Kamis, 10 Juli 2025

Tarekat Qadiriyah : Ajaran & Nasehat Kuno yang Sirna dari Bumi Kahedupa

 oleh : Ahmad Daulani

Di antara kehidupan modern dan budaya barat yang merajalela, ada kelip cahaya di Kahedupa yang  merawat ayat-ayat murni tasawuf dalam nasehat kuno.  Di sinilah agama dan budaya bertemu, bukan dalam bentuk formal, tetapi dalam nasehat – nasehat bathin yang menuntun hidup masyarakat Kahedupa selama berabad-abad.

Melalui pendekatan antropologi dan history dapat menelusuri manuskrip tua yang memuat tentang ajaran Tarekat Qadariah di Kahedupa. Sebuah aliran tasawuf amaliah praktis yang menekankan adab dan dzikir untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT secara total.

Tarekat Qadiriyah, salah satu tarekat sufi yang berakar dari inti ajaran Syekh Abdul Qadir Al-Jilani. Didirikan sekitar tahun 1160 M ketika ia mulai mengajarkan tasawuf secara luas dan membentuk kelompok pengikut spiritual (murid) di Baghdad. Sejak saat itu Tarekat Qadiriyah telah memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di berbagai wilayah sampai ke Nusantara, termasuk di Kaledupa, sebuah pulau di kawasan Kepulauan Tukang Besi.

Setelah Syekh Abdul Qadir Al-Jilani wafat pada tahun 1166 M, Tarekat Qadiriyah terus berkembang oleh para murid dan keturunannya. Dalam beberapa abad, menyebar ke berbagai belahan dunia Islam seperti Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Tenggara termasuk Nusantara terutama wilayah Jawa, Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi. Diantaranya adalah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan yang menyebarkan di Jawa yang berpusat di Tasikmalaya. Syekh Ahmad Khatib Sambas yang menyebarkan di Kalimantan dan Sumatra yang berpusat di Peureulak. Syekh Yusuf Al Maqassari yang menyebarkan di Sulawesi yang berpusat di Makassar. Dan Syekh Ahmad Qais Idrus (Imamu Fadha) menyebarkan Tarekat Qadiriah di Kahedupa yang berpusat di Pale’a sejak abad ke-14 masehi. lalu menyusul Syekh Tua dari Makassar (Imamu Mansuana) juga menyebarkan Tarekat Qadiriah yang berpusat di Horuo pada abad ke-16 masehi. Kehadiran tarekat ini di Kahedupa tidak hanya membawa ajaran Islam yang bercorak tasawuf, tetapi juga turut mewarnai corak budaya lokal dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kearifan masyarakat setempat.

Di tengah masyarakat Kaledupa yang memiliki tradisi maritim kuat dan nilai-nilai komunal yang tinggi, ajaran Tarekat Qadiriyah diterima secara adaptif. Nilai-nilai seperti keikhlasan, tawadhu, kebersamaan, dan ketaatan kepada guru (murshid) sangat selaras dengan budaya lokal yang menjunjung tinggi rasa hormat kepada tetua, pemimpin adat, dan tokoh agama. Hal ini mempermudah proses internalisasi ajaran tasawuf ke dalam kehidupan sosial masyarakat Kahedupa. Diantara nasehat yang berintikan ajaran tasawuf yang sangat familiar adalah Kedhe dhi Killi, Parikonta dhi Bannara, Filangka dhi Toto.

Dalam makna dan praktek tasawuf amaliah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, yang dimaksud “Kedhe dhi Killi” berarti duduk ditempat-tempat yang penuh berkah diantaranya duduk di mesjid, majelis ilmu dll (QS. At-Taubah : 18). “Parikonta dhi Bannara” berarti berpegang teguh kepada kebenaran atau Al-Haqq (QS. Ali Imran : 103, Al Isra : 83). “Filangka dhi Toto” berarti hanya berjalan diatas jalan yang lurus sesuai dengan petunjuk Allah yakni jalannya para nabi, para shalihin dan orang-orang yang diridhoi (QS. Al An’am : 153, Al Fatihah : 6).

Nama Syekh Abdul Qadir al-Jilani akan selalu terdengar dalam ritual-ritual keagamaan dan hajatan adat seperti gunti’a dan nabhudasa’a yang menjadi bagian dari kehidupan religius masyarakat Kahedupa, bahkan apik terabadikan dalam bait-bait Iamalahu salah satu syair kuno Lariangi. Dalam konteks ini, praktik-praktik tarekat tidak dipandang sebagai praktek religius semata, melainkan telah menyatu dengan ritus-ritus tradisional yang bersifat sakral dan spiritual. Masyarakat Kahedupa memaknainya sebagai kerangka kehidupan, dari posisi duduk, berdiri dan berjalan menjadi metafora tentang amaliah dalam setiap fase hidup manusia.

Tarekat Qadiriyah juga berperan penting dalam menjaga nilai-nilai moral dan spiritual masyarakat. Dalam konteks ini, guru atau mursyid atau tetua dipandang sebagai panutan yang tidak hanya membimbing dalam urusan agama, tetapi juga menjadi tempat meminta nasihat dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai tarekat seperti kesabaran, ketawakalan, dan kebersihan hati menjadi semacam filter sosial dalam menjaga keharmonisan komunitas. Hal ini terlihat jelas pada prosesi “Pajulu” yang masih dilestarikan oleh masyarakat Kahedupa pada setiap prosesi pernikahan masyarakat Kahedupa. Dengan demikian, tarekat Qadiriyah bukan hanya menjadi jalur spiritual personal, tetapi juga menjadi fondasi kebudayaan kolektif yang menjaga harmoni sosial di Kahedupa.

