Secara geografis wilayah kesultanan Buton merupakan suatu gugusan pulau yang terletak di kawasan laut Banda dan laut Flores, yang diapit oleh dua wilayah kerajaan besar yaitu kerajaan Ternate dan kerajaan Gowa.
Pada masa pemerintahan sultan Murhum, kesultanan Buton bukan hanya menata urusan internal saja tetapi menggenjot pembangunan sistem pertahanan karena dalam kurun waktu tersebut Ternate dan Gowa mulai melancarkan pengaruhnya keluar wilayah mereka sendiri. Kesultanan Buton yang berada paling dekat dan strategis di antara mereka menjadi objek serangan utama.
Dalam menghadapi ancaman-ancaman dari dua kerajaan besar tersebut, Sultan Murhum mendorong pembangun dan mempersiapkan strategi pertahanan untuk melindungi wilayahnya.
Pada masa pemerintahan Sultan Murhum, kesultanan Buton menjalin persekutuan bidang strategi dan pertahanan dengan kerajaan-kerajaan yang terletak di empat penjuru Buton untuk saling menjaga dan saling melindungi wilayahnya yakni kerajaan Kahedupa, kerajaan Muna, kerajaan Tiworo dan kerajaan Kalingsusu. Persekutuan itu disebut "BHARATA". Persekutuan atau kerjasama kelima kerajaan tersebut dikukuhkan dalam 'Perjanjian Kapeo-Peo' yang dibangun pada prinsip SOILAOMPO (Rajutan Selo) dan TORUMBALILI (Mahkota bergilir).
Dalam terminologi orang Buton, bharata adalah cadik perahu (The ship of state Buton) dalam penerapannya adalah pertahanan negeri bharata, yang mengandung makna perahu bercadik ganda. Dalam konteks itu, maka dapat dipahami bahwa munculnya gagasan konsepsi mengenai sistem pertahanan empat penjuru berlapis yamg digagas oleh Kesultanan Buton ini diambil dari struktur perahu cadik ganda.
Dalam bahasa Wolio, bharata selain berarti tenaga atau kekuatan juga berarti ikatan pasak pengapung sayap perahu dengan tangannya. (Anceaux, 1987: 13)
Bharata juga diistilahkan yabharata yolipu yang berarti daerah berkabung. Istilah ini muncul pada waktu kesultanan Buton mendapat serangan dari luar sehingga ketika itu bharata dianggap berkabung karena keempat bharata berjuang keras untuk melindungi Buton dari serangan musuh yang datang dari luar. (Couvreur, 1935 : 8)
Barata yang dimaksud dengan penopang Kesultanan Buton adalah Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa (Susanto Zuhdi, 2010: 120). Keempat barata itu dinamakan Barata Patapalena artinya „barata empat‟. Antara Buton dan daerah barata tersebut saling bantu membantu dalam segala hal demi kepentingan bersama, terutama dalam bidang pertahanan dan keamanan.
Dalam buku Dokumentasi yang diterbitkan oleh DPRD Propinsi Sulawesi Tenggara dinyatakan bahwa bharata dalam arti politis adalah kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri dalam lingkungan Kesultanan Buton, terdiri dari Kerajaan Muna, Kerajaan Tiworo, Kerajaan Kulisusu, dan Kerajaan Kaledupa, yang masing-masing mempunyai dan mengatur pemerintahannya sendiri (Anonim, tt : 198).
Bharata artinya adalah kerajaan yang diberikan kekuasaan otonom untuk langsung bertindak apabila ada musuh yang mengganggu wilayah mereka dan wilayah kesultanan Buton, dan bharata bertanggung jawab penuh atas keamanan wilayahnya masing-masing (La Ode Zaenu, 1985 : 36).
Bharata merupakan nama dari persekutuan Buton dan kerajaan-kerajaan merdeka yang berdiri sendiri yang berada diwilayah yang berdekatan dengan Kesultanan Buton yang bidang kerjasamanya lebih ditujukan pada pengamanan wilayah berupa pertahanan terhadap gangguan musuh (Muhammad Gazali, dkk. 1992: 30).
