lebih dalam dan melihat-lihat isi rumah orang yang kita datangi. Melihat isi rumah juga tidak diperkenankan saat mengetuk pintu. Bahkan sang pemilik rumah diperbolehkan mencukil mata orang yang melongok ke dalam. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadis berikut, “Andaikan ada orang melihatmu di rumah tanpa izin, engkau melemparnya dengan batu kecil lalu kamu cungkil matanya, maka tidak ada dosa bagimu.” (HR. Bukhari Kitabul Isti’dzan).
5. Duduk ditempat yang tersedia sebelum berbicara
Sebagai seorang tamu, sudah sepantasnya kita menjaga sopan santun kita, agar tidak membuat tuan rumah marah dan tidak berkenan atas kehadiran kita. Selain meminta izin, duduk juga harus diperhatikan dalam pajaga. Ketika sudah diizinkan masuk ke dalam rumah, maka hendaknya kita duduk atau menempati tempat yang telah disediakan dan dipersilakan oleh tuan rumah. Hal ini sesuai dengan hadits berikut, “Dari Mu’awiyah bin Hudaij, ia berkata, Saya pernah meminta izin menemui Umar RA, Orang-orang lalu berkata, Duduklah ditempatmu sampai ia keluar menemuimu! Maka aku duduk di dekat pintunya hingga beliau keluar menemuiku.” (HR Bukhari).
6. Menjawab dengan jelas
Adakalanya saat melakukan pajaga, tuan rumah mengajukan beberapa pertanyaan. Seperti menanyakan apa maksud kedatangan kita atau siapakah kita, atau saat kita ditanya mencari siapa, maka menjadi kewajiban bagi pande pajaga menjawab semua pertanyaannya dengan jujur dan jelas. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, “Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, Aku meminta izin untuk bertemu Rasulullah SAW, lalu beliau bertanya dari dalam rumah, Siapa itu?. Aku menjawab, Saya! Beliau bersabda, Saya! Saya! Seolah beliau membenci hal tersebut” (HR Bukhari dan Muslim).
7. Menunjukan raut wajah yang baik
Selama pajaga, kita harus perlihatkan akhlak sebagai seorang Muslim yang baik dan penuh kasih sayang. Hal ini bisa dilakukan dengan menunjukkan wajah yang baik, manis, dan penuh senyum. Hal ini seperti yang diteladankan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits, “Tidak pernah Rasulullah melihatku sejak aku masuk Islam, kata Jarir bin Abdillah. Kecuali beliau pasti tersenyum kepadaku. Rasulullah juga sering bersabda, ‘Akan masuk dari pintu ini seorang laki-laki beruntung terbaik, dan di wajahnya tersirat keindahan’ maka kemudian masuklah Jarir.” (HR Bukhari).
8. Meninggalkan kesan yang baik
Hendaknya pande pajaga meninggalkan kesan baik kepada tuan rumah.
Sehingga saat pulang, tuan Rumah berdoa untuk kebaikan dan mengharapkan
kedatangan kembali. Kesan baik bisa di tinggalkan dengan melakukan hal-hal yang
baik. Mulai dari mengetuk pintu, duduk, tutur kata sampai salam perpisahan yang
baik pula.
Tata cara Pajaga
Bersambung……..
Minggu, 14 Juni 2020
Mesjid Agung Bente dan Makna Implisitnya
Salah satu bukti penyebaran islam di Kahedupa (Kaledupa) adalah mesjid Agung Bente. Mesjid Agung Bente dibangun pada zaman Kerajaan Kahedupa yang sekarang terletak dalam salah satu benteng tua yang merupakan wilayah administrasi Limbo Ollo (Desa Ollo Selatan) kecamatan Kaledupa kabupaten Wakatobi sekarang. Mesjid tersebut dibangun karena semakin banyak masyarakat kahedupa yang memeluk agama islam saat itu sehingga langgar yang dibangun di Fungka Masigi yang digunakan sebagai tempat musyawarah dan beribadah tidak lagi mampu menampung masyarakat sekitar. Sehingga Raja Kahedupa dan sara agama bersepakat haruslah dibangun sebuah masjid untuk menjadi pusat penyebaran dan kajian ajaran islam.
