Rabu, 15 Desember 2021

KEDUDUKAN BHARATA KAHEDUPA DALAM KESULTANAN BUTON

Secara geografis wilayah kesultanan Buton merupakan suatu gugusan pulau yang terletak di kawasan laut Banda dan laut Flores, yang diapit oleh dua wilayah kerajaan besar yaitu kerajaan Ternate dan kerajaan Gowa. 

Pada masa pemerintahan sultan Murhum, kesultanan Buton bukan hanya menata urusan internal saja tetapi menggenjot pembangunan sistem pertahanan karena dalam kurun waktu tersebut Ternate dan Gowa mulai melancarkan pengaruhnya keluar wilayah mereka sendiri. Kesultanan Buton yang berada paling dekat dan strategis di antara mereka menjadi objek serangan utama.

Dalam menghadapi ancaman-ancaman dari dua kerajaan besar tersebut, Sultan Murhum mendorong  pembangun dan mempersiapkan strategi pertahanan untuk melindungi wilayahnya.

Pada masa pemerintahan Sultan Murhum, kesultanan Buton menjalin persekutuan bidang strategi dan pertahanan dengan kerajaan-kerajaan yang terletak di empat penjuru Buton untuk saling menjaga dan saling melindungi wilayahnya yakni kerajaan Kahedupa, kerajaan Muna, kerajaan Tiworo dan kerajaan Kalingsusu. Persekutuan itu disebut "BHARATA". Persekutuan atau kerjasama kelima kerajaan tersebut dikukuhkan dalam 'Perjanjian Kapeo-Peo' yang dibangun pada prinsip SOILAOMPO (Rajutan Selo) dan TORUMBALILI (Mahkota bergilir).

Dalam terminologi orang Buton, bharata adalah cadik perahu (The  ship  of  state  Buton) dalam  penerapannya  adalah pertahanan negeri  bharata,  yang  mengandung  makna  perahu bercadik  ganda.  Dalam  konteks  itu,  maka  dapat  dipahami  bahwa  munculnya  gagasan konsepsi  mengenai sistem pertahanan empat penjuru berlapis yamg digagas oleh Kesultanan Buton ini diambil  dari  struktur  perahu cadik ganda.

Dalam  bahasa  Wolio,  bharata  selain  berarti  tenaga  atau  kekuatan  juga  berarti  ikatan pasak  pengapung  sayap  perahu  dengan  tangannya. (Anceaux,  1987:  13)

Bharata juga diistilahkan yabharata yolipu yang berarti daerah berkabung. Istilah ini muncul pada waktu kesultanan Buton mendapat serangan dari luar sehingga  ketika itu bharata dianggap berkabung karena keempat bharata berjuang keras untuk melindungi Buton dari serangan musuh yang datang dari luar. (Couvreur, 1935 : 8)

Barata yang dimaksud dengan penopang  Kesultanan  Buton  adalah Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa (Susanto  Zuhdi,  2010:  120).  Keempat  barata  itu  dinamakan  Barata  Patapalena  artinya „barata  empat‟.  Antara  Buton  dan  daerah  barata  tersebut  saling  bantu  membantu  dalam segala hal demi kepentingan bersama, terutama  dalam bidang  pertahanan dan keamanan. 

Dalam  buku  Dokumentasi yang diterbitkan  oleh  DPRD  Propinsi  Sulawesi Tenggara dinyatakan bahwa bharata  dalam arti politis adalah kerajaan-kerajaan yang berdiri  sendiri dalam  lingkungan  Kesultanan  Buton,  terdiri  dari  Kerajaan  Muna,  Kerajaan  Tiworo,  Kerajaan Kulisusu,  dan  Kerajaan  Kaledupa,  yang  masing-masing  mempunyai  dan  mengatur pemerintahannya  sendiri  (Anonim, tt  : 198).

Bharata artinya adalah kerajaan yang diberikan  kekuasaan  otonom  untuk  langsung  bertindak  apabila  ada  musuh  yang mengganggu wilayah mereka dan wilayah kesultanan Buton, dan bharata bertanggung jawab penuh atas  keamanan wilayahnya masing-masing  (La Ode Zaenu, 1985 : 36). 

Bharata merupakan nama dari persekutuan Buton dan kerajaan-kerajaan  merdeka  yang  berdiri  sendiri yang berada diwilayah yang berdekatan dengan Kesultanan Buton yang bidang  kerjasamanya lebih  ditujukan  pada pengamanan wilayah  berupa  pertahanan  terhadap gangguan  musuh (Muhammad Gazali, dkk. 1992:  30).

Bharata adalah nama yang diberikan oleh Buton kepada kerajaan-kerajaan yang menjalin perserikatan kerjasama dibidang pertahanan dan keamanan wilayah (La Niampe : 2018)

Bharata adalah persekutuan lima kerajaan dalam pertahanan dan keamanan (Ali Hadara)

Bharata adalah nama untuk empat kerajaan yang bersekutu dengan Buton yakni kerajaan Kahedupa, kerajaan Muna, kerajaan Kalisusu dan kerajaan Tiworo dengan tujuan saling membantu dan melindungi wilayah dari ancaman musuh (Daulani, Ahmad : 2021) 

Walaupun  agak  berbeda-beda  redaksinya,  namun maksud dari semua pernyataan di atas sebenarnya  mempunyai  maksud  yang  sama,  yaitu  bharata  adalah  suatu basis  pertahanan  keamanan  yang  dibentuk  terutama untuk mengantisipasi dan saling menjaga dari segala macam gangguan keamanan.

Setelah menjalin persekutuan Bharata, sultan Murhum membentuk strategi pertahanan Buton yang disebut dengan "Sistem Pertahanan Empat Penjuru Berlapis". Secara keseluruhan empat lapis pertahanan itu adalah sbb :

1. Pertahanan Pata-Limbona dalam benteng Wolio yaitu Baluuwu, Peropa, Gundu-Gundu dan Barangkatopa. Keempat kampung ini merupakan kekuatan inti dari kesultanan Buton yang menjalankan pengawasan bersama Tamburu Limaanguna (Zahari, 1980. Said : 1989)

2. Pertahanan Bhisa-Patamiana, ahli kebathinan oleh orang wolio menyebutnya 'Moji' yaitu Mojina Kalau, mojina Silea, mojina Peropa dan mojina Waberangulu (Zahari, 1980 ; 115)

3. Pertahanan Matana Sorumba yaitu empat laskar pertahan yang terdiri dari empat kadie yang berada ditapal batas wilayah kesultanan Buton yaitu Lapandewa, Watumotobe, Wabula dan Mawasangka (Said, 1984 : 19)

