Langsung ke konten utama

La Donda, Jejak Orang Mongol di Kahedupa

sumber foto : Pusaka Barata Kahedupa
 

Oleh : Ahmad Daulani

Bangsa Mongol adalah masyarakat nomaden yang berasal dari pegunungan Mongolia yang membentang dari Asia Tengah sampai Siberia Utara, Tibet Selatan dan Turkistan Timur. Nenek moyang mereka bernama Alanja Khan yang mempunyai dua putra kembar bernama Tar Tar dan Mongol.

Dari kedua orang inilah yang melahirkan dua suku bangsa besar yaitu Mongol dan Tar Tar. Dalam  kurun waktu yang cukup lama bangsa Mongol bertahan dengan menjalani kehidupan yang sangat sederhana. Mereka mendirikan kemah-kemah dan berpindah pindah dari tempat satu ketempat yang lain, mengembala dan hidup dari hasil buruan.

Sebagaimana bangsa nomaden pada umumnya, orang orang Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani menghadang maut demi mencapai keinginanya. Bangsa Mongol juga dikenal dengan kesetiaan dan kepatuhan terhadap pemimpin mereka. (M. Abdul Karim, Islam di Asian Tengah ; Sejarah Dinasti Mongol)

Pada mulanya keyakinan yang di anut bangsa Mongol adalah Syamanisme (Syamaniah) yaitu keyakinan yang menyembah matahari sedang terbit, bintang-bintang, dan menyembah kepada arwah-arwah terutama kepada roh jahat yang dianggap mampu mendatangkan bencana. Disamping itu bangsa Mongol juga sangat memuliakan arwah-arwah nenek moyang mereka yang dianggap masih memiliki kekuasaan untuk mengatur hidup keturunannya. (Hasan, Ibrahim, Tarik Al Islam ; jilid IV. 1979) h. 132-133

Salah satu ritual Syamanisme yang sering di lakukan yakni dalam berkomunikasi dengan arwah dengan menggunakan sesajian, dupa dengan mantra dan gerakan yang sangat khas. Kemajuan besar-besaran bangsa Mongol barulah di mulai pada masa kepemimpinan Timujin atau Jenghis Khan dimana pada masa itu bangsa Mongol berhasil menyatukan 13 kelompok suku. Jenghis khan memimpin bangsa mongol diusia 13 tahun menggantikan ayahnya Yasughei Khan.

Selama 30 tahun ia melatih dan memperkuat pasukan perangnya sehingga menjadi pasukan yang teratur dan tangguh. Dalam aturan ilyasiq yang menjadi undang-undang bangsa Mongol, laki-laki dan perempuan meiliki kewajiban yang sama dalam kemiliteran. Pasukan perang Mongol dibagi dalam kelompok besar dan kecil, tiap tiap kelompok dipimpin oleh satu orang komandan.

Setelah pasukan perangnya terorganisir dengan baik, Jenghis Khan berusaha memperluas wilayah kekuasan dengan melakukan penaklukan wilayah lain. Serangan pertama diarahkan ke Kerajaan Cina dan berhasil mendudukinya pada tahun 1215 M. (Najamuddin Muhammad : Jenghins Khan sang Pengembala yang menaklukan dunia)

Dimasa  kepemimpinan Hulagu Khan sasaran penyerangan diarahkan ke negeri negeri Islam yang puncaknya adalah penyerangan kota Baghdad sebagai pusat peradaban dunia Islam dibawah kepemimpinan Khalifah Al Mutashim II yang merupakan penguasa terakhir dari Khalifah Abbasyiah. Dengan pembantaian kejam,  kota Baghdad di taklukkan dan berhasil dikuasai pada tahun 1258 M. Masa ini menandai berakhirnya kekuasaan Bani Abbasiyah. Bangsa Mongol memperkuat kekuasaannya diwilayah tersebut selama ± 2 tahun. (Ali Mufrodi, Islam dikawasan Dunia Arab. Cet I : Jakarta : Logos, 1997

Selanjutnya mereka mulai bergerak ke wilayah Syria dan Mesir menyeberangi sungai Eufrat dan berhasil menaklukan wilayah Nablus dan Gaza pada tahun 1260 M. Setelah menguasai Syria pasukan Mongol terus bergerak ke wilayah Mesir yang merupakan pusat kota Dinasti Mamluk. Namun di Mesir, Mongol mendapat perlawanan yang sangat kuat dari Kerajaan Mamluk dibawah pimpinan Sultan Syarifuddin Qutus.

