Jumat, 31 Juli 2020

PAJAGA


Oleh : Ahmad Daulani

Bagian 1

      Nama pulau “Kaledupa” diambil dari kata Kau Dupa yang berarti kayu dupa. Nama ini di berikan oleh serombongan pelaut yang kebetulan melintasi pulau Kaledupa dan  mencium wangi dupa (kemenyan) sehingga oleh mereka pulau tersebut diberi nama Kahedupa dan kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kaledupa. Kayu dupa sendiri merupakan benda yang paling dekat hubungannya dengan ritual. Pada masa lampau penduduk Kaledupa menganut keyakinan animisme dinamisme, sehingga hampir seluruh masyarakat menggunakan dupa untuk media komunikasi dengan para arwah leluhur.

Agama Islam masuk dan menyebar dalam masyarakat Kahedupa, yang kemudian berasimilasi dengan tradisi atau adat istiadat yang sudah ada dan diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang. Agama Islam menunjukkan kearifannya ketika berhadapan dengan adat dan tradisi lokal yang sudah mapan, yang ditandai dengan pendekatan dakwah secara bijaksana, damai dan bertahap, bukan dengan cara frontal apalagi kekerasan.

Singkatnya, Islam mampu berdialektika dengan kemajemukan adat istiadat dan memberikan klasifikasi bijaksana terhadap unsur-unsur tradisi yang bernilai positif dan bisa dipelihara dan unsur-unsur adat yang bernilai negatif yang perlu ditinggalkan. Dengan demikian kehadiran agama Islam bukan untuk menghilangkan adat dan tradisi setempat melainkan untuk memperbaiki dan meluruskannya menjadi lebih berperadaban, berakhlak dan manusiawi.

Dengan metode seperti ini menjadikan Islam yang masuk ke Kahedupa yang pertama kali dibawah oleh Tongka Allamu tidak banyak mendapatkan hambatan dan penolakan. Islam datang sebagai sosok ajaran yang dinamis dan melindungi tradisi yang telah dimiliki oleh masyarakat Kahedupa.

Kehadiran Tongka Allamu yang mengawali perkenalan Islam di Kahedupa juga berarti awal dari proses interaksi Islam dan nilai-nilai tradisi lokal. Meskipun masih menyisakan beberapa tradisi-tradisi animism-dinamisme namun pada kenyataannya Islam hampir merubah seluruh adat istiadat masyarakat Kaledupa dalam segala aspek. Perpaduan antara Islam dan tradisi lokal dalam praktek hidup dan beragama masyarakat Kahedupa masih jelas terlihat umumnya dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai khazanah budaya yang terwarisi, yang memiliki akar dan hubungan erat dengan tradisi dan sejarah Kahedupa masa lampau, sehingga apa yang nampak dari fenomena keberagamaan masyarakat Kahedupa sebagian di antaranya merupakan hasil proses dialektika yang masih kental tergambar pada tradisi yang dilakukan dalam berbagai sistem keyakinan serta berbagai upacara ritual dalam masyarakat Kahedupa merupakan deskripsi dari hasil interaksi antara Islam dengan tradisi lokal masyarakat setempat.

Salah satu tradisi yang sangat kental dengan nilai-nilai ajaran islam yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam aspek sosial masayarakat Kahedupa yaitu Pajaga. Pajaga adalah undangan lisan yang disampaikan secara adat. Pajaga merupakan salah satu rangkaian acara yang tidak dapat dipisahkan untuk semua jenis acara adat (karajaa membali – karajaa mate), mulai dari aqikah, khitanan, perkawinan sampai tahlilan.