Raja Kahedupa memerintahkan kepada Mansuana Hato Tompa (tokoh agama empat penjuru) untuk mencari lokasi pembangunan mesjid. Mansuana Hato Tompa kemudian melakukan perjalanan untuk mencari lokasi dari fungka masigi kearah siofa (barat) melewati Kollo Onitu – Sampalu Melangka – Fabheka Bahhili – Fabheka To’oge – Kaangi-angi – Bente. Kemudian disana mansuana hato tompa bersepakat bahwa di Bente merupakan lokasi yang cocok untuk pembangunan mesjid yang baru. Dengan lokasinya yang merupakan bukit tinggi dan langsung berhadapan dengan laut menjadi lokasi yang sangat strategis kala itu.
Sudah tidak ada yang tau pasti tentang tahun pembangunan mesjid namun terdapat batu berbentuk kura-kura tepat dipusat masjid sebelum bagian pinggir batu tertutup oleh lantai keramik saat direhab. Lambang kura-kura inilah yang diyakini oleh masyarakat Kahedupa yang merupakan satu-satunya lambang penahunan masa itu. Dari baru berlambang kura-kura tersebut ditemukanlah bahwa Mesjid Agung Bente dibangun sekitar tahun 1401 M. 1 pertama diambil dari jumlah batu berlambang kura-kura, kemudian 4 diambil dari 2 sirip depan dan 2 sirip belakang, 0 diambil dari punggung, 1 terakhir diambil dari garis vertikal kepala sampai ekor.
Bangunan mesjid Agung Bente berbentuk empat persegi seperti bentuk mesjid pada umumnya, Mesjid Agung Bente dibangun dengan fondasi yang agak tinggi untuk memperkuat dari goncangan, bahan bangunan dari batu karan, kapur dan telur. Bagian – bagian mesjid yang dibangun terdapat tuko belai’a berbentuk empat persegi dari kayu toha (kayu besi) yang berdiri diatas kepala manusia dengan pakaian adat masyarakat kahedupa( namun cerita tentang kepala manusia tersebut menjadi mitos dikarenakan tidak ada lagi sumber yang mampu menjelaskan secara detail), tangga, pintu jendela, tiang penyangga pembantu,goje-goje (bale-bale), Bosu (guci), beduk, tangga dalam, mimbar, mihrab dan kubah mesjid. Mesjid Agung Bente dibangun dengan hakekat kepercayaan dan budaya masyarakat lokal sehingga mesjid ini dianggap sakral oleh masyarakat setempat.
Keseluruhan bangunan mesjid berbentuk empat persegi dan mencakup tangga utama yang terdiri dari 7 anak tangga yang terdapat disisi kanan dan kirinya masing-masing satu buah Bhadili (meriam), diteras masjid terdapat depan sisi timur dan barat (umbosa-siofa) terdapat dua buah goje-goje (bale-bale) dan dua buah bhosu (guci), tuko kaba sebanyak 25 tiang, tuko belai’a tuko hu’u sebanyak 4 tiang yang berbentuk segi empat, hanya terdapat 1 buah pintu utama yang berdaun dua pada bagian timur (umbosa) 16 buah jendela yang terletak pada empat penjuru (hato tompa) yaitu : 4 buah njendela pada bagian timur, 4 jendela pada bagian barat, 4 jendela pada bagian selatan, 4 jendela pada bagian utara. Semua terbuat dari kau Toha (kayu besi). Didalam mesjid terdapat tangga dua tinggakt dan dibawah tangga tersebut terdapat 1 buah Ghanda (bedug) panjang 99 cm, mihrab yang sejajar dengan pintu utama yang tertutup kain putih, disisi kanan pintu masuk mihrab terdapat 1 buah mimbar yang tertutup kain putih.