Tahun 1260 terjadi perang antara Mongol dan Mamluk di Ain Jalut (Perang Ain Jalut) yang pada akhirnya Mongol mengalami kekalahan terbesar sepanjang sejarah Mongol. Sultan Syarifuddin Qutus terus mendesak dan mengusir pasukan mongol hingga keluar dari wilayah Damaskus dan Syria. (Ahmad Syalaki ; Mausu'ah Al-Tarikh Al Islami wa Al Hadharah Al Islaniyah, 1979)

Dimasa kepeimpinan Monke Khan, bangsa Mongol terus melakukan ekspansi ke wilayah India, Vietnam, Kamboja, Thailand, Rusia,  Asia Tengah, Eropa Timur, Burma, Korea, Timur Tengah bahkan sampai ke kerajaan Jepang dll. (Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam. Cet II, 2000)

(Man John dalam Risa Rehardisa : 2018) Dimasa kepemimpinan Khublai Khan pasukan Mongol terus melanjutkan ekspansi hingga sampai ke wilayah nusantara. Pada tahun 1293 M,  Khublai Khan mengirimkan invasi dalam jumlah besar sampai 30.000 pasukan dengan ratusan para perwira. Invasi itu dipimpin oleh 3 orang panglima yaitu Shi Bi, Ike Mese dan Gao Xing.

Pasukan Mongol pertama kali mendarat di wilayah Tuban, dan mendirikan perkemahan disana. Kemudian Iki Mese mengirimkan utusan untuk menemui Raden Wijaya agar tunduk dan mengakui kekuasaan Khublai Khan. Tetapi Raden Wijaya memberikan syarat bahwa akan tunduk pada kekuasaan Khublai Khan kalau pasukan Mongol membantunya melawan Jayakatwang dari Gelang-Gelang yang telah membunuh Raja Kertanegara dan menghancurkan Singhasari. Mongol menyetujui permintaan Raden Wijaya untuk bergabung untuk melawan Jayakarta dan berhasil dikalahkan.

Setelah kemenangan itu Raden Wijaya meminta izin pulang ke Majapahit dengan alasan untuk mengambil upeti yang akan diserahkan kepada Khublai Khan. Perjalanan raden wijaya dikawal oleh 2 orang perwira dan 200 pasukan Mongol. Ditengah perjalanan Raden Wijaya berbalik bertempur dengan pasukan mongol yang mengiringinya, kemudian menyerang pasukan mongol diperkemahan yang tengah mengadakan pesta kemenangan mereka.

Dalam penyerangan tersebut, Raden Wijaya berhasil membunuh panglima Shi Bi dan Ike Mese dan ribuan tentara Mongol. Dengan kecerdikannya Raden Wijaya akhirnya berhasil membuat pasukan mongol kocar kacir dan memukul mundur mereka. Pasukan Majapahit terus mengejar pasukan Mongol sampai keluar dari perairan laut Jawa. Sebagian besar pasukan Mongol kembali ke Cina dan beberapa kapal lainnya terpisah jauh karena kejaran pasukan Majapahit.

(Catatan La Ode Djumaidin) Kapal Mongol yang telah lama terombang ambing dilautan karena kejaran Majapahit sebagian melintasi wilayah Kerajaan Kahedupa sekitar tahun 1311 m pada masa pemerintahan Raja Syamsa Allamu sebagai raja ke-2 kerajaan Kahedupa dengan gelar Raja Muhammad Syamsa Allamu.