Dalam perspektif kearifan lokal, Tarekat Qadiriyah di Kahedupa menunjukkan bahwa agama dan budaya dapat berjalan beriringan. Ajaran-ajaran tasawuf yang lembut dan inklusif mampu berakulturasi dengan adat istiadat lokal, melahirkan sebuah bentuk Islam yang damai, toleran, dan membumi. Inilah wujud dari Islam lokal yang tidak hanya mengajarkan kedekatan kepada Tuhan, tetapi juga menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungannya yang termanifestasi pada karakter TARA – TURU – TORO.

Dulu !!! disana, ajaran tasawuf memang tidak hadir sebagai hukum institusional namun ia menjelma menjadi roh budaya dan adat istiadat, menuntun cara pandang dan membentuk cara hidup masyarakatnya. Kini, ajaran dan nasehat kuno tasawuf itu telah padam sepenuhnya bak ditelan bumi. Kahedupa yang dikenal sebagai Togo Gau Satoto tidak mampu lagi menasehati dan mengobati dirinya sendiri. Degradasi moral, ahlak dan adab sudah menjadi tren anak muda.

Islam dengan tarekat Qadariahnya tidak lagi mengalir dalam tutur kata, tingkah laku, sikap hormat kepada sesama, bahkan tidak mampu bersemayam lagi di masjid – mesjid, seolah – olah ditempatkan pada dimensi lain dari kehidupan. Walaupun nasehat – nasehat suci yang sampai dalam kesunyian sesungguhnya tidak pernah lelah meskipun lemah. Kendatipun tinggal jejak lampau, harusnya cukup sebagai pengingat bagi manusia bahwa agama bukan sekedar tuntunan ibadah, tapi jalan panjang yang menuntun manusia dari biadab menuju beradab dan dari gelap menuju terang.

Rabu, 20 September 2023

KANTOLALO

Dalam landschape peradaban masa lampau selalu merekam nama-nama pelaku sejarah yang menjadi penaut hubungan beberapa kerajaan. Tapi tidak sedikit juga yang tidak populer karena minimnya literatur yang telah menjajaki mereka. Sama seperti wilayah lainnya Sulawesi Tenggara juga terdapat tokoh-tokoh sejarah yang kisahnya tercatat dalammlembaran-lembaran kertas sebagai alat perekam masa lampau, padahal memiliki peran dan andil besar dalam menoreh kisah sejarah,

Salah satunya adalah Kantolalo. Ia merupakan keturunan trah bangsawan kerajaan Muna yang banyak berdiaspora dengan wilayah-wilayah kerajaan lain di Sulawesi Tenggara. Kantolalo dinobatkan menjadi Lakina Barata Wuna ke – 11 (dihitung dari Lakina Muna La Posasu atau Kobangkuduno dan 2 soloweta raja) atau raja Muna ke 18 (dihitung dari Raja Muna Mancuana Bheteno Ne Tombula). Ia menjabat sebagai Lakina Muna pada sekitar tahun 1759-1764 Masehi menggantikan ayahnya Omputo Sangia. Sebenarnya sebelum dirinya dinobatkan sebagai Lakina Muna ada Lakina sementara yang mengisi kekosongan pasca Meninggalnya Omputo Sangia La Ode Husaini yaitu La Ode Pontimasa atau oleh masyarakat Muna disebut Soloweta Raja atau raja sementara yang hanya menjabat selama 40 hari saja. 

Kantolalo bin Omputo Sangia bin Sangia Latugho bin Sangia Kainde La Ode Ngkadiri memiliki beberapa 0rang saudara laki-laki diantaranya adalah La Ode Zaenal Abidin, La Ode Muhammad Ali, La Ode Harisi, La Ode Murusali dan La Ode Umara atau Omputo Nigege.

Dalam beberapa naskah kuno yang ada baik naskah versi Belanda, versi Buton, versi Muna, versi Laiwui, versi Makassar dan versi Kaledupa terdapat catatan yang menuliskan nama lain dari Kantolalo yakni Omputo Kantolalo atau La Ode Kantada atau La Ode Kotu Koda atau La Ode Ngkada atau Sangia Kasidha’a atau Kapitalao Lohia dan Haerun Bardhai (namanya di Bone). Sebelum ia dinobatkan menjadi raja Muna ia merupakan seorang Kapten Laut atau Kapitalao dari Lohia (salah satu wilayah administrasi Barata Muna), sehingga ia dikenal juga dengan nama Kapitalao Lohia.

***

Dalam memori kolektif orang Kaledupa, Kantolalo merupakan salah seorang dari beberapa tokoh sejarah yang berdiaspora ke Kaledupa. Keberadaanya di Kaledupa menambah deretan tokoh sentral yang menautkan secara genealogi antara kerajaan Kaledupa (Kahedupa) dengan beberapa kerajaan lain khususnya kerajaan Muna, Tiworo dan Buton. 

Kantolalo dalam landschape sejarah Kaledupa tidak kalah menarik dengan tokoh-tokoh sentral lainnya yang menjadi simpul penaut Kaledupa dan beberapa kerajaan besar lainnya dan telah kami ulas kisahnya dalam beberapa tulisan yang berbeda, diantara tokoh tsb adalah La Rahamani, La Ulepe, Kakadho Bha Lasuna (Balasuna), dan Faopu di Mokkimu atau Mo’ori Kamali Ijo. 