4. Pertahanan Pata-Bharata sebagai pertahanan terluar yaitu kerajaan Kahedupa, kerajaan Kolengsusu, kerajaan Muna dan kerajaan Tiworo (Zuhdi, Susanto. 1999)

Sistem pertahanan empat penjuru berlapis yang diterapkan dalam kesultanan Buton dengan memberikan hak dan tanggungjawab sepenuhnya  kepada Pata-Limbona, Bhisa-Patamiana, Matana Sorumba dan Pata-Bharata dalam urusan strategi pertahanan dan keamanan kedaulatan wilayah kesultanan. Hal ini menjadi legitimasi untuk mengkeptis atas klaim dari beberapa kadie bahwa mereka diberikan kewenangan dalam urusan sistem pertahanan dan keamanan wilayah kesultanan Buton. Karena tidak ada kadie dalam sara Wolio yang diberikan kewenangan dalam bidang pertahanan dan keamanan kecuali yang tergabung dalam sistem pertahanan empat penjuru berlapis. Bobato Bhaana Meja, Bobato Mancuana dan seluruh kadie dalam sara Wolio hanya bertanggung jawab dan berwenang terhadap strategi pertahanan dan keamanan wilayahnya masing-masing.

Pada masa pemerintahan Sultan Laelangi, Buton menyusun birokrasi kesultanan dengan melakukan banyak pembaharuan (merubah) Martabat Tujuh dengan mentransformasi prinsip Sailaompo dan Torumbalili menjadi konsep Pata-Bharata dan Kamboru-Mboru Talupalena. Kemudian menetapkan wilayah kesultanan Buton meliputi 72 kadie dan 4 Bharata. 

Dalam Martabat Tujuh pada masa pemerintahannya (Sultan Buton IV) menetapkan hal-hal yang berhubungan dengan sara bharata diantaranya tentang pembagian wilayah teritorial tiap bharata serta struktur sara bharata yang tersebar di 4 bharata setara dengan syara Wolio. 

Bharata Kahedupa sendiri terdapat Raja atau Lakina Kahedupa yang gelar dan perlakuannya setara dengan Sultan Buton, Lakina (Miantu'u) Sulujaju yang gelar dan posisinya setara dengan Kapita raja (Kapitalao) kesultanan Buton, Bonto Ogena bharata Kahedupa setara dengan Bonto Ogena kesultanan Buton, Bonto Tapa'a dan Bonto Kiwolu setara dengan mentri Siolimbona.

Sedangkan wilayah teritorial keamanan dalam struktur sara bharata Kahedupa dari Morommaho sampai Batuatas meliputi 18 kadie/limbo (kampung) yaitu 9 limbo dalam pulau Kaledupa dan 9 limbo diluar pulau Kaledupa (sia limbo dilaro sia limbo dhiliku). Wilayah sara bharata Kahedupa terbagi dalam dua wilayah yaitu umbosa dan siofa. Di wilayah Umbosa terdapat kadie Wali, Limbo Popalia, kadie Tongano, Kadie Timu, kadie Waha, kadie Langge, limbo Tapa'a, limbo Tombuluruha dan limbo Kifolu sedangkan diwilayah Siofa terdapat kadie Laulua, limbo Fatole, limbo Ollo, limbo Lefuto, kandie Mandati, kadie Kapota, kadie Wanse dan bobato mancuana Liya.

Seluruh kadie/limbo walaupun berada dalam wilayah bharata namun dalam mengelola wilayahnya memiliki aturan tersendiri untuk melaksanakan fungsi pemerintahannya yang disebut "sara kadie". 

Pada tahun 1838 M, undang-undang Martabat Tujuh tentang Sara bharata kembali diperbaharui  sesuai  dengan  keadaan perkembangan karena dianggap banyak pasal di dalamnya yang sudah tidak sesuai lagi (AM Zahari, 1977,  I  : 35). 

Pembaharuan itu terjadi pada masa pemerintahan Sultan  Muhammad Idrus Kaimuddin (Sultan Buton XXIX), namun disahkan dan ditandatangani  seluruh pembesar Buton bersama  para Lakina  bharata pada tahun 1840 M, masing-masing : Muhammad  Idrus  Kaimuddin  (Sultan), La Ode Tobelo (Sapati), La Ode Kosarana (Kenepulu), La Ode Tia  (Kapitaraja), La Ode Ismail (Kapitaraja merangkap Raja Muna), La Ode  Muhammad (Raja  Tiworo), La Ode Manja (Raja  Kalingsusu), La Ode Adam Salihi (Lakina Kahedupa),  La  Peropa (Menteri Besar Matanayo), Haji Abdul Rakhim  (Menteri Besar Sukanayo) (AM  Zahari, 1977, I : 105. Dok DPRD Tk. I, 1978 : 198. Daulani, Ahmad, 2021 : 81)

Dalam sara bharata hasil pembaharuan tersebut  dinyatakan ter bentuk lah 18 kadie yang baru dalam lingkup wilayah kekuasaan Buton, menambahkan 72 kadie yang telah ada sebelumnya, sehingga  seluruhnya menjadi 90 kadie yakni 56 di pimpin oleh Lakina yang diangkat dari golongan Kaomu dan 34 di pimpin oleh Bonto yang diangkat dari golongan Walaka. Namun ada Dua bonto tidak mempunyai  wilayah dan satu bobato tidak ada lagi  orangnya sehingga sisa 87 kadie. (AM Zahari, 1977, III  :  37)

Dari 18 kadie yang baru terbentuk dalam perubahan Martabat Tujuh versi Muhammad Idrus Kaimuddin tersebut yang awalnya merupakan kadie-kadie yang berada dalam strukutur sara bharata. sedangkan Tiga kadie yang berada  dalam wilayah bharata Kahedupa, ketiga kadie tersebut adalah  Lia (maksudnya Liya), Wanci dan Kapota, yang masing-masing kadie tersebut dipimpin oleh Lakina dan atau Bobato Mancuana (AM Zahari, 1977,  III : 35)

Lakina Liya memerintah atas wilayah kampung-kampung di Liya, Lakina Wanci  memerintah atas kampung-kampung di Wanci, Togo, Wandoka, Pada, Wanginope, Wakalara, Lapalingku, Longa, Waelumu, dan Patuno sedangkan Lakina Kapota memerintah di wilayah Kapota.