Kemudian mereka (pasukan Mongol) berlabuh dipantai Saru Saru dan membangun perkemahan disepanjang pantai Saru Saru. Pasukan mongol yang sampai ke wilayah Kerajaan Kahedupa dipimpin oleh Komanda La Donda (sebutan dalam dialek masyarakat lokal). Ada sebagian penutur yang mengatakan bahwa Komandan Mongol yang sampai ke kerajaan Kahedupa itu adalah Laksamana Congha.

(John Man : 2010) menjelaskan bahwa anak Khubilai Khan itu ada 5 orang yaitu Zhenjin, Jenguk khan, Toghon Khan, Qughchu khan dan Nangjianzhen. Berdasarkan fakta ilmiah bahwa Komandan La Donda atau Laksamana Congha yang di maksud bukanlah anak dari Khubilai Khan.

Komandan La Donda sampai ke kerajaan Kahedupa bersama istrinya yang bernama Kunfi (kemudian menjadi wa Rumpi dalam dialek lokal kahedupa) bersama ratusan pasukan terlatih. Setelah berhasil membangun perkemahan, dengan dibekali peralatan perang dan pasukan terlatih komandan la donda ingin menginvasi kerajaan kahedupa. Penyerangan pertama diarahkan untuk menaklukkan wilayah saru saru dan tampara sebagaian.

(La Ode Jumaidin : wawancara 2015) Dalam penyerangan itu Komandan La Donda berhasil mengalahkan beberapa Kakado yang ditugaskan oleh Raja Kahedupa untuk menjaga wilayah tersebut. Setelah mengalahkan para Kakado, Komandan La Donda bukan hanya menguasai wilayah yang diinvasinya untuk ditempati, tetapi Komandan La Donda juga menyebarkan ajaran Syamanisme diwilayah yang dikuasainya.

Beberapa bukti peninggalan sisa ajaran Syamanisme yang pernah masuk di kerajaan Kahedupa khususnya di wilayah Saru Saru yakni adanya paransangia (tempat pemujaan) didalam benteng La Donda, juru kunci makam la donda yang masih melestarikan ritual ritual khas syamanisme salah satunya duduk hormat saat berada didepat makan komandan La Donda, juga adanya beberapa gerakan khas Syamanisme yang diadopsi dalam budaya masyarakat Kaledupa sampai hari ini.

Informasi tentang keberadaan komandan La Donda di wilayah Kerajaan Kahedupa yang sudah mengasai pantai Saru Saru dan sebagian wilayah Tampara akhirnya sampai ke istana di Pale'a dan mulai meresahkan Raja Syamsa Allamu sebagai raja yang memiliki kekuasaan penuh diseluruh wilayah Kahedupa termasuk Saru Saru dan Tampara yang telah jatuh ketangan Mongol. Setelah beberapa tahun pasukan Mongol berada di wilayah Saru Saru, Raja Syamsa Allamu memutuskan untuk memerangi pasukan Mongol yang pimpinan Komanda La Donda tersebut.

Dalam penyerangan itu komandan La Donda melakukan pertahanan dan perlawan yang kuat diwilayah yang telah dikuasainya dahulu saat diserang tetapi pada akhirnya ia berhasil dikalahkan oleh pasukan kerajaan kahedupa. Setelah penaklukan pasukan mongol,  Raja Syamsa Allamu mengkhawatirkan adanya gerakan pemberontakan  sehingga  mendorong raja Syamsa Allamu melakukan negosiasi dengan Komandan La Donda.