Bharata adalah nama yang diberikan oleh Buton kepada kerajaan-kerajaan yang menjalin perserikatan kerjasama dibidang pertahanan dan keamanan wilayah (La Niampe : 2018)
Bharata adalah persekutuan lima kerajaan dalam pertahanan dan keamanan (Ali Hadara)
Bharata adalah nama untuk empat kerajaan yang bersekutu dengan Buton yakni kerajaan Kahedupa, kerajaan Muna, kerajaan Kalisusu dan kerajaan Tiworo dengan tujuan saling membantu dan melindungi wilayah dari ancaman musuh (Daulani, Ahmad : 2021)
Walaupun agak berbeda-beda redaksinya, namun maksud dari semua pernyataan di atas sebenarnya mempunyai maksud yang sama, yaitu bharata adalah suatu basis pertahanan keamanan yang dibentuk terutama untuk mengantisipasi dan saling menjaga dari segala macam gangguan keamanan.
Setelah menjalin persekutuan Bharata, sultan Murhum membentuk strategi pertahanan Buton yang disebut dengan "Sistem Pertahanan Empat Penjuru Berlapis". Secara keseluruhan empat lapis pertahanan itu adalah sbb :
1. Pertahanan Pata-Limbona dalam benteng Wolio yaitu Baluuwu, Peropa, Gundu-Gundu dan Barangkatopa. Keempat kampung ini merupakan kekuatan inti dari kesultanan Buton yang menjalankan pengawasan bersama Tamburu Limaanguna (Zahari, 1980. Said : 1989)
2. Pertahanan Bhisa-Patamiana, ahli kebathinan oleh orang wolio menyebutnya 'Moji' yaitu Mojina Kalau, mojina Silea, mojina Peropa dan mojina Waberangulu (Zahari, 1980 ; 115)
3. Pertahanan Matana Sorumba yaitu empat laskar pertahan yang terdiri dari empat kadie yang berada ditapal batas wilayah kesultanan Buton yaitu Lapandewa, Watumotobe, Wabula dan Mawasangka (Said, 1984 : 19)
4. Pertahanan Pata-Bharata sebagai pertahanan terluar yaitu kerajaan Kahedupa, kerajaan Kolengsusu, kerajaan Muna dan kerajaan Tiworo (Zuhdi, Susanto. 1999)
Sistem pertahanan empat penjuru berlapis yang diterapkan dalam kesultanan Buton dengan memberikan hak dan tanggungjawab sepenuhnya kepada Pata-Limbona, Bhisa-Patamiana, Matana Sorumba dan Pata-Bharata dalam urusan strategi pertahanan dan keamanan kedaulatan wilayah kesultanan. Hal ini menjadi legitimasi untuk mengkeptis atas klaim dari beberapa kadie bahwa mereka diberikan kewenangan dalam urusan sistem pertahanan dan keamanan wilayah kesultanan Buton. Karena tidak ada kadie dalam sara Wolio yang diberikan kewenangan dalam bidang pertahanan dan keamanan kecuali yang tergabung dalam sistem pertahanan empat penjuru berlapis. Bobato Bhaana Meja, Bobato Mancuana dan seluruh kadie dalam sara Wolio hanya bertanggung jawab dan berwenang terhadap strategi pertahanan dan keamanan wilayahnya masing-masing.
Pada masa pemerintahan Sultan Laelangi, Buton menyusun birokrasi kesultanan dengan melakukan banyak pembaharuan (merubah) Martabat Tujuh dengan mentransformasi prinsip Sailaompo dan Torumbalili menjadi konsep Pata-Bharata dan Kamboru-Mboru Talupalena. Kemudian menetapkan wilayah kesultanan Buton meliputi 72 kadie dan 4 Bharata.
Dalam Martabat Tujuh pada masa pemerintahannya (Sultan Buton IV) menetapkan hal-hal yang berhubungan dengan sara bharata diantaranya tentang pembagian wilayah teritorial tiap bharata serta struktur sara bharata yang tersebar di 4 bharata setara dengan syara Wolio.
Bharata Kahedupa sendiri terdapat Raja atau Lakina Kahedupa yang gelar dan perlakuannya setara dengan Sultan Buton, Lakina (Miantu'u) Sulujaju yang gelar dan posisinya setara dengan Kapita raja (Kapitalao) kesultanan Buton, Bonto Ogena bharata Kahedupa setara dengan Bonto Ogena kesultanan Buton, Bonto Tapa'a dan Bonto Kiwolu setara dengan mentri Siolimbona.