Setelah ketiga kadie ini terbentuk dan terpisah dari struktur sara bharata Kahedupa pada tahun 1838 M, maka kadie Wanse dan kadie Kapota masuk dalam wilayah Pale Matanayo sedangkan kadie Liya masuk dalam wilayah Pale Sukanayo (AM  Zahari, 1977, III : 38-39).

Sejak itu secara struktural ketiga kadie yang berada dalam wilayah bharata Kahedupa tersebut bertangung jawab langsung kepada pemerintah pusat Buton di Wolio  bersama 84 kadie lainnya.

Akan tetapi pembentukan tiga kadie tersebut (Liya, Kapota dan Wanse) bukan berarti sama sekali terlepas dari Barata Kahedupa. Keterkaitannya dengan bharata Kahedupa tetap ada, terutama  dalam koordinasi pertahanan dan keamanan (tugas militeristik) dalam rangka pemeliharaan stabilitas dan kedaulatan kesultanan Buton sebagaimana menjadi salah satu tanggung jawab utama yang melekat pada bharata. (AM Zahari, 1977, III)

Sebagaimana dijelaskan oleh AM Zahari bahwa tugas Liya sebagai bobato mancuana seperti halnya bonto yang disebut juga tunggu-tunggu (penjaga atau penunggu) di daerah pengawasannya. Di dalam menerima dan menyelesaikan sesuatu persoalan yang ajukan oleh rakyatnya, jika perkara yang sifatnya memerlukan penyelesaian secara hukum, maka wajib didampingi oleh seorang bonto yang terdekat dengan hukumnya. 

Bobato mancuana juga merupakan spionase sultan. Liya sebagai bobato mancuana matanayo memantau pergerakan bharata kahedupa sedangkan Sampolawa sebagai bobato mancuana sukanayo memantau pergerakan Kamaru dan Batauga (Daulani, Ahmad. 2021 ; 108. La Yusrie : 2021)

Tugas lainnya adalah menjadi pimpinan pasukan dalam wilayahnya apabila kedaulatan wilayahnya mendapat serangan musuh dan atau juga menjadi pimpinan pasukan  pembantu (pasukan cadangan) yang akan dikirimkan untuk membantu pasukan bharata kahedupa jika pasukan-pasukan bantuan dari 3 bharata bharata yang lain belum mampu menghalau musuh (AM Zahari, 1977, I : 82)

Struktur pemerintahan sara kadie berbeda-beda dalam setiap  kadie,  diatur sesuai jumlah penduduk dan luas wilayahnya. Setiap kadie wajib memelihara suatu hutan  tertentu yang disebut kaombo (semacam hutan lindung) untuk  menjamin berbagai kebutuhan kayu bahan-bahan  pembuatan rumah atau bangunan, baik yang diminta oleh  Syara Wolio, sara bharata maupun sara kadie dalam wilayah itu sendiri.

Dalam Martabat Tujuh hasil pembaharuan tentang sara bharata tersebut ditetapkan pula besaran weti (pajak) dari kadie-kadie yang baru dipisahkan dari sara bharata untuk diserahkan diserahkan kepada sara Wolio di kesultanan karena tidak lagi menjadi tanggungan bharata.

Adapun Weti atau pajak yang diserahkan oleh rakyat  berupa hanya berupa hasil bumi namun ada juga pajak dalam bentuk "manusia" atau budak yang disebut wetimiana serta sejumlah uang dalam jumlah boka (sejenis satuan yang digunakan di Buton). (AM Zahari, 1977, I : 80)

Sebagaimana dokumen tertulis La Adi Ma Faoka dalam koleksi Abdul Mulku Zahari disebutkan bahwa rincian  pajak yang wajib diserahkan oleh ketiga kadie tersebut  dalam  setiap  tahun adalah : 

1. Wanci dan Kapota masing-masing sebesar ; Jawana 20 boka dan 200 biji kelapa, Wetimiana 3 orang, Sandatana 20 boka dan 20 biji kelapa, Sadakana 20 boka, Kapajagana  1  boka, Bawana Rambanua 1 boka, Panganana 5 suku.

2. Liya sebesar ; Jawana 40 boka, Wetimiana 4 orang dan 400 kelapa, Sandatana 40 kelapa, Kapajagana 1 boka, Bawana Rambanua 1 boka, Panganana 5 suku (AM Zahari, 1977, III  : 38-39). 

Pada masa pemerintahan Muhammad Asyikin sultan XXXIII, dilakukan lagi pembaharuan Martabat Tujuh tentang sara bharata pasca penandatanganan perjanjian antara Sultan Buton dengan Residen Belanda yang bernama Brugman atau dikenal dengan perjanjian Asyikin-Brugman pada tahun 1906 M. Sara bharata dalam Martabat Tujuh hasil pembaharuan sultan Asyikin terbentuklah 30 kadie yang baru menambah 90 kadie yang sudah ada sehingga menjadi 120 Kadie. Khusus dalam sara bharata Kahedupa terbentuk 6 kadie baru menjadi syara Wolio yaitu Kadie Mandati, Kadie Timu, kadie Tongano, kadie Waha, kadie Wali dan Palahidu. Sehingga kadie/limbo yang masuk dalam sara bharata Kahedupa tinggal 9 yakni Langge, Laulua, Tapa'a, Tombuluruha, Tampara, Kiwolu, Ollo, Fatole, Lefuto yang dipimpin oleh 2 lakina dan 7 Bonto.


------oleh : Ahmad Daulani

Sabtu, 11 Desember 2021

SEPENGGAL KISAH BENTENG PALE'A DAN BENTENG OLLO

Sumber foto : istimewa

Sama seperti kerajaan pada umumnya, Kaledupa yang memiliki histori panjang sebagai kerajaan  juga memiliki banyak peninggalan sejarah yang belum terungkap. Diantaranya benteng dan bukti fisik lainnya yang menurut masyarakat setempat memiliki peran dan makna penting dalam sejarah peradaban Kaledupa.

Dipulau Kaledupa terdapat beberapa benteng peninggalan peradaban masa lampau yang menjadi warisan leluhur sebagai saksi sejarah sebagai hasil karya yang sangat mengagumkan oleh manusia sekarang. Ada 2 benteng besar yang masih tersisa meskipun sebagain sudah mengalami kerusakan karena dimakan usia dan tidak terawat lagi yaitu benteng Pale'a sebagai jejak peradaban Kaledupa sebagai kerajaan dan benteng Ollo sebagai jejak Kaledupa sebagai barata Kahedupa yang telah terintegrasi menjadi bagian dari wilayah kesultanan Buton.