Negosiasi tersebut bertujuan untuk mengajak Komandan La Donda agar sepenuhnya mengabdi dibawah perintah Kerajaan Kahedupa karena hal ini dikarenakan pasukan Mongol dinilai memiliki kemampuan militer dan pengalaman yang cukup banyak. Dalam negosiasi ini juga Raja Syamsa Allamu memerintahkan agar pasukan Mongol tidak lagi menyebarkan ajaran Syamanisme dan bahkan Komandan La Donda dan pasukan Mongol yang masih hidup di ajak untuk memeluk agama Islam. Komandan La Donda kemudian menyetujui semua isi negosiasi tersebut dan bersedia memeluk agama Islam. (La Ode Djumaidin : wawancara 2015)

Negosiasi antara Kerajaan Kahedupa dengan Komandan La Donda diabadikan dengan Tombi La Donda (Tombi Makuri yang menandakan kejayaan Kerajaan Kahedupa pada masa itu). Tombi Safika atau tombi La Donda (bendera la donda) ini memiliki bentuk yang sama dengan Tombi Pangnga yang merupakan bendera perang Kerajaan Kahedupa (tombi pangga dominan berwarna merah). Tapi dalam tombi La Donda semua berwarna kuning sebagai symbol kejayaan kerajaan Kahedupa dan terdapat simbol lafaz ALLAH, dibawahnya terdapat dua simbol bintang Daud ditiap cabang bendera sebagai penanda bahwa penganut Syamanisme telah memeluk Islam.

Tombi La Donda tersebut hanya boleh dikibarkan diwilayah Saru Saru yang mana merupakan penanda bahwa wilayah itu pernah dikuasai oleh mongol. Tombi La Donda juga disebut sebagai tombi safika (bendera kendaraan) karena dengan dikibarkannya  bendera tersebut telah menjadi penanda  dimana komandan la donda dan pasukannya bisa memasuki wilayah benteng pale’a. Sejak dikibarkannya tombi la donda ini, Komandan La donda sudah bisa masuk ke seluruh wilayah kerajaan kahedupa sebagai rakyat kerajaan kahedupa.

Komanda La Donda kemudian dibawa kedalam benteng Kerajaan Kahedupa untuk dikenalkan dengan suasana kerajaan kahedupa. Sesampai di benteng palea Komandan La Donda pertama kali mendengarkan syair syair asli Kaledupa (Fakera) yang dinyanyikan namun tanpa iringan alat musik.

(H. La Huudu : wawancara 2011) Saat itu kerajaan Kahedupa belumlah mengenal alat musik apapun sedangkan Komandan La Donda sudah mengenal alat musik karena dalam ritual Syamanisme menggunakan alat musik gendang (ganda). Sehingga Komandan La Donda mengusulkan kepada sang raja agar syair syair tersebut dinyayikan dengan iringan musik dan kombinasi dengan gerakan-gerakan tertentu sehingga akan menjadi lebih indah.

Usulan La Donda ini mendapatkan respon yang sangat baik dari raja Syamsa Allamu untuk menambah khazanah budaya di kerajaan Kahedupa. Perpaduan syair, musik dan gerakan ini menjadilah cikal bakal lahirnya tarian asli kahedupa yang digunakan untuk menyambut tamu-tamu kerjaan. Tarian tersebut kemudian disebut tarian Lariangi. Dalam tari lariangi ini terdapat perpaduan budaya dari dua bangsa yang bersatu yang sangat kental, baik dari gesture, syair maupun musiknya.

Komandan La Donda kemudian dinobatkan menjadi Pangilia Paraa (Panglima Perang) menggantikan La Sirilawa ketika wafat. Ketika La Donda dinobatkan menjadi Panglima Perang dia memperkuat pasukan dan armada laut sehingga jabatan Pangilia Paraa berubah gelar menjadi Kapitalao (Panglima Laut). Kapitalao La Donda memiliki seorang putri dari pernikahannya dengan Wa Rumpi bernama Ekka (Wa Ekka) yang kemudian dipersunting oleh Muhammad Kapalafari allamu yang adalah anak raja Kahedupa ke-2. (La Ode Sariu : Wawancara 2019)

Wilayah Saru Saru yang pernah ditaklukkan oleh La Donda kemudian dibangunkan benteng pertahanan oleh Raja Syamsa Allamu pada tahun 1359 M untuk menghalau musuh yang masuk dari wilayah itu. Benteng tersebut kemudian diberi nama benteng La Donda, untuk menjadi pengingat rakyat kerajaan Kahedupa bahwa wilayah itu pernah ditaklukan oleh Kamandan La Donda,  juga untuk menghormati jasa-jasa La Donda bagi kerajaan Kahedupa.