Sedangkan wilayah teritorial keamanan dalam struktur sara bharata Kahedupa dari Morommaho sampai Batuatas meliputi 18 kadie/limbo (kampung) yaitu 9 limbo dalam pulau Kaledupa dan 9 limbo diluar pulau Kaledupa (sia limbo dilaro sia limbo dhiliku). Wilayah sara bharata Kahedupa terbagi dalam dua wilayah yaitu umbosa dan siofa. Di wilayah Umbosa terdapat kadie Wali, Limbo Popalia, kadie Tongano, Kadie Timu, kadie Waha, kadie Langge, limbo Tapa'a, limbo Tombuluruha dan limbo Kifolu sedangkan diwilayah Siofa terdapat kadie Laulua, limbo Fatole, limbo Ollo, limbo Lefuto, kandie Mandati, kadie Kapota, kadie Wanse dan bobato mancuana Liya.
Seluruh kadie/limbo walaupun berada dalam wilayah bharata namun dalam mengelola wilayahnya memiliki aturan tersendiri untuk melaksanakan fungsi pemerintahannya yang disebut "sara kadie".
Pada tahun 1838 M, undang-undang Martabat Tujuh tentang Sara bharata kembali diperbaharui sesuai dengan keadaan perkembangan karena dianggap banyak pasal di dalamnya yang sudah tidak sesuai lagi (AM Zahari, 1977, I : 35).
Pembaharuan itu terjadi pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (Sultan Buton XXIX), namun disahkan dan ditandatangani seluruh pembesar Buton bersama para Lakina bharata pada tahun 1840 M, masing-masing : Muhammad Idrus Kaimuddin (Sultan), La Ode Tobelo (Sapati), La Ode Kosarana (Kenepulu), La Ode Tia (Kapitaraja), La Ode Ismail (Kapitaraja merangkap Raja Muna), La Ode Muhammad (Raja Tiworo), La Ode Manja (Raja Kalingsusu), La Ode Adam Salihi (Lakina Kahedupa), La Peropa (Menteri Besar Matanayo), Haji Abdul Rakhim (Menteri Besar Sukanayo) (AM Zahari, 1977, I : 105. Dok DPRD Tk. I, 1978 : 198. Daulani, Ahmad, 2021 : 81)
Dalam sara bharata hasil pembaharuan tersebut dinyatakan ter bentuk lah 18 kadie yang baru dalam lingkup wilayah kekuasaan Buton, menambahkan 72 kadie yang telah ada sebelumnya, sehingga seluruhnya menjadi 90 kadie yakni 56 di pimpin oleh Lakina yang diangkat dari golongan Kaomu dan 34 di pimpin oleh Bonto yang diangkat dari golongan Walaka. Namun ada Dua bonto tidak mempunyai wilayah dan satu bobato tidak ada lagi orangnya sehingga sisa 87 kadie. (AM Zahari, 1977, III : 37)
Dari 18 kadie yang baru terbentuk dalam perubahan Martabat Tujuh versi Muhammad Idrus Kaimuddin tersebut yang awalnya merupakan kadie-kadie yang berada dalam strukutur sara bharata. sedangkan Tiga kadie yang berada dalam wilayah bharata Kahedupa, ketiga kadie tersebut adalah Lia (maksudnya Liya), Wanci dan Kapota, yang masing-masing kadie tersebut dipimpin oleh Lakina dan atau Bobato Mancuana (AM Zahari, 1977, III : 35)
Lakina Liya memerintah atas wilayah kampung-kampung di Liya, Lakina Wanci memerintah atas kampung-kampung di Wanci, Togo, Wandoka, Pada, Wanginope, Wakalara, Lapalingku, Longa, Waelumu, dan Patuno sedangkan Lakina Kapota memerintah di wilayah Kapota.
Setelah ketiga kadie ini terbentuk dan terpisah dari struktur sara bharata Kahedupa pada tahun 1838 M, maka kadie Wanse dan kadie Kapota masuk dalam wilayah Pale Matanayo sedangkan kadie Liya masuk dalam wilayah Pale Sukanayo (AM Zahari, 1977, III : 38-39).
Sejak itu secara struktural ketiga kadie yang berada dalam wilayah bharata Kahedupa tersebut bertangung jawab langsung kepada pemerintah pusat Buton di Wolio bersama 84 kadie lainnya.