Ia pertama kali berdiaspora ke Kaledupa dengan persetujuan sultan Buton setelah 6 atau 8 tahun pasca purna tugasnya sebagai Lakina  barata Muna pada sekitar tahun 1770 atau 1772 masehi. Kantolalo populer dengan nama Sangia Kasidha’a di Kaledupa. Kedatangannya ke Kaledupa didampingi oleh istri yang adalah putri dari Sultan La Jampi. Salah satu anak Kantolalo dari pernikahan tersebut adalah La Ode Siripua (Sangia Geresa Lakina barata Kahedupa VI)

Berdasarkan tradisi lisan (oral tradition) yang dituturkan oleh lembaga adat barata Kahedupa, menyebutkan bahwa Kantolalo setelah berada di Kaledupa ia kemudian  menjabat sebagai Lakina Sulujaju Barata Kahedupa I. 

***

Tahun berapa kerajaan Kahedupa terintegrasi ke dalam wilayah kesultanan Buton menjadi wilayah Barata Kahedupa ?

Latar belakang terintegrasinya kerajaan Kahedupa menjadi barata Kahedupa terjadi dalam dua fase. Fase pertama yaitu secara de jure. Berdasarkan naskah kuno Buton 4 negeri barata terintegrasi kedalam wilayah kekuasaan Buton dengan latar belakang sejarah dan wakatu yang berbeda-beda. Khususnya Kahedupa sebagaimana tercantuk dalam Martabat Tujuh terintegrasi pada masa pemerintahan Laelangi sebagai Sultan Buton IV pada sekitar tahun 1613 Masehi. Terlihat pada isi martabat tujuh yang diumumkan oleh Sapati La Singga, menetapkan bahwa wilayah kesultanan Buton itu meliputi Barata Pata Palena dan 72 kadie.

Fase kedua yaitu secara de facto. Berdasarkan oral tradition dan memori kolektif orang Kaledupa menyatakan bahwa penetapan wilayah Buton secara de jure itu dibantah bahwa pada tahun itu Kaledupa belumlah terintegrasi secara resmi artinya Kaledupa masih dalam status kerajaan yang berdiri sendiri. Kaledupa terintegrasi kedalam wiayah kesultanan Buton pada masa pemerintahan Oputa Mosabuna yi Kumbewaha atau La Buke sultan Buton ke VI pada tahun 1632-1645 M. sedangkan di Kaledupa Lakina Kahedupa I adalah Kasafari yang merupakan saudara kandung sultan La Buke. Kasafari memerintah pada tahun 1635 – 1673 Masehi.

Kalau melihat dari tahun peristiwa diatas, Kantolalo sampai ke Kaledupa pada masa pemerintahan Sangia Jalima lakina barata Kahedupa ke 3. Dan kemungkinan besarnya ia menjabat sebagai Lakina Sulujaju pada masa ini.

Jika Kantolalo adalah Lakina Sulujaju ke I yang menjabat pada masa pemerintahan Lakina Kahedupa ke 3 berarti pada masa pemerintahan Lakina Kahedupa ke 1 dan 2 tidak pernah ada yang menjabat jabatan lakina sulujaju tsb.

Pertanyaan besarnya adalah (1) apakah pada masa pemerintahan Kasafari sbg lakina Kahedupa 1 dan pada masa pemerintahan Indolu yi Pale’a belum ada jabatan Lakina sulujaju ? (2) apakah jabatan lakina Sulujaju sudah ada sejak masa Kasafari tetapi tidak ada orang yang menduduki jabatan tsb ?

Dalam Martabat tujuh juga terdapat struktur jabatan inti atau sara inti di 4 barata. Pada struktur sara barata kahedupa terdapat 5 jabatan inti berdasarkan M7 yaitu Lakina Kahedupa, Bonto To’oge, Lakina Sulujaju, Bonto Tapa’a dan Bonto Kifolu. Sara inti di Barata Wuna yaitu Lakina Wuna, Kapitalao, Bontoogena, Mintarano Bhitara Fatoghoerano. Sara inti di Barata Tiworo yaitu Lakina Tiworo, Mieno Lawa, Mieno Lasipamu, Sahabandara. Sedangkan sara inti di Barata Kulisusu yaitu Lakina Kulisusu, Kenipulu, Bontona Kampani, Bontona Kancua – Ncua, Kapitana Lipu.

Jika merujuk pada pembagian sara inti barata sebagaimana tertuang dalam Martabat Tujuh maka seharusnya sudah ada jabatan Lakina Sulujaju sejak masa pemerintahan Kasafari sebagai Lakina Kahedupa ke I yang menjabat thn 1635 – 1673 Masehi. 

Jika jabatan itu harusnya ada sejak masa kasafari maka sangat tidak mungki pada masa itu jabatan strategis lakina sulujaju (panglima perang) akan dibiarkan kosong sampai puluhan tahun lamanya.

Lantas bagaimana jabatan Lakina Sulujaju pertama akan dijabat oleh Kantolalo yang berada di Kaledupa pada sekit


ar tahun 1702 sedangkan jabatan ini ada sejak tahun 1635 !


Oleh : Ahmad Daulani

Kamis, 23 Maret 2023

Tradisi Temba'a Nu Komba dan Memori Ramadhan di Kaledupa

Oleh : Ahmad Daulani

Kemarin pada tanggal 22 Maret pemerintah RI melalui kementrian Agama RI bersama beberapa ormas Islam melakukan sidang isbat dengan metode rukyatul hilal untuk menentukan satu Ramadhan secara resmi.