--------------disusun Oleh – Ahmad Daulani

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAKADHO BHAA LASUNA

sumber foto : istimewa Meskipun makam ini sekarang tampak tak terurus dan sudah banyak yang melupakannya namun sosok yang ada dibaliknya adalah sosok yang sangat legendaris dan sangat mengemuka di negeri Kahedupa, negeri Buton dan negeri Pancana Muna pada akhir abad ke 16 Masehi.  Di Kahedupa ia bernama La Tingku, ia adalah salah satu bangsawan Kahedupa yang memimpin wilayah Tombuluruha. Ia juga dikenal sebagai ahli perang yang sangat handal sehingga di Kahedupa juga ia dikenal dengan nama Kakadho Tombuluruha.  Sezaman dengan La Tingku yang memimpin Tombuluruha, Kahedupa dimasa itu dipimpin oleh raja La Molingi sementara Buton di pimpin oleh Sultan Laelangi. Jauh sebelum masa itu sejatinya telah terbentuk persekutuan pertahanan keamanan baik keamanan luar maupun di dalam negeri yang terdiri dari 5 kerajaan yang digagas oleh Sultan Murhum. Persekutuan tsb dikenal dengan persekutuan BHARATA dengan Buton sebagai sentralnya. Kelima negeri itu adalah Buton, Kahedupa, Muna, Kolencusu dan Tiw

Kahedupa dan Sejarah Terintegrasinya

Jejak kerajaan Kahedupa masa lampau masih menyisakan banyak misteri sampai sekarang. Kahedupa yang awalnya adalah wilayah Sara-Sara Fungka (kepemimpinan Komunal) yang mana masyarakatnya menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme.  Kehidupan masyarakat Kahedupa pada zaman itu mendiami perbukitan/gunung (Fungka). Kehidupan masyarakat Kahedupa masih dibawah kendali Tetua sara-sara fungka yang terbagi menjadi tiga wilayah kekuasaan yaitu wilayah fungka Pangilia, wilayah fungka Patua dan wilayah fungka Horuo.  Serewaha adalah tetua wilayah fungka Pangilia, La Rahmani adalah tetua wilayah fungka Patua Bente dan Ta’ayomi adalah tetua wilayah fungka Horuo. Dari ketiga tetua sara-sara fungka yang pertama kali masuk islam adalah La Rahamani. Sebab La Rahamanilah yang banyak berinteraksi dengan orang-orang dari luar Kahedupa karena pelabuhan sentral pulau Kahedupa saat itu berada di sampua Buranga yang notabene adalah wilayah fungka Patua. Banyak yang keluar masuk melalui sampu'a Buranga Rom

Benteng Pale'a sebagai Pusat Peradaban Kaledupa

sumber foto : istimewa   Oleh : Ahmad Daulani Sama seperti kerajaan pada umumnya, Kaledupa yang memiliki histori panjang sebagai kerajaan vasal juga memiliki banyak peninggalan sejarah yang belum terungkap. Diantaranya benteng dan bukti fisik lainnya yang menurut masyarakat setempat memiliki peran dan makna penting dalam sejarah peradaban Kaledupa. Dipulau Kaledupa terdapat beberapa benteng peninggalan peradaban masa lampau yang menjadi warisan leluhur sebagai saksi sejarah sebagai hasil karya yang sangat mengagumkan oleh manusia sekarang. Ada 2 benteng besar yang masih tersisa meskipun sebagain sudah mengalami kerusakan karena dimakan usia dan tidak terawat lagi yaitu benteng Pale'a sebagai jejak peradaban Kaledupa sebagai kerajaan dan benteng Ollo sebagai jejak Kaledupa sebagai barata Kahedupa yang telah terintegrasi sebagai bagian dari wilayah kesultanan Buton. Benteng Pale'a sekarang terletak di desa Pale'a kecamatan Kaledupa Selatan Kabupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara