Jumat, 09 April 2021

Kaledupa Riwayatmu Kini

Kaledupa pernah berada pada masa keemasan dimana kahedupa atau kaledupa menjadi daerah percontohan bagi daerah-daerah setingkat kecamatan di seluruh indonesia dalam penyelenggaraan pembangunan dan perbaikan daerah. saat itu pada tahun 1960 yang bertepatan dengan ulang tahun RI yang ke 15. Kaledupa di anugrahi penghargaan oleh presiden Ir. Soekarno melalui menteri Dalam Negeri dan Otonomi daerah dalam bentuk sebuah piagam atas keberhasilannya dalam membangun daerahnya.

Progres pembangunan di Kaledupa dilakukan secara berkala oleh beberapa kepala pemerintahan dalam beberapa bentuk sistem pemerintahan. Pada masa pemerintahan Yaro Kahedupa, Kaledupa masih berstatus sbg sentral pemerintahan salah satu Barata Kesultanan Buton. Selanjutnya pada Masa pemerintahan La Ukaasa dan idhanu Hayunu Kaledupa masih berstatus sebagai distrik Kaledupa (pemerintahan Hindia Belanda). Dan pada masa pemerintahan La Rahi sebagai Camat Kaledupa menjadi ibukota kecamatan Wandupa (Wanci - Kaledupa) tepatnya di Buranga (Provinsi Sulsel-Tra).

Progres perumusan pembangunan itu juga dilakukan belakangan karena desa Ambeua baru terbentuk sebagai ibukota kecamatan yang sebelumnya di desa Buranga. Perumusan pemindahan ibukota kecamatan dilakukan sejak pemerintahan Yaro Kahedupa sebagai Lakina Barata Kahedupa yang juga merangkap sebagai kepala distrik Kaledupa, namun pemindahan itu resmi diberlakukan pada masa pemerintahan La Rahi.

Ibukota kecamatan yang sebelumnya di Buranga dalam perumusan pemindahannya ada 4 daerah sebagai alternatif yang akan dijadikan sebagai tempat ibukota baru yaitu Te'e Laganda, Kaninubu, Ambeua dan Sombano, yang pada akhirnya pilihan jatuh ke desa Ambeua karena beberapa alasan salah satunya adalah karena daerah tersebut banyak sumber mata air.

Setelah Ambeua resmi menjadi ibukota kecamatan perencanaan pembangunan dan tata kotanya digenjot dengan ekstra, salah satu tokoh yang mendesain tatakota ibukota kecamatan adalah La Rahimu (Saat itu menjabat sebagai Lurah Buranga sekaligus merangkap sbg kepala desa Ambeua). Dan kepala kontraktor pembangunan kantor kecataman, gedung aula dan kantor polsek yang baru adl pak Manto dari Toraja. Pembangunan kantor2 tsb diselesaikan pada masa pemerintahan La Ode Usman sbg Camat Wandupa ke 2 memggantikan La Rahi.

Walaupun usia desa Ambeua belum cukup 1 tahun menjadi ibukota kecamatan pada masa pemerintahan La Rahi tetapi penyelenggaraan pembangunan dan perbaikan daerah progresnya begitu signifikan yang dipusatkan di Ambeua sehingga melampaui banyak daerah-daerah setingkat kecamatan yang lain.

Pada masa ini juga migrasi penduduk Kaledupa dipindahkan agar bermukim di Ambeua. Pemindahan tersebut ada yang secara suka rela ada juga yang karena paksaan dari pemerintah setempat. Pada tahun 1960 pejabat muspika adalah sbb :
1. La Rahi sebagai Camat Wandupa
2. Mou Syarifuddin sebagai Wakil Camat Wandupa
3. La Maga sebagai Danramil Wandupa
4. La Donga sebagai Kapolsek Wandupa
5. La Ode Siebe sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Wandupa

-------oleh : Ahmad Daulani


Senin, 22 Februari 2021

Syiar Islam Imamu Fadha di Kahedupa

sumber foto : istimewa


Syair Islam yang dibawa oleh para pedagang maupun yang berdiaspora dengan latar belakang yag beragam berkembang dengan pesat diwilayah kerajaan-kerajaan yang penyebarannya menyeluruh kehampir pelosok negeri. Pada awal abad ke 14 Masehi kerajaan Kahedupa dibawah kepemimpinan raja Muhammad Baengu yang merupakan raja ke – 4 kerajaan Kahedupa, sampailah rombongan para saudagar muslim ke kerajaan Kahedupa. Salah seorang diantara mereka bernama Syech Ahmad bin Qais Al Idrus dari Kerajaan Pattani  di Johor yang masuk melalui Padang,  Sumatra Barat. Kedatangan Syech Ahmad ke Kahedupa bukanlah semata-mata urusan perdagangan tetapi ia datang dengan misi khusus penyebaran agama Islam.

Syech Ahmad bin Qais Al Idrus bukanlah penyiar Islam yang pertama sampai di kerajaan kahedupa, sebab saat ia sampai ketanah Kahedupa pengaruh Islam sudah ada di wilayah itu dan terdapat nilai – nilai ajaran Islam yang berdialektika dengan kebudayaan lokal. Namun pengaruh Islam belumlah merata diseluruh wilayah kerajaan Kahedupa.

Tetapi kedatangannya ke Kahedupa merupakan salah satu penyebab penyebaran Islam secara menyeluruh di tanah Kahedupa. Syech Ahmad bin Qais Al Idrus lebih dikenal dengan sebutan imamu fadha (dialeg lokal). Penyebutan Syech Ahmad dengan sebutan imamu fadha karena beberapa alasan. pertama, karena ia merupakan ulama yang datang dari negri Padang, Sumatra barat. Kedua, ada juga sumber yang mengatakan bahwa Syech Ahmad dipanggil dengan sebutan imamu fadha karena saat dalam perjalanan untuk syiar Islam ia terlihat melaksanakan shalat diatas padang ilalang di daerah Fabheka Bahili.

syech Ahmad tidak banyak mendapat kesulitan dalam berkomunikasi dan berdakwah Islam karena sejak sebelumnya masyarakat Kerajaan Kahedupa sudah sedikit mengenal tentang Islam. Keberadaan Syech Ahmad di Kahedupa mendapat perhatian khusus dari sang raja yang telah memeluk Islam secara turun temurun dari kakeknya.

Imamu Fadha menyiarkan agama Islam diseluruh wilayah kerajaan Kahedupa tetapi lebih banyak di daerah Langge, fungka Ppaha. Di fungka Ppaha terdapat tempat pemujaan  peninggalan Animisme – Dinamisme yang ditinggalkan. Kemudian tempat tersebut dirubah menjadi masjid oleh Imamu Fadha karena rakyat Kahedupa sudah tidak terlalu banyak lagi yang menganut kepercayaan itu. Masjid yang dibangun di fungka Ppaha itu merupakan transformasi dari tempat pemujaan sebelumnya dan diberi nama masigi Toppale. Sejak dijadikan sebagai masjid fungka Ppaha kemudian lebih dikenal dengan nama Fungka Masigi.

Karena syiar Islam yang begitu pesat dilakukan oleh Imamu Fadha kemudian ia diperintahkan oleh Raja Kahedupa untuk mencari lokasi pembangunan masjid baru yang akan digunakan sebagai tempat ibadah dan kajian Islam. Imamu Fadha kemudian melakukan perjalanan untuk mencari lokasi dari fungka masigi kearah siofa (barat) melewati Kollo Onitu – Sampalu Melangka – Fabheka Bahhili – Fabheka To’oge – Kaangi-angi – Bente. Setelah sampai di Bente ia menemukan lokasi yang cocok untuk pembangunan mesjid yang baru. Masjid yang dibangun itu diberi nama masjid Agung Ahmadi.

Bersambung.....

Oleh : Ahmad Daulani

Sumber : dikutip dari buku Kaledupa Dalam Lintasan Sejarah

Minggu, 10 Januari 2021

Kaomu dan Walaka (Sebenarnya kasta milik siapa ?)












Dalam tulisan saya kali ini untuk merefleksi tulisan tangan-tangan jahil yang beredar dimedsos. Dalam tulisan tersebut salah satunya membahas tentang kasta Kaomu dan Walaka.

Sepenggal saya copy paste tulisan yang menjadi objek kita sbb :
"Pada masa Tongka Allamu di kenalkan Ragi yaitu Sarung Tenun berbeda warna dan motif sebagai identitas dari masing-masing rumpun keluarga berdasarkan kelas sosialnya antara Kaomu (Bangsawan), Walaka (yang di tokohkan),  dan Papara (masyarakat biasa)" red.

Katanya pada masa pemerintahan Tongka Allamu kasta Kaomu dan Walaka sudah ada di Kerajaan Kaledupa yang ditandai dengan Ragi (motif) Furai (sarung). Berdasarkan manuskrip sejarah Kaledupa Tongka Allamu memerintah pada tahun 1260 - 1310 M. Ini berati bahwa menurut penulis ia mengklaim kasta Kaomu dan Walaka itu adalah milik Kerajaan Kaledupa, walaupun sebenarnya klaim ini tanpa didasari oleh bukti yang kuat.

Strata sosial dalam kehidupan bermasyarakat sejak dahulu seakan menjadi sebuah kebutuhan identitas pribadi maupun kelompok. Sebagaimana kelompok masyarakat lainnya dalam satu naungan sistem peradaban sejarah pasti memiliki identitas tersendiri. Sama halnya Buton dan Kaledupa sebagai sekumpulan masyakat yang berbudaya dengan sejarah tersendiri juga memiliki strata sosial sebagai identitas.

Dalam peradaban masyarakat Kaledupa masa lampau, pembagian strata sosial atau kasta ini kita kenal dengan istilah 'Henangkara' untuk golongan bangsawan, 'Mia Lele' untuk golongan masyarakat biasa, dan 'Tudhu'a' untuk golongan budak. Tetapi khusus untuk penggolongan kasta Kaledupa ini, saya selaku penulis harus melakukan penelusuran lebih dalam lagi untuk menambah dan menguatkan referensi yang sudah ada.

Sedangkan dalam peradaban masyarakat Buton masa lampau sampai hari ini, pembagian strata sosial dikenal dengan istilah 'Kaomu' untuk golongan bangsawan manga ana, 'Walaka' untuk golongan bangsawan manga ama, 'Papara' untuk golongan masyarakat biasa dan 'Maradhika' untuk golongan budak. (Takdir)

pembagian strata sosial dikenal dengan istilah 'Kaomu' untuk golongan bangsawan manga ana, 'Walaka' untuk golongan bangsawan manga ama, 'Papara' untuk golongan masyarakat biasa dan 'Batua' untuk golongan budak.

Akan tetapi ada sebagian berpendapat bahwa Batua bukanlah budak tapi untuk menyebut papara yang berasal dari luar wolio dan menetap di Buton. (Tony Rudiansjah. Jurnal Antropologi No. 52 UI)

Pengkategorian kasta seseorang didasarkan pada Kamia. Kata Kamia berasal dari akar kata “Ka” dan “Mia”. Ka berarti kekuatan, dan mia berarti manusia. Golongan Kaomu dinisbatkan pada keturunan Wa Kaa Kaa sebagai pendiri Kerajaan Buton, sedangkan golongan Walaka dinisbatkan untuk keturunan Mia Patamiana sebagai pendiri komunitas komunitas Buton. (Yusran Darmawan. Orang Buton dan Imajinasi Sejarah. Thesis UI)

Siapa kasta dari golongan Kaomu dan Walaka ini ?

1. Kaomu

Kaomu merupakan golongan yang sering memperkenalkan dirinya sebagai keturunan raja pertama kerajaan Buton. Wa Kaa Kaa adalah nama yang sering disebut sebagai leluhur mereka yang menjadi inti pembeda antara Kaomu dengan yang lain. Seseorang dapat diakui sebagai seorang berkasta Kaomu ketika ia dapat membuktikan dirinya dengan dua cara.

Pertama, apakah ia memiliki hubungan darah atau dapat menulusuri silsilahnya sampai ke Wa Kaa Kaa dan Sibatara. Oleh karena itu, menghafal nasab dalam ingatan atau tulisan patut dilakukan demi menjaga silsilah agar tidak terjadi pengklaiman.

Cara kedua, apakah ia keturunan dari para raja Siolipuna dan empat wilayah atau Barata Patapalena yang bergabung ke dalam wilayah Kesultanan Buton. Yang dalam perjalanan sejarah, keturunan Raja Siolipuna dan Lakina Barata Patapalena tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kategori Kaomu. (Yusran Darmawan. Orang Buton dan Imajinasi Sejarah. Thesis UI)

2. Walaka

Walaka merupakan golongan yang memperkenalkan dirinya sebagai keturunan Mia Patamiana (Si Panjongan, Si Jawangkati, Si Tamanajo dan Si Malui). Mia Patamiana kemudian mendirikan Pata Limbona yaitu Baluwu, Peropa, Barangkatopa dan Gundu - Gundu. Seiring perjalanan sejarah kemudian bertambah 5 limbo lagi yang terdiri dari Gama, Siompu, Wandailolo, Rakia, dan Melai, yang keseluruhannya terletak didalam Benteng Keraton Buton.

Sejak kapan pembagian strata sosial ini terjadi ?

­Pembagian strata sosial ini belum ada pada masa awal pembentukan Pata limbona dan kerajaan Buton. Pembagian strata sosial ini dilakukan oleh Dayanu Ikhsanuddin dengan membagi kasta Kaomu menjadi 3 golongan yaitu sbb :
1. Dayanu Ikhsanudin bersama keluarganya dan keturunannya masuk ke dalam golongan Tanailandu
2. Lakina Mancuana Kumbewaha beserta keluarga dan turunannya masuk ke dalam golongan Kumbewaha
3. Kenepulu Bula beserta keluarga dan keturunannya masuk ke dalam golongan Tapi - Tapi. (Prof La Niampe)

Setelah pembagian golongan Kaomu menjadi 3 golongan yang kemudian dikenal dengan sebutan Kamboru - Mboru Talupalena sehingga 3 jabatan terpenting hanya dapat dijabat dari golongan Kamboru Mboru terutama jabatan Sultan. Sejak masa pembagian ini diberlakukan hanya Kaomu yang murni berasal dari dalam wilayah keraton Buton saja yang memiliki hak untuk menduduki tiga golongan ini. Sedangkan golongan Walaka dibagi menjadi 9 kampung (Siolimbona).

Pada tahun 1635 M Kerajaan Kahedupa mulai terintegrasi menjadi barata Kahedupa sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Buton, sejak saat itulah 2 kasta ini di impor oleh Buton ke Kaledupa. Artinya bahwa jika ada yang mengklaim bahwa kasta Kaomu dan Walaka sudah ada di Kaledupa sebelum bergabung dengan Kesultanan Buton itu hanyalah klaim yang tidak berdasar.

--------- disusun oleh : Ahmad Daulani

Tua Tumbua

Oleh : Ahmad Daulani


Menimbulkan misteri besar dalam benak generasi muda kaledupa yg melihat makam berlambang salib tersebut. Makam ini terletak di desa kalimas (ngolo) kec. Kaledupa.
Saat pertama kali mendengar cerita ttg kuburan tsb kami sempat terpikir apakah di Kaledupa pernah masuk ajaran kristen ?
Namun setelah melakukan penelusuran lebih lanjut kami menemukan fakta bahwa makam tersebut bukanlah penanda masuknya ajaran kristen di pulau kaledupa.

Makam ini adalah makan pimpinan kompeni yang menduduki kaledupa dalam masyarakah lokal ia dikenal dengan nama TUA TUMBUA.
Penjajah belanda (kompeni) pertama kali masuk ke Kaledupa pada tahun 1909. Ia merupakan pimpinan terakhir kompeni yang berkantor di Buranga

Menurut para penutur Tua Tumbua meninggal karena terbunuh pada tahun 1919, akibat dominasi pemerintahan belanda dibawah komando Tua Tumbua yang makin melemahkan peran Lakina Kahedupa sebagai pimpinan tertinggi Barata Kahedupa yang bertanggung jawab diwilayah Timur kesultanan Buton. Wilayah teritorial barata Kahedupa saat itu meliputi moromaho sampai Batu atas (keseluruhan wilayah wakatobi sekarang).

Dominasi Tua Tumbua dalam sistem kepemimpinan Lakina Kahedupa yang ingin merubah sistem pemerintahan barata kahedupa menjadi sistem distrik dimana hal tersebut dapat berakibat perubahan struktur kepemimpinan diseluruh wilayah barata Kahedupa menjadi dibawah komando kompeni belanda. Hal  inilah yang kemudian menimbulkan perlawanan dari bharata kahedupa terhadap Tua Tumbua.

Terbunuhnya Tua Tumbua terjadi diawal masa pemerintahan Waopu Kamali di Guu dan perlawanan tersebut atas perintah beliau. Akan tetapi dalam penyelidikan internal belanda tuduhan sepihak di tujukan kepada wa Opu Kamali hanta yang merupakan lakina kahedupa sebelum Wa Opu Kamali di Guu, sehingga menyebabkan ia diasingkan oleh belanda ke makassar. Wa Opu Kamali Hanta kemudian wafat dalam pengasingan.

Pasca kematian Tua Tumbua pasukan Kompeni mulai merasa tidak aman dan ketakutan berkantor di Buranga yang pada akhirnya meninggalkan pulau Kaledupa pada tahun 1929. Peninggalan kompeni yang masih ada sampai tahun 1990an adalah tumbuhan khas belanda yaitu pohon akasia  (konon kabarnya bibit akasia tersebut di bawa langsung dari belanda) yang tanam di sepanjang jalan utama dari Buranga sampai Ambeua.

Misteri La Ulepe

Oleh : Ahmad Daulani

Beberapa tahun lalu saya menyempatkan diri untuk berziarah ke salah satu makam tua yang terlerak di desa Tampara kec. Kaledupa Selatan Kab. Wakatobi. Tepatnya makam ini terletak sekitar 1 km diseblah Utara dari jembatan Miranda (Labusa Tumpua Nularo pernah orang menyebutnya).

Makam itu belum terlalu lama diketahui oleh masyarakat Kaledupa secara luas bahwa makam tersebut adalah makam Raja Kerajaan Kahedupa yang ke 6 yang bernama La Ulepe. Dia (La Ulepe) menikah dengan seorang tuan putri yang bernama Wa Mauddu. Wa Mauddu adalah anak dari Imamu Fadha (raja ke 5) buah pernikahannya dengan putri Siratal (Wa Ntaa). La Ulepe Dinobatkan menjadi raja menggantikan ayah mertuanya pada tahun 1490 - 1525 M.

Setelah berziarah saya langsung berbincang-bincang dengan salah seorang tokoh budaya Kaledupa, menurut beliau La Ulepe adalah anak Kijula dari Buton. Lalu saya bertanya lagi kepada beliau "Kalau La Ulepe itu adalah anak dari Kijula siapa nama ibunya" tapi ternyata beliau tidak tau siapa ibu dari La Ulepe.

Dalam beberapa tulisan yang pernah dirilis saya belum menyimpulkan bahwa La Ulepe adalah anak dari Kijula sebab saya belum melakukan penelusuran lebih lanjut tentang hal tersebut.

Belakangan ini saya membaca sebuah tulisan yang salah satu muatannya agak relevan dengan tulisan saya sekarang. Dalam tulisan tersebut penulis yang katanya sih dia ahli sejarah dan hebat dalam menulis dan telah menyimpulkan bahwa La Ulepe adalah anak dari Kijula. Dalam tulisan tsb penulis dengan gagap gempita menyampaikan bahwa apa yang ditulisnya adalah sebuah fakta sejarah yang hakiki karena sudah mencantumkan sumbernya.

Tahun lalu saya melanjutkan penelusuran saya terkait silsilah La Ulepe. Karena informasi awal yang saya dapatkan adalah ayah La Ulepe dari Buton maka saya langsung kerkunjung ke Buton dan Bau-Bau untuk mencari informasi tambahan. Dalam pencarian selama di Buton saya menemukan titik terang informasi dari salah satu sumber yang sangat terbuka untuk diskusi. Maksudnya beliau tidak menjawab pertanyaan yang saya ajukan dengan jawaban "tidak semua pertanyaan harus saya jawab" atau dengan jawaban "nanti anda datang ke sekretariat kami karena saya adalah ......😃😃" tapi beliau begitu tanggap dan santun bahkan memperlihatkan bukti dokumen yang relevan, semoga Beliau senantiasa dalam lindungan Allah.

Dalam diskusi singkat kami saya mengetahui bahwa Kijula yang dimaksud oleh penutur di Kaledupa itu dalam dokumen Buton adalah Kiai Jola. Kiai Jola adalah anak dari 4 bersaudara yaitu Tua Maruju dan Raja Manguntu, Tua Rade dan Kiai Jola. Mereka berempat merupakan anak dari Batara Guru dan Waylun Cugi.

Kiai Jola kemudian menikah dengan Wa Randea anak Sangia Riarana dan Wagunu. Dalam naskah Buton Kiai Jola hanya memiliki anak yang bernama Watuba Pala.

Bantahan dari Buton bahwa Kiai Jola atau Kijula berdasarkan manuskrip sejarah Buton La Ulepe bukanlah anak Kijula karena ia (Kijula) tidak memiliki anak selain Watuba Pala karena Kiai Jola tidak memiliki istri dan selir selain Wa Randea. Bukti dokumen masih tersimpan rapi dikeraton Buton.

Tarekat Qadiriyah : Ajaran & Nasehat Kuno yang Sirna dari Bumi Kahedupa

  oleh : Ahmad Daulani Di antara kehidupan modern dan budaya barat yang merajalela, ada kelip cahaya di Kahedupa yang   merawat ayat-ayat ...