Rukyatul hilal atau memantau bulan biasanya pada akhir bulan Sya’ban dan akhir bulan Ramadhan lazimnya dilakukan dibeberapa titik yang dianggap strategis utuk memantau hilal atau bulan. Jika terlihat bulan maka sidang isbat Kemenag akan memutuskan dan mengumumkan  puasa 1 Ramadhan.

Dahulu hal serupa juga rutin dilakukan oleh sara bharata Kahedupa melalui sara Fofine (Sara Agama) bharata Kahedupa, pada masa ini rukyatul hilal disebut dengan Tembaana nu Komba. Walaupun tradisi ini kini telah sirna segala-galanya tanpa bekas.

Tradisi Tembaa nu Komba akan dilaksanakan oleh dewan Sara Fofine di masjid Agung Bente sebagai masjid raya bharata Kahedupa. Dewan sara Fofine tersebut terdiri dari Lakina Agama, imamu Kahedupa, Khatibi Kahedupa, Moji Tombuluruha, Moji Kifolu, Moji Tampara, Moji Fatole, Moji Ollo, moji Tapa’a, Moji Lefuto. Ditambah Laganda dan Bonto Paseba sebagai perwakilan sara Hu'u bharata Kahedupa (pemerintahan eksekutif) dalam sidang tersebut. Sedangkan ketua dewan sara Fofine adalah Lakina Agama.

Dalam proses rukyatul hilal, ketujuh orang Moji akan melakukan pemantauan hilal di beberapa titik di wilayah Kahedupa. Jika hilal sudah terlihat, mereka akan langsung melaporkan kepada dewan Sara Fofine, ketika itu Lakina Agama sebagai pimpinan dewan akan mengeluarkan keputusan setelah mengambil sumpah dari Moji yang telah melihat hilal pada saat pemantauan.  Keputusan dewan tentang penetapan 1 Ramadhan yang ditandai dengan bunyi gendang mesjid Agung Bente yang dibunyikan oleh Laganda.

Bonto Paseba kemudian akan menghadap Lakina Kahedupa di Kamali untuk melaporkan hasil keputusan yang telah ditetapkan oleh dewan Sara Fofine. Lakina Kahedupa lalu memerintahkan pasukan Tamburu melakukan Mbeli di Kamali lalu keliling kampung sebagai bentuk pengumuman resmi dari Lakina Kahedupa bahwa puasa pertama akan dimulai. 

Sedangkan Pangalasan akan meninformasikan kepada para lakina kadie dan bonto limbo atas hasil sidang dewan sara fofine

Setelah mendengar bunyi gendang masjid sebagai isyarat bahwa dewan Sara Fofine telah menetapkan 1 Ramadhan, maka akan dilaksanakan prosesi Temba'a nu Komba, seorang yang ditugaskan untuk menembakan bhadili di lawa Kifolu salah satu lawa yang ada benteng bharata Kahedupa akan segera menembakkan bhadili (bedil/meriam) dengan dihadapkan kearah bulan. Kemudian akan disusul tembakan bedil dari lawa Tapa’a kemudian akan disambut lagi oleh tamburu yang dimainkan dari Kamali. Dari tradisi seperti ini sehingga orang Kahedupa selalu menyebut 1 Ramadhan dengan nama Temba’a Nu Komba.

Seketika itu masyarakat Kahedupa akan langsung menyiapkan Harua tembaa nu komba dan berbagai macam hidangan dirumah-rumah mereka untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Satu hari spesial untuk mempersiapkan segala hidangan untuk menyambutnya disebut "moina hesai-saia", walaupun banyak darinya dihidangkan seperti hari-hari biasa tanpa berpuasa.

Kamipun yang masih usia belia kala itu tidak mau ketinggalan dengan kemeriahan untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Kami secara kelompok membunyikan meriam bambu secara bersahut sahutan, selalu ada korban yang kehilangan bulu mata dan alis disetiap momen tersebut. Tidak sedikit juga dari kami yang tidak ikut melaksanakan shalat taraweh karena terhanyut dalam kebagaian bermain. Teman kami yang sempat ikut shalat taraweh bukan karena rajin shalat tetapi hanya sekedar ingin berteriak “bihiiiiiiii”

Yahhh banyak kenangan itu masih terpatri dalam ingatan. Melaluinya, kami atas nama keluarga menghaturkan permohonan maaf yang setinggi-tingginya untuk semuanya jika pernah terbesit khilaf dan salah baik sengaja maupun tidak, lewat dunia nyata maupun maya. 

Semoga Allah meridhoi Ramadhan kita tahun ini dan selepasnya, tidak meninggalkan apapun dalam diri kita kecuali kebaikan. 

Selamat menjalankan ibadah puasa

Kamis, 08 Desember 2022

KALEDUPA DALAM ANCAMAN INVASI

 








Kaledupa (Kahedupa) sebagai salah satu wilayah pertahanan Luar kesultanan Buton, dalam menjalankan fungsi dan tata kelola pemerintahan tidaklah selalu berlangsung mulus, damai dan tertib saja. Namun sering diperhadapkan dengan masalah-masalah khususnya keamanan dan pertahanan baik internal maupun eksternal. 