Benteng Pale'a sekarang terletak di desa Pale'a kecamatan Kaledupa Selatan Kabupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara . Benteng ini terletak dibukit sebelah utara pulau Kaledupa. Posisi benteng yang terletak diatas bukit yang mengar0ah langsung kearah laut menjadi posisi yang sangat strategis untuk dijadikan sebagai pemukiman dan memantau setiap aktivitas para pelintas yang melewati perairan kerajaan Kahedupa. Posisi ini juga sangat strategis untuk memantau kedatangan para musuh jika terdapat serangan yang hendak mengancam keamanan kerajaan dan keamanan rakyat Kaledupa pada masa itu.

Benteng Pale'a pertama kali dibangun oleh raja Tongka Allamu pada masa pemerintahannya (1260 - 1310) ia merupakan anak ulama persia Muhammad Ma'arifatubillah Qurki yang datang melakukan syiar Islam ke Kaledupa. (La Ode Sariu : wawancara 2019)

Tongka Allamu diangkat menjadi raja oleh para tetua sara sara fungka yaitu tetua fungka Patua Bente La Rahamani, tetua fungka Pangilia La Serewaha dan tetua fungka Horuo La Taayoni dalam musyawarah penyatuan wilayah sara sara fungka menjadi kerajaan Kahedupa.

Tongka Allamu yang bernama Muhammad Umar Muhadar kemudian dinobatkan sebagai raja pertama Kerajaan Kahedupa dengan gelar Muhammad Ndangi Tongka Allamu atau lebih dikenal raja Tongka Allamu.

Dalam masa pemerintahannya merasa perlu membangun benteng sebagai simbol kekuatann untuk melindungi rakyat dan seluruh pemerintahan kerajaan Kahedupa. Fungsi benteng tersebut adalah selain untuk tempat pemukiman dan menjadi sentral aktivitas kerajaan Kahedupa juga menjadi sistem pertahanan diri dari serangan musuh. Benteng ini juga memiliki hubungan dengan benteng benteng lain yang sudah dibangun di fungka Patua, fungka Pangilia dan di fungka Horuo.

Benteng Pale'a dibangun dari susunan batu batu gunung yang sangat rapi dan tanpa perekat semen. Batu batu gunung tersebut diambil dari gunung Pangilia dengan cara posaka-posaka (gotong royong) oleh rakyat kaledupa. Ada juga mitos yang menceritakan bahwa konon batu batu itu dipindahkan oleh manusia berkekutan gaib dengan bantuan jin. (Wa Ata dalam Ngirusliati)

Adapun bentuk benteng Pale'a persegi panjang ada juga sebagian sumber yang mengatakan bahwa benteng berbentuk lafaz "ALLAH". Luas benteng sekitar 100x120 meter persegi dengan ketinggian tembok yang tidak merata. Didalam benteng terdapat beberapa bangunan penting lainnya seperti Bharuga, Kamali (istana raja). Benteng Pale'a dilengkapi dengan 4 lawa (pintu masuk) yaitu Lawa Naga, Lawa Montu, Lawa Te'e, dan Lawa Sambalagi yang masing-masing lawa diarahkan sesuai 4 penjuru mata angin. Lawa utamanya adalah Lawa Naga, penamaan dan fungsi lawa naga bersumber dari hikayat pelantikan raja, "te tombi no bhelo bhelo dilawa Naga Nu Pale'a). (La Ode Abdul Fattah : wawancara 2019)

Selama masa pemerintahan Tongka Allamu tidaklah cukup waktu untuk membangun benteng sampai sempurna, sehingga pembangunan benteng Pale'a dilanjutkan sampai masa pemerintahan selanjutnya dimasa raja ke 2 Syamsa Allamu. Raja Syamsa Allamu membangun benteng dgn merubah kontruksi benteng, ia menambah 3 lawa baru yaitu Lawa Langge, Lawa Tampara, Lawa Horuo  sehingga benteng Pale'a memiliki 7 lawa dan ketebalan tembok menjadi 1,5 meter.

Kerajaan Kaledupa eksis sebagai kerajaan yang berdaulat sejak tahun 1260 M sampai  tahun 1635 M dan terjadi pergantian kepemimpinan sebanyak 10 orang raja. Setelah kerajaan Kahedupa terintegrasi dalam kesultanan Buton menjadi Barata Kahedupa bersamaan dengan tiga barata yg lain yaitu Kalisusu, Tiworo dan Muna sebagai bagian wilayah kesultanan Buton. Sebagai wilayah barata, barata Kaledupa memiliki otonomi sendiri untuk mengelola wilayahnya sendiri terutama menjaga stabilitas keamanan diwilayah teritorialnya. Sehingga sebagai barata Kaledupa memiliki struktur pemerintahan dan jabatan hampir sama dengan stuktur pemerintahan dalam keraton Buton.

Barata Kahedupa pertama kali dipimpin oleh Kasafari (1635-1673 M). Pimpinan barata Kahedupa tidak lagi disebut sebagai Raja tapi disebut Lakina Kahedupa. Dalam masa pemerintahannya sebagai Lakina Kahedupa Kasafari masih bertempat di benteng Pale'a, namun Kasafari meragukan kemampuan benteng Pale'a dari serangan musuh. Informasi ini didapatkan dari hikayat Kasafari "faina faina ngkumonini te bentesu raga safaka fakkano". Sehingga masyarakat barata Kahedupa memperluas benteng Pale'a menjadi benteng berlapis. Lapisan luar benteng dibangunkan dinding setinggi 5 meter. (Sumber yang tidak ingin disebutkan namanya)

Setelah beberapa tahun menjadi Lakina Kahedupa Kasawari kemudian diperintahkan oleh Sultan Buton untuk membangun benteng diwilayah fungka Patua Bente. Awalnya pembangunan benteng itu untuk menjadi pusat kajian Islam karena posisinya yang dekat dengan mesjid Agung Bente yang merupakan mesjid agung barata Kahedupa. Pembangunan benteng Ollo lansung diawasi oleh La Batini yang notabene menjabat sebagai Bonto To'oge Barata Kahedupa. Pembangunan benteng tersebut terus dilakukan oleh Lakina Kahedupa setelah Kasafari. Pembangunan benteng terus dilanjutkan pada masa Lakina Yiindolu Palea (1673-1702 M), kemudian dimasa Lakina Sangia Jalima (1702-1727 M), kemudian dimasa Lakina Galampa Melangka ((1727-144 M), kemudian dimasa Lakina Sangia Wande-Wande (1744-1764 M). (Catatan La Ode Saidin)

Pada masa pemerintahan Lakina Kahedupa ke 6, Lakina Sangia Geresa fungsi benteng Palea yang notabene sebagai pusat pemerintahan sepenuhnya dipindahkan ke benteng Ollo dan benteng Pale'a tidak lagi menjadi pusat pemerintahan. Benteng Pale'a hanya menjadi pemukiman warga dari kalangan bangsawan dan menjadi tempat penyimpinanan persenjataan. Pemindahan fungsi benteng tersebut berdasarkan kesepakatan dewan sara adat Barata Kahedupa.(Ali Hadara dkk)

Namun kesepakan itu dilatar belakangi oleh beberapa alasan.

1. Adanya desakan dari Sultan Buton karena faktor politik dimana kerajaan Kahedupa saat itu memulai babak baru peradabannya sebagai barata Kahedupa yang terintegrasi menjadi bagian dari wilayah kesultanan Buton bukan lagi sebagai kerajaan Kahedupa yang berdaulat, alasan ini menurut para sumber merupakan alasan paling kuat karena Buton ingin menghilangkan keistimewaan Kahedupa yang pernah diberikan oleh Sultan. (La Ode Djumaiddin)

2. Pertimbangan geografis karena benteng Ollo dianggap lebih strategis berada dipertengahan perbatasan wilayah Umbosa (Timur) dan Siofa (Barat). (Ali Hadara)

3. Alasan penting lainnya karena tarikan benteng Ollo yang tidak jauh dari bukit Tapaa yang diyakini oleh masyarakat setempat adalah puo nufuta (pusat tanah) yang dijadikan sebagai tempat pertapaan dan tafakur.(La Ode Saidin)

Benteng Pale'a dan Benteng Ollo merupan hasil karya masyarakat Kaledupa masa lampau yang menjadi pusat peradabadan dan pusat pemerintahan selama ratusan tahun. Benteng Palea'a pernah dijadikan sbg pusat ibukota yang diduduki oleh 15 pemimpin yaitu 10 Raja kerajaan Kahedupa dan 5 orang Lakina Barata Kahedupa. Sedangkan Benteng Ollo menjadi pusat pemerintahan sara barata Kahedupa yang pernah diduduki olh 11 Lakina Barata Kahedupa dan 6 Lakina yangsekaligus merangkap sebagai kepala distrik Kaledupa

Karena keberadaanya kedua Benteng tsb sekarang dapat dijadikan sebagai bukti dan saksi sejarah yang mendeksripsikan kehidupan masa laumpau dan menjadi warisan untuk generasi sekarang dan akan datang.

........oleh : Ahmad Daulani

SOMBANO, wisata dan sejarahnya

Selain pulau Hoga dengan hamparan luas pasir putihnya, pantai Peropa dan pantai Oa Nujafa, Kaledupa juga memiliki pantai cantik dan menarik lainnya yang dapat dikunjungi saat berwisata untuk memanjakan mata. Kaledupa yang merupakan salah satu Kawasan wisata juga memiliki pantai yg tak kalau indah di banding spot wisata lainnya. Pantai tersebut adalah Pantai Sombano atau yang lazim sekarang oleh masyarakat Kaledupa menyebutnya pantai "Taduno". Pantai Taduno terletak di sisi sebelah Barat pulau Kaledupa. Desa Sombano, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi. 

Pantai Taduno memiliki hamparan pasir putih bersih yang halus, vegetasi pantai yang padat nan indah menjadi tempat bersantai yang nyaman dikala senja. Menara mercusuar yang masih berdiri kokoh seolah mengawasi dengan seksama saat sang mentari perlahan tenggelam meninggalkan bias kemerahan di kaki langit, gemuruh ombak dan desiran angin menambah indahnya Pantai Taduno. 

Sombano tidak hanya menyajikan keindahan pantainya saja tetapi disana juga terdapat Danau Sombano yang biasa disebut  "Danau Akku'a Nulumu". Danau ini memberikan isyarat begitu indah, ukiran ciptaan Tuhan yang bak menggambarkan taman syurga. 

Danau Akku'a Nulumu memiliki panjang sekitar 700 meter dari garis pantai. Danau ini telah lama dijadikan sebagai tempat berwisata untuk menikmati keindahan airnya yang jernih berwarna-warni, melihat populasi udang merah yang begitu banyak dan unik, bisa melihat ikan bandeng yang selalu asyik bermain dengan biota laut lainnya.

Selain keindahan pantai dan danau di Sombano yang membentang diatas tanah ulayat Barata Kahedupa, juga kita bisa menikmati keanekaragaman flora dan fauna yang begitu kompleks, kondisi hutan pantai dan sekitarnya tumbuh alami, jauh dari jamahan tangan manusia yang ingin merusaknya,  keindahan danau yang tidak terpengaruh dengan pasang surut air laut, dilindungi oleh formasi semak dan pepohonan laksana prajurit yang menjaga sang raja. 

Disamping ciri khas tersebut kita juga bisa melihat dan menikmati keindahan salah satu jenis flora seperti tumbuhan anggrek dengan berbagai jenis tumbuh menyempurnakan keindahan pantai Taduno dan danau Akku'a Nulumu, pada waktu musim mekar bungan memamerkan bunga yang menghipnotis setiap mata yang melihatnya bak kaum bangsawan yang selalu jatuh cinta dan terpesona kepada para gadis cantik penari Lariangi. 

Terdapat juga beberapa jenis fauna berupa burung elang tiram, pecuk padi hitam, campak laut, trinil pantai, burung gosong kaki merah yang selalu berkicauan merdu bagai lanturan syair - syair Lariangi yang mampu meninabobokan setiap telingan yang mendengarkannya.

menilik sejarah desa Sombano, pada era 80 an Sombano merupakan bagian dari desa Horuo, kemudian mekar menjadi desa devenitif sendiri bersamaan dengan 6 desa lainnya dilingkup kecamatan Kaledupa kabupaten Buton kala itu. 

Kalau kita mundur lebih jauh lagi Sombano merupakan wilayah yang penting pada masa kerajaan Kahedupa maupun pada masa Barata Kahedupa. Di pantai Taduno sekarang terdapat "fatu Galampa Sara" yang dahulu di jadikan oleh Lakina Kahedupa sebagai tempat pengambilan keputusan untuk mengeluarkan keputusan rahasia. Saat mengeluarkan keputusan rahasia di fatu galampa sara Lakina Kahedupa hanya di temani oleh Bonto To'oge Barata Kahedupa. 

Padangkan pada masa kerajaan Kahedupa pernah terjadi beberapa peristiwa besar disana, dimana salah satu kejadian itu diyakini oleh masyarakat merupakan asal muasal penamaan daerah itu. Konon sekitar tahun 1463 di daerah pantai Langgira pernah datang rombongan dari Sulawesi Selatan sekarang, entah dari kerajaan Gowa atau kerajaan Bone, para penutur tradisi lisan tidak ada lagi yang mengetahui dengan pasti. Rombongan tersebut dibawah pimpinan Pattiroi. Saat berlabuh di pantai Langgira ia bertemu dengan masyarakat Horuo yang sedang mencari ikan dan hasil laut, yang merupakan salah satu kebiasaan masyarakat Kahedupa masa lampau untuk bertahan hidup. Setelah Pattiroi bercakap-cakap dengan beberapa masyarakat ia meminta agar diantar ke benteng Horuo untuk bertemu dengan pemimpin fungka Horuo. Saat itu fungka Horuo di bawah pimpinan La Samboka - Mboka. Singkat cerita Pattiroi menikah dengan Wa Sauleama anak dari pimpinan Horuo. Kemudian Pattiroi menjadi pimpinan fungka Horuo menggantikan La Samboka - Mboka setelah mangkat. 

Sekitar tahun 1634 atau 1635 rombongan Sapati Baluwu yang dan Kapita Waloindi datang ke Kerajaan Kahedupa sepulang dari perang Kiser di Maluku yang sebelumnya juga telah menginvasi Waloindi. Kedatangan rombongan Sapati Baluwu ke Kahedupa atas perintah Sultan Buton untuk mendukung Kasafari sebagai Raja Kahedupa yang ke 11, yang kemudian diketahui kedatangan rombongan ini ternayata  untuk menjadikan Kahedupa sebagai wilayah kesultanan Buton. 

Penunjukan Kasafari untuk menjadi raja Kahedupa menuai kontroversi bahkan penolakan keras dari Horuo. Kasafari yang tidak berasal dari bangsawan Kahedupa, sehingga dianggap tidak pantas untuk memimpin kerajaan Kahedupa. Penolakan Horuo tersebut tidak tanggung-tanggung bahkan melakukan perlawanan. karena La Kasafari mendapat dukungan dari Buton, maka perlawanan Horuo harus berhadapan dengan rombongan Sapati Baluwu yang sudah ada di Kaledupa. 

Perang antara pemimpin dan masyarakat fungka Horuo dan Sapati Baluwu terjadi di daerah Sombano (sekarang). Perang tersebut akhirnya dimenangkan oleh Sapati Baluwu dengan dukungan Kapita Waloindi dan beberapa bangsawan Kahedupa. Pemimpin Horuo akhirnya takluk dan mengaku kalah. Di daerah itu pemimpin Horuo tunduk (no somba) dan menerima Kasafari untuk memimpin kerajaan Kahedupa. "Te Sombaano" artinya tempat menyembahnya pemimpin Horuo kepada Sapati Baluwu, hingga sampai sekarang daerah itu dikenal dengan nama Sombano.

Ilustrasi beberapa objek yang disebutkan diatas tidak disertakan karena penulis tidak memiliki dokumentasinya, agar dekskripsi dan narasi diatas lebih hidup bagi yang memiliki foto yang dimaksud mohon kerendahan hatinya agar disertakan di dalam kolom komentar. 

----- oleh : Ahmad Daulani

KAKADHO BHAA LASUNA

sumber foto : istimewa

Meskipun makam ini sekarang tampak tak terurus dan sudah banyak yang melupakannya namun sosok yang ada dibaliknya adalah sosok yang sangat legendaris dan sangat mengemuka di negeri Kahedupa, negeri Buton dan negeri Pancana Muna pada akhir abad ke 16 Masehi. 

Di Kahedupa ia bernama La Tingku, ia adalah salah satu bangsawan Kahedupa yang memimpin wilayah Tombuluruha. Ia juga dikenal sebagai ahli perang yang sangat handal sehingga di Kahedupa juga ia dikenal dengan nama Kakadho Tombuluruha. 

Sezaman dengan La Tingku yang memimpin Tombuluruha, Kahedupa dimasa itu dipimpin oleh raja La Molingi sementara Buton di pimpin oleh Sultan Laelangi.

Jauh sebelum masa itu sejatinya telah terbentuk persekutuan pertahanan keamanan baik keamanan luar maupun di dalam negeri yang terdiri dari 5 kerajaan yang digagas oleh Sultan Murhum. Persekutuan tsb dikenal dengan persekutuan BHARATA dengan Buton sebagai sentralnya. Kelima negeri itu adalah Buton, Kahedupa, Muna, Kolencusu dan Tiworo. 

Tetapi persekutuan bharata mengalami instabilitas pada masa pemerintahan sultan Laelangi disebabkan oleh tindakan perubahan (amandemen) dalam Martabat Tujuh secara sepihak. Beberapa perubahan yang sangat fundamental adalah tentang monopoli wilayah Bharata dan pembentukan Kamboru-mboru Talupalena. 

Sikap Laelangi tersebut mendapatkan penolakan dari negeri-negeri bharata dan memicu perlawanan Pancana Muna, mereka secara terbuka menentang dan melawan keputusan Buton yang berimplikasi pada situasi instabilitas kesultanan Buton. 

Selanjutnya Laelangi meminta bantuan kepada Kahedupa untuk turut mengamankan situasi Buton yang sedang tidak stabil. bharata Kahedupa mengirim La Tingku sebagai perwakilan. Sesampai di Buton semua utusan dari negeri bharata dan ditambah pasukan kesultanan Buton langsung bergerak menuju Pancana Muna untuk meredam kekisruhan yang terjadi disana. 

Kakadho dan pasukannya kemudian diberangkatkan ke negeri Pancana dengan melabuhkan kapalnya di negeri Lakudo. Dan dari Lakudolah jalur penyerangan itu distrategikan. Beberapa hari terjadi peperangan yang sengit antara kakadho Tombuluruhan dan raja Pancana Muna. Kemudian pasukan dari lakudo atas perintah Buton bergabung dan bersekutu dengan kakadho dan pasukan Kahedupa.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya kekisruhan yang sedang terjadi berhasil diredam. Setelah negeri pancana Muna kembali kondusif, semua utusan kembali ke istana Buton untuk melaporkan keberhasilan tugas mereka.

Laelangi ingin mengetahui siapa yang telah berhasil membunuh raja Muna, sehingga semua utusan masing-masing berlomba-lomba memperlihatkan bukti untuk menyakinkan sang Sultan tentang pembunuh raja Muna. Terakhir yang memberikan bukti adalah La Tingku dengan membawa potongan kemaluan raja Muna karena ternyata kelemahan kesaktian sang raja terletak pada kemaluan. Bukti yang dibawa oleh La Tingku mendapat pengakuan Sultan. Akhir dari pengakuan itu La Tingku diberikan gelar kakadho Baa Lasuna (kesatria yang memotong kemaluan). Dan sejak saat itu ia lebih dikenal dengan nama kakadho Balasuna.

La Tingku memiliki istri bernama Wa Kuiramba (perempuan berdarah bangsawan Waloindi) dan anak semata wayangnya bernama Wa Dakki. Wa Dakki memiliki tiga orang anak yaitu Wa Langgo, La Fatu-Fatu dan La Kangka. Setelah ia meninggal tanah warisannya di bagi oleh cucunya. Wa Langgo sebagai cucu yang tertua yang membagi tanah tsb menjadi 3 bagian. Tanah pembagian itu terdapat di fungka wa kalango-langgo, di Kangka dan di fungka Lafatu-fatu. Sampai sekarang jejak pembagian tanah kakadho Balasuna masih sering menjadi istilah "paka tamokana fa langgo safali notoppa terandano notofengka totolu na fungka". 

Di Kahedupa untuk mengenang nama dan dedikasinya semua wilayah Tombuluruha yang ia pimpin diganti dengan nama Balasuna.

Oleh : Ahmad Daulani



Menjejak Kadie Liya dari Bharata Kahedupa


Pada abad ke 16 Masehi ketika eksistensi kesultanan Buton melebarkan sayap wilayahnya mencakup Pata Bharata (empat bharata), Pitupulu Rua kadie yii sambali (tujuh puluh dua kadie) yang membentang diseluruh daratan Buton dan kepulauan disekitarnya

Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi) adalah salah satu wilayah kesultanan Buton yang terletak dalam teritorial keamanan bharata Kahedupa yang terdiri dari 8 Kadie, 2 Bobato, 7 Limbo dan 1 Kafati menjadi wilayah luar sebelah Timur.

Pada masa itu bharata Kahedupa merupakan jalur utama pelayaran Buton ke kerajaan Ternate, Maluku dan kerajaan-kerajaan di bagian Timur Nusantara. Dengan letak georafisnya yang sangat strategis menjadikan bharata Kahedupa sebagai sentral jalur rempah-rempah pada periode tertentu. 

Walaupun kadie Liya masuk dalam wilayah teritorial keamanan bharata Kahedupa tetapi secara administrasi pemerintahan Kadie Liya merupakan satu dari 72 kadie Sara Wolio. 

Lakina Liya jika memasuki Kahedupa secara resmi berhubungan dengan Laolua dan menjadi tamu lakina Laolua selama berada di Kahedupa dan jika ingin masuk benteng melalui lawa laolua

Kadie Liya (Liya Togo) merupakan Bobato Mancuana. Posisi tersebut menjadikannya setara dan sederajat dengan Sampolawa dan memiliki posisi duduk bersebelahan dalam istana Wolio

Bobato  Mancuana adalah hak keistimewaan yang  beberikan kepada kadie oleh Sultan Buton. Lakina Liya dan Lakina Sampolawa sebagai pemimpin kadie bobato mancuana memiliki hak untuk menyampaikan pendapatnya kepada Sultan saat paripurna di dalam istana. Kadie Liya sebagai Bobato Mancuana juga bisa mengeluarkan perintah perang jika stabilitas keamanan wilayahnya terganggu tanpa menunggu persetujuan sara bharata Kahedupa maupun kesultanan. Itulah sehingga di benteng Liya terdapat Bhadili yang menghadap langsung Kahedupa, bukan bermaksud melawan Kahedupa tetapi untuk menghalau musuh yang datang dari selat Liya - Kahedupa (Kompo nu one).

Selain itu bobato mancuana juga menjadi spionase sultan. Liya mengamati dan memantau pergerakan sara barata Kahedupa sedangkan Sampolawa mengamati dan memantau pergerakan sara Batauga dan Kamaru (Bobato Baana Meja). isyarat itu terdapat pada cermin yang dipasang di tandaki Lakina Bobato Mancuana. Langkah tersebut merupakan salah satu strategi politik Buton terhadap kerajaan-kerajaan vasal untuk membatasi hak otonom yang mereka miliki. 

Kadie Liya pertama kali dipimpin oleh Djilabu. Sebelumnya beliau adalah seorang ulama yang menyebar Islam pertama kali di Liya. Sejak saat itu Liya mengalami perkembangan yang pesat.

Sempat beredar rumor bahwa pada masa pemerintahan Talo-Talo sebagai Lakina Liya ke-7, baluara utama benteng Liya dibangun sebagai miniatur benteng Bombonawulu kemudian melatih pasukannya sebelum menginfasi kerajaan Bombonawulu. 

Tetapi jauh sebelum Talo-Talo memimpin Liya baluara tersebut sudah dibangun dan digunakan sebagai tempat pertemuan dan musyawarah sara Liya sebelum ada Baruga. Setelah Talo-Talo menjadi lakina Liya, baluara tersebut difungsikan sebagai tempat latihan para pasukan tapi tidak bertujuan untuk menaklukan kerajaan Bombonawulu tetapi agar para pasukan menguasai pertahanan benteng karena menggunakan sistem pertahanan 3 lapis dengan pintu sebanyak 13 buah, 4 pintu terletak pada dinding benteng. Dan 9 pintu terletak di luar benteng

Banyak manuskrip dan memori kolektif sejarah yang merekam bahwa penaklukan kerajaan Bombonawulu dilakukan oleh kakadho Tombuluruha dari Kahedupa yang berkoalisi dengan pasukan Buton dari Lakudo, dan karena penaklukan tersebut kakadho Tombuluruha diberi gelar kakadho Baa Lasuna.

Oleh : Ahmad Daulani

Rabu, 08 Desember 2021

TAMBURU

sumber foto : istimewa

Bharata merupakan wilayah kesultanan Buton yang mulanya adalah kerajaan-kerajaan kecil yang berdiri sendiri. Negeri bharata diberi hak otonom yang luas sehingga bharata dapat mengatur dan melaksanakan pemerintahan dan membentuk  peraturan pemerintahannya sendiri, selama itu tidak  bertentangan dengan syara kesultanan Buton dan Undang-Undang Martabat Tujuh.

Empat  wilayah bharata terdiri dari bharata Kahedupa, bharata Muna,  bharata Kulisusu dan bharata Tiworo. Dimana struktur  pemerintahannya terdapat jabatan yang gelarnya dan kedudukannya seperti dalam syara Wolio, namun susunan jabatan tersebut  tidaklah lengkap seperti dalam Syara Wolio jika terpisah-pisah. Kecuali jika di  gabungkan sara dari ke empat bharata tersebut barulah jabatan lengkap seperti pada Syara  Wolio.

Bharata dipimpin oleh seorang raja (Lakina) yang diangkat dari bharata itu sendiri yang berkedudukan dan diperlakukan setingkat  dengan Sultan.

Selain melaksanakan pemerintahan secara otonom, bharata juga memiliki beberapa keistimewaan diantaranya :

1. Memerintah dirinya sendiri

2. Diperlakukan sederajat sultan dalam wilayahnya kecuali disembah (Lakina Bharata tidak disembah seperti Sultan)

3. Memiliki pasukan pertahanan sendiri dalam menjaga keamanan wilayahnya. Wilayah teritorial keamnan bharata Kahedupa dari Morommaho sampai Batuatas yang meliputi seluruh kadie dan Limbo di kepuluan Tukang Besi

4. Dan lain-lain

Karena Lakina bharata yang diperlakuan setara dengan sultan maka Lakina bharata khusunya Bharata Kahedupa juga memiliki pasukan kehormatan seperti yang dimiliki oleh sultan. 

Pasukan kehormatan sultan disebut Tamburu Limanguna sedangkan pasukan kehormatan Lakina bharata disebut Tamburu Pataanguna.

Tamburu Limaanguna merupakan pasukan kehormatan sultan yang jumlah anggotanya sebanyak 7 orang dari golongan Walaka. Kelompok pasukan ini merupakan bentukan dari lima kelompok yaitu mentri Peropa, mentri Baluwu, mentri Gundu-Gundu, mentri Barangkatopa dan Mawasangka. Setiap kelompok memiliki anggotanya masing-masing yaitu 1 Lutunani (Letnan), 1 Alifarisi (Letnan Muda), 4 orang yang bergelar Syaraginti (Sersan) dan 1 yang bergelar Tamburu. Sehingga jumlah keseluruhan anggota pasukan Tamburu Limaanguna sebanyak 35 orang dan berada dibawah pengawasan Kapitalao atau kapitaraja.

Sedangkan pasukan Tamburu Pataanguna di bharata khususnya bharata Kahedupa merupakan pasukan kehormatan Lakina Kahedupa yang berjumlah 5 orang masing-masing 1 orang Lutunani, 1 orang Alfaresi, 2 orang Saragenti dan 1 orang bergelar Tamburu (penabuh gendang). Tamburu bharata merupakan bentukan dari empat kelompok yaitu Miantu'u Sulujaju, Bonto Ogena, Bonto Kiwolu dan Bonto Tapa'a, dengan membentuk 2 kelompok pasukan Tamburu Pataanguna yaitu Tamburu Umbosa dan Tamburu Siofa dengan jumlah keseluruhan sebanyak 10 orang dan berada dibawah pengawasan Miantu'u Sulujaju.

Tugas utama Tamburu adalah sebagai pasukan khusus Lakina Kahedupa yang akan mengawal Lakina Kahedupa baik dalam benteng maupun diluar benteng. Tamburu juga merupakan pasukan elit yang akan berada di garda paling depan dalam menghadapi musuh. 

Tamburu Pataanguna bharata Kahedupa memiliki bendera tersendiri yaitu bendera berwarna merah polos yang dibawa oleh Alfaresi dan akan dikibarkan dibelakang Tombi Pangga bendera perang Miantu'u Sulujaju jika dalam situasi perang perang. 

Selain itu Tamburu memiliki tugas yang lain yaitu memainkan tarian perang sebagai pengumuman resmi bahwa telah ditetapkannya 1 Ramadhan atau lebih dikenal dengan sebutan "Temba'a nu komba"

Penentuan Tembaa nu Komba akan dilakukan oleh sara fofine yaitu sara yang menangani urusan agama, terdiri dari Minatu'u Agama sebagai pimpinan tinggi, imamu Kahedupa, Khatibi, 7 orang moji, Laganda dan satu orang utusan sara Hu'u yaitu Bonto Paseba. 

Dalam pengamatan hilal maka 7 orang Moji akan menyebar ke beberapa titik pemantauan. Setelah mendapat laporan dari moji yang melihat hilal, maka sara fofine akan mengambil keputusan tentang penetapan awal puasa atau 1 Ramadhan yang ditandai dengan dibunyikannya bedug  mesjid oleh Laganda.

Setelah keputusan itu selesai ditetapkan, maka akan dilaksanakan prosesi Temba'a nu Komba, yaitu dengan membunyikan bhadili (bedil/meriam) di salah satu lawa di benteng bharata Kahedupa. 

Bunyi tembakan bhadili secara harfiah bermakna menembak bulan sebagai bentuk pengumuman agar seluruh rakyat tahu awal puasa, budaya ini lah sehingga rakyat Kahedupa menyebut 1 Ramadhan dengan sebutan Temba'a nu komba.

Bonto Paseba sebagai perwakilan sara Hu'u yang ijut proses Temba'a nu komba akan menyampaikan kepada Lakina Kahedupa hasil keputusan dari sara fofine, pada waktu yang bersamaan kemudian pasukan Tamburu akan memainkan tarian mbeli atau tarian perang di Kamali sebagai bentuk pengumuman resmi dari Lakina Kahedupa kepada seluruh rakyat Kahedupa bahwa puasa Ramadhan akan mulai dilaksanakan. 

Tembaa nu komba sama seperti pengumuman resmi pemerintah yang diumumkan ke seluruh rakyat untuk melaksanakan ibadah puasa. Prosesinya dimulai dari pemantauan hilal oleh sara fofine kemudian melaporkan kepada Raja atau Lakina Kahedupa.

Bedug dan Tamburu akan terus dimainkan setiap menjelang buka puasa, setelah bedug magrib berbunyi kemudian akan disambung oleh Tamburu. Hal yang sama juga dilakukan pada 1 Syawal.

Oleh : Ahmad Daulani

Tarekat Qadiriyah : Ajaran & Nasehat Kuno yang Sirna dari Bumi Kahedupa

  oleh : Ahmad Daulani Di antara kehidupan modern dan budaya barat yang merajalela, ada kelip cahaya di Kahedupa yang   merawat ayat-ayat ...