Adapun makna implisit yang terkandung didalamnya adalah sbb :
Penempatan dua buah bhadili (meriam) disisi depan kanan dan kiri tangga utama merupakan pelanksanaan konsensus pemerintahan Kesultanan “Yinda-yindamo sara somanomo agama” biar hancur pemerintahan asal agama terselamatkan. Penempatan meriam tepat ditangga masuk merupakan simbol semangat perjuangan masyarakat Kahedupa dalam membela agama diatas kepentingan pemerintahan.
7 anak tangga utama mesjid melambangkan 7 lapis hakekat penciptaan.
Terdapat 2 buah bhosu (Guci) yang terletak disisi kanan dan kiri yang berisi air digunakan untuk berwudhu. 2 buah bhosu melambangkan dua buah payudara seorang ibu sebagai sumber kehidupan manusia.
Dua buah goje-goje ( bale-bale) yang digunakan sebagai berdizikir para sara yang melambangkan kasih sayang kedua orang tua
Eleppo kabaya (pintu dua daun) terbuat dari kau toha (kayu besi). Mesjid Agung Bente hanya terdapat 1 pintu masuk yang melambangkan bahwa pintu masuk islam hanyalah satu pintu yaitu bersyahadat. Dua daun pintu melambangkan dua kalimat syahadat
25 tuko kaba (saka rawa) yang berfungsi sebagai tiang penyangga pembantu yang melambangkan 25 jumlah nabi dan rasul diutusan Allah dalam menyampaikan Tauhid
4 Tuko Belai’a (saka guru) yang berfungsi sebagai tiang penyangga utama melambangkan 4 sahabat utama Rasulullah SAW yang mendukung penuh dakwah Nabi
15 tiang (galaga) yang menghubungkan tuko kaba dan tuko belai’a yang dipasang horizontal dan 9 tiang untuk membentuk Folita’a (reng). Sehingga semua kayu yang digunakan sebagai penghubung sebanyak 24 buah tiang ini berfungsi untuk merangkai dan memperkokoh bangunan mesjid yang melambangkan tulang rusuk manusia yang melindungi organ-organ penting pada manusia.
17 lubang jendela yang melambangkan 17 rakaat dalam shalat wardhu
Dua tingkat tangga dalam mesjid melambangkan dua macam jenis kelamin manusia
Ghanda (Bedug) sepanjang 99 cm yang diikat 3 lilitan dan memiliki 33 pasung untuk mengencangkannya. Panjang Ghanda melambangkan 99 asmaul husna, 3 lilitan melambangkan 3 jenis zikir yang disunnahkan setiap shalat dan 33 pasungnya melambangkan 33 jumlah yang harus dibaca dari setiap dzikir.
Mihrab yang ditutup oleh kain putih yang dibangun sejajar dengan pintu masuk yang secara bersamaan diartikan sebagai pintu masuk dan pintu keluar. Pintu utama melambangkan rahim dan mihrab yang ditutup kain putih diatasnya melambangkan liang lahat yang setiap memasukinya harus tertutup oleh kain putih.