Kahedupa sebagai sentral pemerintahan Barata Kahedupa yang terbentang dari Moromaho sampai Batuatas sebagai wilayah dan teritorial keamanannya dahulu yang membawahi 18 kadie dan limbo, pernah diperhadapkan dengan ancaman yang datang dari internal kuasanya sendiri, diantaranya adl mendamaikan peramg saudara kadie Timubdan Waha di pulau Tomia dan adanya upaya kudeta terhadap Lakina (raja) Kahedupa oleh salah satu kadie yang berada dibawah naungannya. 

Kahedupa juga selalu melibatkan diri sebagai bentuk dukungan terhadap sistem pertahanan kesultanan Buton dengan turut aerta dalam perang-perang yang Buton lakukan. Perang Buton-Ternate, perang Buton-Goa, perang Buton-Ambon bahkan Kahedupa tidak sedikit turun tangan untuk meredam konflik-konflik internal dalam wilayah kesatuan kesultanan Buton yang berpotensi pada situasi yang instabilitas pemerintahan. 

Kehadiran Kahedupa yang selalu menjadi kekuatan Buton senantiasa menjadi energi dan obat bagi kesultanan Buton sendiri. Jika Kahedupa sudah turun maka selesailah segala persoalan yang mengintai Buton.

Dalam statusnya sebagai barata Kahedupa, beberapa kali wilayahnya mengahadapi ancaman invasi dari negeri-negeri luar yang tidak terlepas dari ancaman kesultanan Ternate dan Goa sebagai dua kekuatan besar yang menghimpit kesultanan Buton. 

Sejarah pernah mencatat ancaman yang sangat besar yakni ancaman invasi dari Papua dan Seram yang ingin merongrong wilayah Kahedupa dan beberapa wilayah Buton yang lain. Ancaman itu berlangsung beberapa bulan. Tidak main-main ancaman invasi tersebut sebab 2000 pasukan perang yang dengan 200 armada kapal siap menerkam saat itu yang tersebar di 4 wilayah termasuk Kahedupa. Bersamaan dengan ancaman serangan di wilayah Mawasangka, Lowu-Lowu dan Lasalimu.

Peristiwa ini mengharuskan pasukan perang Kahedupa harus meminta bantuan persenjataan kepada Buton karena nyaris kehabisan amunisi dan persenjataan demi menghalau invasi pasukan dari Papua dan Seram tsb. 

Barata Kahedupa saat itu berada dibawah kepemimpinan Lakina Kahedupa ke-6 Sangia Geresa sejaman dengan masa pemerintahan Sultan Buton ke-26 Oputa yi Lawalangke (La Kopuru)

Upaya kesultanan Buton untuk mempertahankan wilayah kedaulatannya sudah semestinya mempersenjatai wilayah-wilayah yang sedang menghadapi ancaman invasi. Untuk mewujudkan hal tersebut Sultan Buton Oputa Yii Lawalangke bersurat kepada paduka Gubernur VOC di Batavia agar dikabulkan permohonannya melalui utusan yang ia kirim untuk membeli perlengkapan perang kepada VOC. Jenis senjata yang ingin dibeli oleh Buton adalah senapan atau senjata terbaik saat itu sebanyak 400 pucuk, obat-obatan sebanyak 40 pikul (satuan Buton 1 pikul setara dengan 64 kg), timah 20 pikul, batu api (mengkin peluru meriam) sebanyak 4000 biji.

Oleh : Ahmad Daulani

Rabu, 15 Desember 2021

KEDUDUKAN BHARATA KAHEDUPA DALAM KESULTANAN BUTON

Secara geografis wilayah kesultanan Buton merupakan suatu gugusan pulau yang terletak di kawasan laut Banda dan laut Flores, yang diapit oleh dua wilayah kerajaan besar yaitu kerajaan Ternate dan kerajaan Gowa. 

Pada masa pemerintahan sultan Murhum, kesultanan Buton bukan hanya menata urusan internal saja tetapi menggenjot pembangunan sistem pertahanan karena dalam kurun waktu tersebut Ternate dan Gowa mulai melancarkan pengaruhnya keluar wilayah mereka sendiri. Kesultanan Buton yang berada paling dekat dan strategis di antara mereka menjadi objek serangan utama.

Dalam menghadapi ancaman-ancaman dari dua kerajaan besar tersebut, Sultan Murhum mendorong  pembangun dan mempersiapkan strategi pertahanan untuk melindungi wilayahnya.

Pada masa pemerintahan Sultan Murhum, kesultanan Buton menjalin persekutuan bidang strategi dan pertahanan dengan kerajaan-kerajaan yang terletak di empat penjuru Buton untuk saling menjaga dan saling melindungi wilayahnya yakni kerajaan Kahedupa, kerajaan Muna, kerajaan Tiworo dan kerajaan Kalingsusu. Persekutuan itu disebut "BHARATA". Persekutuan atau kerjasama kelima kerajaan tersebut dikukuhkan dalam 'Perjanjian Kapeo-Peo' yang dibangun pada prinsip SOILAOMPO (Rajutan Selo) dan TORUMBALILI (Mahkota bergilir).

Dalam terminologi orang Buton, bharata adalah cadik perahu (The  ship  of  state  Buton) dalam  penerapannya  adalah pertahanan negeri  bharata,  yang  mengandung  makna  perahu bercadik  ganda.  Dalam  konteks  itu,  maka  dapat  dipahami  bahwa  munculnya  gagasan konsepsi  mengenai sistem pertahanan empat penjuru berlapis yamg digagas oleh Kesultanan Buton ini diambil  dari  struktur  perahu cadik ganda.