Berdasarkan jenisnya Pajaga dibagi menjadi dua jenis yairu Pajaga lele dan Pajaga po’intesi. Sedangkan dalam penerapannya pajaga dibagi menjadi dua macam yaitu pajaga mo’ane dan pajaga fofine. Pajaga lele akan dilakukan paling lambat dua hari sebelum acara inti (hari-H) dan Pajaga Po’intesi dilakukan saat hari H sebelum acara dimulai. Pada dasarnya pajaga lele dan pajaga po’intesi sama fungsinya, yang membedakan hanya terletak pada kata-kata yang akan disampaikan (bake nu pogau) dan waktu pelaksanaannya. Pajaga po’intesi bisa dilakukan jika orang tersebut sudah pernah di Pajaga lele. Pakaian yang digunakan oleh orang-orang yang ditugaskan untuk pajaga menggunakan sarung tenun asli corak laki-laki dan menggunakan kopiah. Orang yang bertugas melakukan pajaga di sebut “Pande pajaga

Adab-adab Pajaga sangat kental dengan nilai-nilai islam yang terlebur kedalam bentuk tradisi masyarakat Kahedupa secara turun temurun sejak masa lampau, bahkan sudah menjadi salah satu tradisi yang merupakan identitas masyarakat Kaledupa dalam peradaban modern.

Adapun adab-adab Pajaga adalah sbb :

1.        Mengetuk pintu dengan lembut

Cara pande pajaga  dalam mengetuk pintu saat meminta izin masuk ke dalam rumah adalah dengan lembut dan memperlihatkan kesopanan yang membuat tuan rumah ridho akan kedatangan kita. Hal ini juga memperlihatkan bahwa kita datang dengan niat kebaikan dan mengharapkan apa yang menjadi tujuan kita kerumahnya.

Ada satu hal lagi yang perlu kita perhatikan adalah batasan mengetuk pintu. Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita untuk mengetuk tidak lebih dari 3 kali, dan kembali pulang jika tidak ada jawaban. Seperti yang diriwayatkan dalam hadits berikut Dari Abu Musa Al-Asy’ary RA, dia berkata: Rasulullah bersabda, ‘Minta izin masuk rumah itu tiga kali, jika diizinkan untuk kamu (masuklah) dan jika tidak maka pulanglah'” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

2.        Mengucapkan salam dan meminta ijin

Sebelum masuk ke rumah orang, hendaklah pande pajaga   meminta izin terlebih dahulu kepada tuan rumah, walaupun pintu rumah itu terbuka, kita tetap tahu diri untuk tidak langsung masuk ke dalam tanpa dipersilahkan terlebih dahulu. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, “Dari Kildah bin Al-Hanbal, bahwa dia masuk ke rumah Rasulullah tanpa mengucap salam dan meminta izin, maka beliau SAW pun bersabda, Kembalilah, ucapkan Assalamu’alaikum, bolehkah saya masuk.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

3.        Tidak menghadap langsung ke pintu

Saat pande pajaga  meminta izin untuk masuk, hendaknya tidak langsung menghadap pintu rumahnya. Entah pintu tersebut terbuka atau tertutup. Hal ini bertujuan memberikan hak kepada pemilik rumah untuk mempersiapkan diri menyambut tamu. Hal ini juga sesuai dengan apa yang diteladankan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits yang berbunyi, “Adalah Rasulullah SAW jika mendatangi suatu pintu dan akan meminta izin, beliau tidak menghadap ke arah pintu. Akan tetapi beliau berada di sebelah kiri, atau kanannya. Jika diizinkan beliau baru masuk, jika tidak beliau pun kembali.” (HR Bukhari).

 

4.        Tidak melihat kedalam rumah

Saat di persilahkan masuk ke dalam rumah, hendaknya tetap di tempat kita dipersilakan duduk saja. Tidak perlu mata kita melihat-lihat ke dalam isi rumah, atau bahkan sampai kita masuk lebih dalam dan melihat-lihat isi rumah orang yang kita datangi. Melihat isi rumah juga tidak diperkenankan saat mengetuk pintu. Bahkan sang pemilik rumah diperbolehkan mencukil mata orang yang melongok ke dalam. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadis berikut, “Andaikan ada orang melihatmu di rumah tanpa izin, engkau melemparnya dengan batu kecil lalu kamu cungkil matanya, maka tidak ada dosa bagimu.” (HR. Bukhari Kitabul Isti’dzan).

 

5.        Duduk ditempat yang tersedia sebelum berbicara

Sebagai seorang tamu, sudah sepantasnya kita menjaga sopan santun kita, agar tidak membuat tuan rumah marah dan tidak berkenan atas kehadiran kita. Selain meminta izin, duduk juga harus diperhatikan dalam pajaga. Ketika sudah diizinkan masuk ke dalam rumah, maka hendaknya kita duduk atau menempati tempat yang telah disediakan dan dipersilakan oleh tuan rumah. Hal ini sesuai dengan hadits berikut, “Dari Mu’awiyah bin Hudaij, ia berkata, Saya pernah meminta izin menemui Umar RA, Orang-orang lalu berkata, Duduklah ditempatmu sampai ia keluar menemuimu! Maka aku duduk di dekat pintunya hingga beliau keluar menemuiku.” (HR Bukhari).

 

6.        Menjawab dengan jelas

Adakalanya saat melakukan pajaga, tuan rumah  mengajukan beberapa pertanyaan. Seperti menanyakan apa maksud kedatangan kita atau siapakah kita, atau saat kita ditanya mencari siapa, maka menjadi kewajiban bagi pande pajaga  menjawab semua pertanyaannya dengan jujur dan jelas. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, “Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, Aku meminta izin untuk bertemu Rasulullah SAW, lalu beliau bertanya dari dalam rumah, Siapa itu?. Aku menjawab, Saya! Beliau bersabda, Saya! Saya! Seolah beliau membenci hal tersebut” (HR Bukhari dan Muslim).

 

7.        Menunjukan raut wajah yang baik

Selama pajaga, kita harus perlihatkan akhlak sebagai seorang Muslim yang baik dan penuh kasih sayang. Hal ini bisa dilakukan dengan menunjukkan wajah yang baik, manis, dan penuh senyum. Hal ini seperti yang diteladankan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits, “Tidak pernah Rasulullah melihatku sejak aku masuk Islam, kata Jarir bin Abdillah. Kecuali beliau pasti tersenyum kepadaku. Rasulullah juga sering bersabda, ‘Akan masuk dari pintu ini seorang laki-laki beruntung terbaik, dan di wajahnya tersirat keindahan’ maka kemudian masuklah Jarir.” (HR Bukhari).

 

8.        Meninggalkan kesan yang baik

Hendaknya pande pajaga  meninggalkan kesan baik kepada tuan rumah. Sehingga saat pulang, tuan Rumah berdoa untuk kebaikan dan mengharapkan kedatangan kembali. Kesan baik bisa di tinggalkan dengan melakukan hal-hal yang baik. Mulai dari mengetuk pintu, duduk, tutur kata sampai salam perpisahan yang baik pula.



                                           Tata cara Pajaga

 Bersambung……..

Minggu, 14 Juni 2020

Mesjid Agung Bente dan Makna Implisitnya

 
Oleh : Ahmad Daulani

Salah satu bukti penyebaran islam di Kahedupa (Kaledupa) adalah mesjid Agung Bente. Mesjid Agung Bente dibangun pada zaman Kerajaan Kahedupa yang sekarang terletak dalam salah satu benteng tua yang merupakan wilayah administrasi Limbo Ollo (Desa Ollo Selatan) kecamatan Kaledupa kabupaten Wakatobi sekarang. Mesjid tersebut dibangun karena semakin banyak masyarakat kahedupa yang memeluk agama islam saat itu sehingga langgar yang dibangun di Fungka Masigi yang digunakan sebagai tempat musyawarah dan beribadah tidak lagi mampu menampung masyarakat sekitar. Sehingga Raja Kahedupa dan sara agama bersepakat haruslah dibangun sebuah masjid untuk menjadi pusat penyebaran dan kajian ajaran islam.

Raja Kahedupa memerintahkan kepada Mansuana Hato Tompa (tokoh agama empat penjuru) untuk mencari lokasi pembangunan mesjid. Mansuana Hato Tompa kemudian melakukan perjalanan untuk mencari lokasi dari fungka masigi kearah siofa (barat) melewati Kollo Onitu – Sampalu Melangka – Fabheka Bahhili – Fabheka To’oge – Kaangi-angi – Bente. Kemudian disana mansuana hato tompa bersepakat bahwa di Bente merupakan lokasi yang cocok untuk pembangunan mesjid yang baru. Dengan lokasinya yang merupakan bukit tinggi dan langsung berhadapan dengan laut menjadi lokasi yang sangat strategis kala itu.