Mimbar yang diletakkan didepan sisi kanan pintu masuk mihrab. Mimbar mesjid Agung Bente memiliki dua anak tangga untuk sampai ditempat duduk mimbar memiliki motif hias dibagian atas kemuncak mimbar bermotif sulur suluran berwarna hijau dengan dasar kuning polos. Pada bagian atas sisi kanan kiri mimbar terdapat tulisan Allah-Muhammad. Makan yang terkandung posisi diletakkannya mimbar memberi pesan bahwa Hukum Allah melalui risalah yang dibawa Rasulullah telah diamanhakan kepada umat manusia sebagai bekal memasuki pintu liang lahat. Dua anak tangga mimbar melambangkan hak dan bathil. Lafaz Allah SWT dan Muhammad SAW diatas sisi kanan dan kiri mimbar melambangkan jalan untuk membedakan hak dan bathil. Hiasan bermotif suluran suluran dikemuncak mimbar melambangkan seseorang yang tidak putus dari ajakan untuk menghambakan diri kepada Allah. Bendera berwarna hijau dan kuning polos yang dihiasi dengan motif benang bapintal melambangkan hijau adalah warna kesukaan Rasulullah dan kuning polos dan lambang kekuatan dalam falsafah masyarakat Kahedupa, sedangkan benar bapintal pada bendera melambangkan persatuan yang bersimpuh dalam kekuatan manusia sesuai tuntunan nabi. Kain putih penutup mimbar melambangkan sorban penutup kepala tokok agama
Bagian kerangka atap terdapat tingkat satu dan dua. Pada bagian tingkat satu tolofufu (usuk/kepala) dipasang seperti bentuk tumpang dengan teknik pemasangan seperti jeruji payung. Pada bagian kedua dipasangkan folita’a (reng) berbentuk empat persegi dan menaungi seluruh atap mesjid. Tingkat pertama (tolofufu) melambangkan keberadaan Allah yang tinggi yang melindungi Folita’a dengan bentuk jeruji payung untuk menaungi seluruh manusia dibawahnya.
Letak penting mesjid ini berkaitan dengan peristiwa - peristiwa penting yang pernah terjadi di Kerajaan Kahedupa. Seperti berkaitannya dengan pemerintahan sebelum bergabung dengan Buton. Mesjid Agung Bente sebagai pusat penyebaran islam dan pusat kajian islam kerajaan Kahedupa kemudian menjadi pusat penyebaran dan pusat kajian islam untuk seluruh wilayah Bharata Kahedupa setelah bergabung dengan Buton.
Setelah Kerajaan Kahedupa bergabung dengan Kesultanan Buton maka status kerajaan berubah menjadi kesultanan. Saripati Baluwu yang merupakan utusan kesultanan Buton datang ke Kaledupa untuk merintis pembetukan Bharata Kahedupa dengan penugasan La Kasawari yang merupakan raja ke 11 (Sebelas) kerajaan Kahedupa sebagai Miantu’u pertama Bharata Kahedupa. Pada masa pemerintahan La Kasawari sebagai Miantu’u Bharata Kahedupa (1635-1673 M) melakukan renovasi pertama pada mesjid. Asal bahan renovasi pembangunan mesjid adalah hasil swadaya masyarakat Kahedupa, Wanci, Tomia, Binongko yang merupakan kadie-kadie (daerah) yang berada dibawah wilayah pemerintahan Bharata Kahedupa, karena Mesjid Agung Bente sudah menjadi mesjid Agung Bharata Kahedupa.
Bharata Kahedupa yang merupakan salah satu dari empat bharata Kesultanan Buton. Bharata Kahedupa merupakan konfederasi dari 18 kadie (daerah) yang terdapat sialimbo dilaro (sembilan daerah didalam pulau Kaledupa) sialimbo diliku (sembilan daerah ada diluar Kaledupa). 9 kadie yang ada dipulau Kaledupa yaitu Langgee, Laulua, Ollo, Fatole, Tapaa, Horuo, Tombuluruha, Tampara, Patua. 4 kadie dipulau wanci yaitu Liya, Mandati, kadie Wanse, kadie Kapota. 2 kadie ditomia yaitu Tongano dan Waha. Dan 3 kadie di Binongko yaitu Palahidu, Popalia dan Wali.
Kahedupa dan Sejarah Terintegrasinya
Tarekat Qadiriyah : Ajaran & Nasehat Kuno yang Sirna dari Bumi Kahedupa
oleh : Ahmad Daulani Di antara kehidupan modern dan budaya barat yang merajalela, ada kelip cahaya di Kahedupa yang merawat ayat-ayat ...

-
Beberapa hari lalu saya membuka-buka album tua yang tersusun apik dalam lemari, setelah membuka beberapa album sayapun menemukan 3 lembar fo...
-
Oleh : Ahmad Daulani Beberapa tahun lalu saya menyempatkan diri untuk berziarah ke salah satu makam tua yang terlerak di desa Tampara kec. K...