Dalam  bahasa  Wolio,  bharata  selain  berarti  tenaga  atau  kekuatan  juga  berarti  ikatan pasak  pengapung  sayap  perahu  dengan  tangannya. (Anceaux,  1987:  13)

Bharata juga diistilahkan yabharata yolipu yang berarti daerah berkabung. Istilah ini muncul pada waktu kesultanan Buton mendapat serangan dari luar sehingga  ketika itu bharata dianggap berkabung karena keempat bharata berjuang keras untuk melindungi Buton dari serangan musuh yang datang dari luar. (Couvreur, 1935 : 8)

Barata yang dimaksud dengan penopang  Kesultanan  Buton  adalah Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa (Susanto  Zuhdi,  2010:  120).  Keempat  barata  itu  dinamakan  Barata  Patapalena  artinya „barata  empat‟.  Antara  Buton  dan  daerah  barata  tersebut  saling  bantu  membantu  dalam segala hal demi kepentingan bersama, terutama  dalam bidang  pertahanan dan keamanan. 

Dalam  buku  Dokumentasi yang diterbitkan  oleh  DPRD  Propinsi  Sulawesi Tenggara dinyatakan bahwa bharata  dalam arti politis adalah kerajaan-kerajaan yang berdiri  sendiri dalam  lingkungan  Kesultanan  Buton,  terdiri  dari  Kerajaan  Muna,  Kerajaan  Tiworo,  Kerajaan Kulisusu,  dan  Kerajaan  Kaledupa,  yang  masing-masing  mempunyai  dan  mengatur pemerintahannya  sendiri  (Anonim, tt  : 198).

Bharata artinya adalah kerajaan yang diberikan  kekuasaan  otonom  untuk  langsung  bertindak  apabila  ada  musuh  yang mengganggu wilayah mereka dan wilayah kesultanan Buton, dan bharata bertanggung jawab penuh atas  keamanan wilayahnya masing-masing  (La Ode Zaenu, 1985 : 36). 

Bharata merupakan nama dari persekutuan Buton dan kerajaan-kerajaan  merdeka  yang  berdiri  sendiri yang berada diwilayah yang berdekatan dengan Kesultanan Buton yang bidang  kerjasamanya lebih  ditujukan  pada pengamanan wilayah  berupa  pertahanan  terhadap gangguan  musuh (Muhammad Gazali, dkk. 1992:  30).

Bharata adalah nama yang diberikan oleh Buton kepada kerajaan-kerajaan yang menjalin perserikatan kerjasama dibidang pertahanan dan keamanan wilayah (La Niampe : 2018)

Bharata adalah persekutuan lima kerajaan dalam pertahanan dan keamanan (Ali Hadara)

Bharata adalah nama untuk empat kerajaan yang bersekutu dengan Buton yakni kerajaan Kahedupa, kerajaan Muna, kerajaan Kalisusu dan kerajaan Tiworo dengan tujuan saling membantu dan melindungi wilayah dari ancaman musuh (Daulani, Ahmad : 2021) 

Walaupun  agak  berbeda-beda  redaksinya,  namun maksud dari semua pernyataan di atas sebenarnya  mempunyai  maksud  yang  sama,  yaitu  bharata  adalah  suatu basis  pertahanan  keamanan  yang  dibentuk  terutama untuk mengantisipasi dan saling menjaga dari segala macam gangguan keamanan.

Setelah menjalin persekutuan Bharata, sultan Murhum membentuk strategi pertahanan Buton yang disebut dengan "Sistem Pertahanan Empat Penjuru Berlapis". Secara keseluruhan empat lapis pertahanan itu adalah sbb :

1. Pertahanan Pata-Limbona dalam benteng Wolio yaitu Baluuwu, Peropa, Gundu-Gundu dan Barangkatopa. Keempat kampung ini merupakan kekuatan inti dari kesultanan Buton yang menjalankan pengawasan bersama Tamburu Limaanguna (Zahari, 1980. Said : 1989)

2. Pertahanan Bhisa-Patamiana, ahli kebathinan oleh orang wolio menyebutnya 'Moji' yaitu Mojina Kalau, mojina Silea, mojina Peropa dan mojina Waberangulu (Zahari, 1980 ; 115)

3. Pertahanan Matana Sorumba yaitu empat laskar pertahan yang terdiri dari empat kadie yang berada ditapal batas wilayah kesultanan Buton yaitu Lapandewa, Watumotobe, Wabula dan Mawasangka (Said, 1984 : 19)

4. Pertahanan Pata-Bharata sebagai pertahanan terluar yaitu kerajaan Kahedupa, kerajaan Kolengsusu, kerajaan Muna dan kerajaan Tiworo (Zuhdi, Susanto. 1999)

Sistem pertahanan empat penjuru berlapis yang diterapkan dalam kesultanan Buton dengan memberikan hak dan tanggungjawab sepenuhnya  kepada Pata-Limbona, Bhisa-Patamiana, Matana Sorumba dan Pata-Bharata dalam urusan strategi pertahanan dan keamanan kedaulatan wilayah kesultanan. Hal ini menjadi legitimasi untuk mengkeptis atas klaim dari beberapa kadie bahwa mereka diberikan kewenangan dalam urusan sistem pertahanan dan keamanan wilayah kesultanan Buton. Karena tidak ada kadie dalam sara Wolio yang diberikan kewenangan dalam bidang pertahanan dan keamanan kecuali yang tergabung dalam sistem pertahanan empat penjuru berlapis. Bobato Bhaana Meja, Bobato Mancuana dan seluruh kadie dalam sara Wolio hanya bertanggung jawab dan berwenang terhadap strategi pertahanan dan keamanan wilayahnya masing-masing.