Akan tetapi pembentukan tiga kadie tersebut (Liya, Kapota dan Wanse) bukan berarti sama sekali terlepas dari Barata Kahedupa. Keterkaitannya dengan bharata Kahedupa tetap ada, terutama dalam koordinasi pertahanan dan keamanan (tugas militeristik) dalam rangka pemeliharaan stabilitas dan kedaulatan kesultanan Buton sebagaimana menjadi salah satu tanggung jawab utama yang melekat pada bharata. (AM Zahari, 1977, III)
Sebagaimana dijelaskan oleh AM Zahari bahwa tugas Liya sebagai bobato mancuana seperti halnya bonto yang disebut juga tunggu-tunggu (penjaga atau penunggu) di daerah pengawasannya. Di dalam menerima dan menyelesaikan sesuatu persoalan yang ajukan oleh rakyatnya, jika perkara yang sifatnya memerlukan penyelesaian secara hukum, maka wajib didampingi oleh seorang bonto yang terdekat dengan hukumnya.
Bobato mancuana juga merupakan spionase sultan. Liya sebagai bobato mancuana matanayo memantau pergerakan bharata kahedupa sedangkan Sampolawa sebagai bobato mancuana sukanayo memantau pergerakan Kamaru dan Batauga (Daulani, Ahmad. 2021 ; 108. La Yusrie : 2021)
Tugas lainnya adalah menjadi pimpinan pasukan dalam wilayahnya apabila kedaulatan wilayahnya mendapat serangan musuh dan atau juga menjadi pimpinan pasukan pembantu (pasukan cadangan) yang akan dikirimkan untuk membantu pasukan bharata kahedupa jika pasukan-pasukan bantuan dari 3 bharata bharata yang lain belum mampu menghalau musuh (AM Zahari, 1977, I : 82)
Struktur pemerintahan sara kadie berbeda-beda dalam setiap kadie, diatur sesuai jumlah penduduk dan luas wilayahnya. Setiap kadie wajib memelihara suatu hutan tertentu yang disebut kaombo (semacam hutan lindung) untuk menjamin berbagai kebutuhan kayu bahan-bahan pembuatan rumah atau bangunan, baik yang diminta oleh Syara Wolio, sara bharata maupun sara kadie dalam wilayah itu sendiri.
Dalam Martabat Tujuh hasil pembaharuan tentang sara bharata tersebut ditetapkan pula besaran weti (pajak) dari kadie-kadie yang baru dipisahkan dari sara bharata untuk diserahkan diserahkan kepada sara Wolio di kesultanan karena tidak lagi menjadi tanggungan bharata.
Adapun Weti atau pajak yang diserahkan oleh rakyat berupa hanya berupa hasil bumi namun ada juga pajak dalam bentuk "manusia" atau budak yang disebut wetimiana serta sejumlah uang dalam jumlah boka (sejenis satuan yang digunakan di Buton). (AM Zahari, 1977, I : 80)
Sebagaimana dokumen tertulis La Adi Ma Faoka dalam koleksi Abdul Mulku Zahari disebutkan bahwa rincian pajak yang wajib diserahkan oleh ketiga kadie tersebut dalam setiap tahun adalah :
1. Wanci dan Kapota masing-masing sebesar ; Jawana 20 boka dan 200 biji kelapa, Wetimiana 3 orang, Sandatana 20 boka dan 20 biji kelapa, Sadakana 20 boka, Kapajagana 1 boka, Bawana Rambanua 1 boka, Panganana 5 suku.
2. Liya sebesar ; Jawana 40 boka, Wetimiana 4 orang dan 400 kelapa, Sandatana 40 kelapa, Kapajagana 1 boka, Bawana Rambanua 1 boka, Panganana 5 suku (AM Zahari, 1977, III : 38-39).
Pada masa pemerintahan Muhammad Asyikin sultan XXXIII, dilakukan lagi pembaharuan Martabat Tujuh tentang sara bharata pasca penandatanganan perjanjian antara Sultan Buton dengan Residen Belanda yang bernama Brugman atau dikenal dengan perjanjian Asyikin-Brugman pada tahun 1906 M. Sara bharata dalam Martabat Tujuh hasil pembaharuan sultan Asyikin terbentuklah 30 kadie yang baru menambah 90 kadie yang sudah ada sehingga menjadi 120 Kadie. Khusus dalam sara bharata Kahedupa terbentuk 6 kadie baru menjadi syara Wolio yaitu Kadie Mandati, Kadie Timu, kadie Tongano, kadie Waha, kadie Wali dan Palahidu. Sehingga kadie/limbo yang masuk dalam sara bharata Kahedupa tinggal 9 yakni Langge, Laulua, Tapa'a, Tombuluruha, Tampara, Kiwolu, Ollo, Fatole, Lefuto yang dipimpin oleh 2 lakina dan 7 Bonto.
------oleh : Ahmad Daulani
Komentar