Bersambung.....
Oleh : Ahmad Daulani
Sumber : dikutip dari buku Kaledupa Dalam Lintasan Sejarah
Oleh : Ahmad Daulani
Sumber : dikutip dari buku Kaledupa Dalam Lintasan Sejarah
Menimbulkan misteri besar dalam benak generasi muda kaledupa yg melihat makam berlambang salib tersebut. Makam ini terletak di desa kalimas (ngolo) kec. Kaledupa.
Saat pertama kali mendengar cerita ttg kuburan tsb kami sempat terpikir apakah di Kaledupa pernah masuk ajaran kristen ?
Namun setelah melakukan penelusuran lebih lanjut kami menemukan fakta bahwa makam tersebut bukanlah penanda masuknya ajaran kristen di pulau kaledupa.
Makam ini adalah makan pimpinan kompeni yang menduduki kaledupa dalam masyarakah lokal ia dikenal dengan nama TUA TUMBUA.
Penjajah belanda (kompeni) pertama kali masuk ke Kaledupa pada tahun 1909. Ia merupakan pimpinan terakhir kompeni yang berkantor di Buranga
Menurut para penutur Tua Tumbua meninggal karena terbunuh pada tahun 1919, akibat dominasi pemerintahan belanda dibawah komando Tua Tumbua yang makin melemahkan peran Lakina Kahedupa sebagai pimpinan tertinggi Barata Kahedupa yang bertanggung jawab diwilayah Timur kesultanan Buton. Wilayah teritorial barata Kahedupa saat itu meliputi moromaho sampai Batu atas (keseluruhan wilayah wakatobi sekarang).
Dominasi Tua Tumbua dalam sistem kepemimpinan Lakina Kahedupa yang ingin merubah sistem pemerintahan barata kahedupa menjadi sistem distrik dimana hal tersebut dapat berakibat perubahan struktur kepemimpinan diseluruh wilayah barata Kahedupa menjadi dibawah komando kompeni belanda. Hal inilah yang kemudian menimbulkan perlawanan dari bharata kahedupa terhadap Tua Tumbua.
Terbunuhnya Tua Tumbua terjadi diawal masa pemerintahan Waopu Kamali di Guu dan perlawanan tersebut atas perintah beliau. Akan tetapi dalam penyelidikan internal belanda tuduhan sepihak di tujukan kepada wa Opu Kamali hanta yang merupakan lakina kahedupa sebelum Wa Opu Kamali di Guu, sehingga menyebabkan ia diasingkan oleh belanda ke makassar. Wa Opu Kamali Hanta kemudian wafat dalam pengasingan.
Pasca kematian Tua Tumbua pasukan Kompeni mulai merasa tidak aman dan ketakutan berkantor di Buranga yang pada akhirnya meninggalkan pulau Kaledupa pada tahun 1929. Peninggalan kompeni yang masih ada sampai tahun 1990an adalah tumbuhan khas belanda yaitu pohon akasia (konon kabarnya bibit akasia tersebut di bawa langsung dari belanda) yang tanam di sepanjang jalan utama dari Buranga sampai Ambeua.
Oleh : Ahmad Daulani
Beberapa tahun lalu saya menyempatkan diri untuk berziarah ke salah satu makam tua yang terlerak di desa Tampara kec. Kaledupa Selatan Kab. Wakatobi. Tepatnya makam ini terletak sekitar 1 km diseblah Utara dari jembatan Miranda (Labusa Tumpua Nularo pernah orang menyebutnya).
Makam itu belum terlalu lama diketahui oleh masyarakat Kaledupa secara luas bahwa makam tersebut adalah makam Raja Kerajaan Kahedupa yang ke 6 yang bernama La Ulepe. Dia (La Ulepe) menikah dengan seorang tuan putri yang bernama Wa Mauddu. Wa Mauddu adalah anak dari Imamu Fadha (raja ke 5) buah pernikahannya dengan putri Siratal (Wa Ntaa). La Ulepe Dinobatkan menjadi raja menggantikan ayah mertuanya pada tahun 1490 - 1525 M.
Setelah berziarah saya langsung berbincang-bincang dengan salah seorang tokoh budaya Kaledupa, menurut beliau La Ulepe adalah anak Kijula dari Buton. Lalu saya bertanya lagi kepada beliau "Kalau La Ulepe itu adalah anak dari Kijula siapa nama ibunya" tapi ternyata beliau tidak tau siapa ibu dari La Ulepe.
Dalam beberapa tulisan yang pernah dirilis saya belum menyimpulkan bahwa La Ulepe adalah anak dari Kijula sebab saya belum melakukan penelusuran lebih lanjut tentang hal tersebut.
Belakangan ini saya membaca sebuah tulisan yang salah satu muatannya agak relevan dengan tulisan saya sekarang. Dalam tulisan tersebut penulis yang katanya sih dia ahli sejarah dan hebat dalam menulis dan telah menyimpulkan bahwa La Ulepe adalah anak dari Kijula. Dalam tulisan tsb penulis dengan gagap gempita menyampaikan bahwa apa yang ditulisnya adalah sebuah fakta sejarah yang hakiki karena sudah mencantumkan sumbernya.
Tahun lalu saya melanjutkan penelusuran saya terkait silsilah La Ulepe. Karena informasi awal yang saya dapatkan adalah ayah La Ulepe dari Buton maka saya langsung kerkunjung ke Buton dan Bau-Bau untuk mencari informasi tambahan. Dalam pencarian selama di Buton saya menemukan titik terang informasi dari salah satu sumber yang sangat terbuka untuk diskusi. Maksudnya beliau tidak menjawab pertanyaan yang saya ajukan dengan jawaban "tidak semua pertanyaan harus saya jawab" atau dengan jawaban "nanti anda datang ke sekretariat kami karena saya adalah ......😃😃" tapi beliau begitu tanggap dan santun bahkan memperlihatkan bukti dokumen yang relevan, semoga Beliau senantiasa dalam lindungan Allah.
Dalam diskusi singkat kami saya mengetahui bahwa Kijula yang dimaksud oleh penutur di Kaledupa itu dalam dokumen Buton adalah Kiai Jola. Kiai Jola adalah anak dari 4 bersaudara yaitu Tua Maruju dan Raja Manguntu, Tua Rade dan Kiai Jola. Mereka berempat merupakan anak dari Batara Guru dan Waylun Cugi.
Kiai Jola kemudian menikah dengan Wa Randea anak Sangia Riarana dan Wagunu. Dalam naskah Buton Kiai Jola hanya memiliki anak yang bernama Watuba Pala.
Bantahan dari Buton bahwa Kiai Jola atau Kijula berdasarkan manuskrip sejarah Buton La Ulepe bukanlah anak Kijula karena ia (Kijula) tidak memiliki anak selain Watuba Pala karena Kiai Jola tidak memiliki istri dan selir selain Wa Randea. Bukti dokumen masih tersimpan rapi dikeraton Buton.
oleh : Ahmad Daulani Di antara kehidupan modern dan budaya barat yang merajalela, ada kelip cahaya di Kahedupa yang merawat ayat-ayat ...