Pada masa pemerintahan Sultan Laelangi, Buton menyusun birokrasi kesultanan dengan melakukan banyak pembaharuan (merubah) Martabat Tujuh dengan mentransformasi prinsip Sailaompo dan Torumbalili menjadi konsep Pata-Bharata dan Kamboru-Mboru Talupalena. Kemudian menetapkan wilayah kesultanan Buton meliputi 72 kadie dan 4 Bharata. 

Dalam Martabat Tujuh pada masa pemerintahannya (Sultan Buton IV) menetapkan hal-hal yang berhubungan dengan sara bharata diantaranya tentang pembagian wilayah teritorial tiap bharata serta struktur sara bharata yang tersebar di 4 bharata setara dengan syara Wolio. 

Bharata Kahedupa sendiri terdapat Raja atau Lakina Kahedupa yang gelar dan perlakuannya setara dengan Sultan Buton, Lakina (Miantu'u) Sulujaju yang gelar dan posisinya setara dengan Kapita raja (Kapitalao) kesultanan Buton, Bonto Ogena bharata Kahedupa setara dengan Bonto Ogena kesultanan Buton, Bonto Tapa'a dan Bonto Kiwolu setara dengan mentri Siolimbona.

Sedangkan wilayah teritorial keamanan dalam struktur sara bharata Kahedupa dari Morommaho sampai Batuatas meliputi 18 kadie/limbo (kampung) yaitu 9 limbo dalam pulau Kaledupa dan 9 limbo diluar pulau Kaledupa (sia limbo dilaro sia limbo dhiliku). Wilayah sara bharata Kahedupa terbagi dalam dua wilayah yaitu umbosa dan siofa. Di wilayah Umbosa terdapat kadie Wali, Limbo Popalia, kadie Tongano, Kadie Timu, kadie Waha, kadie Langge, limbo Tapa'a, limbo Tombuluruha dan limbo Kifolu sedangkan diwilayah Siofa terdapat kadie Laulua, limbo Fatole, limbo Ollo, limbo Lefuto, kandie Mandati, kadie Kapota, kadie Wanse dan bobato mancuana Liya.

Seluruh kadie/limbo walaupun berada dalam wilayah bharata namun dalam mengelola wilayahnya memiliki aturan tersendiri untuk melaksanakan fungsi pemerintahannya yang disebut "sara kadie". 

Pada tahun 1838 M, undang-undang Martabat Tujuh tentang Sara bharata kembali diperbaharui  sesuai  dengan  keadaan perkembangan karena dianggap banyak pasal di dalamnya yang sudah tidak sesuai lagi (AM Zahari, 1977,  I  : 35). 

Pembaharuan itu terjadi pada masa pemerintahan Sultan  Muhammad Idrus Kaimuddin (Sultan Buton XXIX), namun disahkan dan ditandatangani  seluruh pembesar Buton bersama  para Lakina  bharata pada tahun 1840 M, masing-masing : Muhammad  Idrus  Kaimuddin  (Sultan), La Ode Tobelo (Sapati), La Ode Kosarana (Kenepulu), La Ode Tia  (Kapitaraja), La Ode Ismail (Kapitaraja merangkap Raja Muna), La Ode  Muhammad (Raja  Tiworo), La Ode Manja (Raja  Kalingsusu), La Ode Adam Salihi (Lakina Kahedupa),  La  Peropa (Menteri Besar Matanayo), Haji Abdul Rakhim  (Menteri Besar Sukanayo) (AM  Zahari, 1977, I : 105. Dok DPRD Tk. I, 1978 : 198. Daulani, Ahmad, 2021 : 81)

Dalam sara bharata hasil pembaharuan tersebut  dinyatakan ter bentuk lah 18 kadie yang baru dalam lingkup wilayah kekuasaan Buton, menambahkan 72 kadie yang telah ada sebelumnya, sehingga  seluruhnya menjadi 90 kadie yakni 56 di pimpin oleh Lakina yang diangkat dari golongan Kaomu dan 34 di pimpin oleh Bonto yang diangkat dari golongan Walaka. Namun ada Dua bonto tidak mempunyai  wilayah dan satu bobato tidak ada lagi  orangnya sehingga sisa 87 kadie. (AM Zahari, 1977, III  :  37)

Dari 18 kadie yang baru terbentuk dalam perubahan Martabat Tujuh versi Muhammad Idrus Kaimuddin tersebut yang awalnya merupakan kadie-kadie yang berada dalam strukutur sara bharata. sedangkan Tiga kadie yang berada  dalam wilayah bharata Kahedupa, ketiga kadie tersebut adalah  Lia (maksudnya Liya), Wanci dan Kapota, yang masing-masing kadie tersebut dipimpin oleh Lakina dan atau Bobato Mancuana (AM Zahari, 1977,  III : 35)

Lakina Liya memerintah atas wilayah kampung-kampung di Liya, Lakina Wanci  memerintah atas kampung-kampung di Wanci, Togo, Wandoka, Pada, Wanginope, Wakalara, Lapalingku, Longa, Waelumu, dan Patuno sedangkan Lakina Kapota memerintah di wilayah Kapota.

Setelah ketiga kadie ini terbentuk dan terpisah dari struktur sara bharata Kahedupa pada tahun 1838 M, maka kadie Wanse dan kadie Kapota masuk dalam wilayah Pale Matanayo sedangkan kadie Liya masuk dalam wilayah Pale Sukanayo (AM  Zahari, 1977, III : 38-39).

Sejak itu secara struktural ketiga kadie yang berada dalam wilayah bharata Kahedupa tersebut bertangung jawab langsung kepada pemerintah pusat Buton di Wolio  bersama 84 kadie lainnya.

Akan tetapi pembentukan tiga kadie tersebut (Liya, Kapota dan Wanse) bukan berarti sama sekali terlepas dari Barata Kahedupa. Keterkaitannya dengan bharata Kahedupa tetap ada, terutama  dalam koordinasi pertahanan dan keamanan (tugas militeristik) dalam rangka pemeliharaan stabilitas dan kedaulatan kesultanan Buton sebagaimana menjadi salah satu tanggung jawab utama yang melekat pada bharata. (AM Zahari, 1977, III)

Sebagaimana dijelaskan oleh AM Zahari bahwa tugas Liya sebagai bobato mancuana seperti halnya bonto yang disebut juga tunggu-tunggu (penjaga atau penunggu) di daerah pengawasannya. Di dalam menerima dan menyelesaikan sesuatu persoalan yang ajukan oleh rakyatnya, jika perkara yang sifatnya memerlukan penyelesaian secara hukum, maka wajib didampingi oleh seorang bonto yang terdekat dengan hukumnya. 

Bobato mancuana juga merupakan spionase sultan. Liya sebagai bobato mancuana matanayo memantau pergerakan bharata kahedupa sedangkan Sampolawa sebagai bobato mancuana sukanayo memantau pergerakan Kamaru dan Batauga (Daulani, Ahmad. 2021 ; 108. La Yusrie : 2021)

Tugas lainnya adalah menjadi pimpinan pasukan dalam wilayahnya apabila kedaulatan wilayahnya mendapat serangan musuh dan atau juga menjadi pimpinan pasukan  pembantu (pasukan cadangan) yang akan dikirimkan untuk membantu pasukan bharata kahedupa jika pasukan-pasukan bantuan dari 3 bharata bharata yang lain belum mampu menghalau musuh (AM Zahari, 1977, I : 82)

Struktur pemerintahan sara kadie berbeda-beda dalam setiap  kadie,  diatur sesuai jumlah penduduk dan luas wilayahnya. Setiap kadie wajib memelihara suatu hutan  tertentu yang disebut kaombo (semacam hutan lindung) untuk  menjamin berbagai kebutuhan kayu bahan-bahan  pembuatan rumah atau bangunan, baik yang diminta oleh  Syara Wolio, sara bharata maupun sara kadie dalam wilayah itu sendiri.

Dalam Martabat Tujuh hasil pembaharuan tentang sara bharata tersebut ditetapkan pula besaran weti (pajak) dari kadie-kadie yang baru dipisahkan dari sara bharata untuk diserahkan diserahkan kepada sara Wolio di kesultanan karena tidak lagi menjadi tanggungan bharata.

Adapun Weti atau pajak yang diserahkan oleh rakyat  berupa hanya berupa hasil bumi namun ada juga pajak dalam bentuk "manusia" atau budak yang disebut wetimiana serta sejumlah uang dalam jumlah boka (sejenis satuan yang digunakan di Buton). (AM Zahari, 1977, I : 80)

Sebagaimana dokumen tertulis La Adi Ma Faoka dalam koleksi Abdul Mulku Zahari disebutkan bahwa rincian  pajak yang wajib diserahkan oleh ketiga kadie tersebut  dalam  setiap  tahun adalah : 

1. Wanci dan Kapota masing-masing sebesar ; Jawana 20 boka dan 200 biji kelapa, Wetimiana 3 orang, Sandatana 20 boka dan 20 biji kelapa, Sadakana 20 boka, Kapajagana  1  boka, Bawana Rambanua 1 boka, Panganana 5 suku.

2. Liya sebesar ; Jawana 40 boka, Wetimiana 4 orang dan 400 kelapa, Sandatana 40 kelapa, Kapajagana 1 boka, Bawana Rambanua 1 boka, Panganana 5 suku (AM Zahari, 1977, III  : 38-39). 

Pada masa pemerintahan Muhammad Asyikin sultan XXXIII, dilakukan lagi pembaharuan Martabat Tujuh tentang sara bharata pasca penandatanganan perjanjian antara Sultan Buton dengan Residen Belanda yang bernama Brugman atau dikenal dengan perjanjian Asyikin-Brugman pada tahun 1906 M. Sara bharata dalam Martabat Tujuh hasil pembaharuan sultan Asyikin terbentuklah 30 kadie yang baru menambah 90 kadie yang sudah ada sehingga menjadi 120 Kadie. Khusus dalam sara bharata Kahedupa terbentuk 6 kadie baru menjadi syara Wolio yaitu Kadie Mandati, Kadie Timu, kadie Tongano, kadie Waha, kadie Wali dan Palahidu. Sehingga kadie/limbo yang masuk dalam sara bharata Kahedupa tinggal 9 yakni Langge, Laulua, Tapa'a, Tombuluruha, Tampara, Kiwolu, Ollo, Fatole, Lefuto yang dipimpin oleh 2 lakina dan 7 Bonto.


------oleh : Ahmad Daulani

Tarekat Qadiriyah : Ajaran & Nasehat Kuno yang Sirna dari Bumi Kahedupa

  oleh : Ahmad Daulani Di antara kehidupan modern dan budaya barat yang merajalela, ada kelip cahaya di Kahedupa yang   merawat ayat-ayat ...