Sudah tidak ada yang tau pasti tentang tahun pembangunan mesjid namun terdapat batu berbentuk kura-kura tepat dipusat masjid sebelum bagian pinggir batu tertutup oleh lantai keramik saat direhab. Lambang kura-kura inilah yang diyakini oleh masyarakat Kahedupa yang merupakan satu-satunya lambang penahunan masa itu. Dari baru berlambang kura-kura tersebut ditemukanlah bahwa Mesjid Agung Bente dibangun sekitar tahun 1401 M. 1 pertama diambil dari jumlah batu berlambang kura-kura, kemudian 4 diambil dari 2 sirip depan dan 2 sirip belakang, 0 diambil dari punggung, 1 terakhir diambil dari garis vertikal kepala sampai ekor.

Bangunan mesjid Agung Bente berbentuk empat persegi seperti bentuk mesjid pada umumnya, Mesjid Agung Bente dibangun dengan fondasi yang agak tinggi untuk memperkuat dari goncangan, bahan bangunan dari batu karan, kapur dan telur. Bagian – bagian mesjid yang dibangun terdapat tuko belai’a berbentuk empat persegi dari kayu toha (kayu besi) yang berdiri diatas kepala manusia dengan pakaian adat masyarakat kahedupa( namun cerita tentang kepala manusia tersebut menjadi mitos dikarenakan tidak ada lagi sumber yang mampu menjelaskan secara detail), tangga, pintu jendela, tiang penyangga pembantu,goje-goje (bale-bale), Bosu (guci), beduk, tangga dalam, mimbar, mihrab dan kubah mesjid. Mesjid Agung Bente dibangun dengan hakekat kepercayaan dan budaya masyarakat lokal sehingga mesjid ini dianggap sakral oleh masyarakat setempat.

Keseluruhan bangunan mesjid berbentuk empat persegi dan mencakup tangga utama yang terdiri dari 7 anak tangga yang terdapat disisi kanan dan kirinya masing-masing satu buah Bhadili (meriam), diteras masjid terdapat depan sisi timur dan barat (umbosa-siofa) terdapat dua buah goje-goje (bale-bale) dan dua buah bhosu (guci), tuko kaba sebanyak 25 tiang, tuko belai’a tuko hu’u sebanyak 4 tiang yang berbentuk segi empat, hanya terdapat 1 buah pintu utama yang berdaun dua pada bagian timur (umbosa) 16 buah jendela yang terletak pada empat penjuru (hato tompa) yaitu : 4 buah njendela pada bagian timur, 4 jendela pada bagian barat, 4 jendela pada bagian selatan, 4 jendela pada bagian utara. Semua terbuat dari kau Toha (kayu besi). Didalam mesjid terdapat tangga dua tinggakt dan dibawah tangga tersebut terdapat 1 buah Ghanda (bedug) panjang 99 cm, mihrab yang sejajar dengan pintu utama yang tertutup kain putih, disisi kanan pintu masuk mihrab terdapat 1 buah mimbar yang tertutup kain putih.

Adapun makna implisit yang terkandung didalamnya adalah sbb :

Penempatan dua buah bhadili (meriam) disisi depan kanan dan kiri tangga utama merupakan pelanksanaan konsensus pemerintahan Kesultanan “Yinda-yindamo sara somanomo agama” biar hancur pemerintahan asal agama terselamatkan. Penempatan meriam tepat ditangga masuk merupakan simbol semangat perjuangan masyarakat Kahedupa dalam membela agama diatas kepentingan pemerintahan.

7 anak tangga utama mesjid melambangkan 7 lapis hakekat penciptaan.

Terdapat 2 buah bhosu (Guci) yang terletak disisi kanan dan kiri yang berisi air digunakan untuk berwudhu. 2 buah bhosu melambangkan dua buah payudara seorang ibu sebagai sumber kehidupan manusia.

Dua buah goje-goje ( bale-bale) yang digunakan sebagai berdizikir para sara yang melambangkan kasih sayang kedua orang tua

Eleppo kabaya (pintu dua daun) terbuat dari kau toha (kayu besi). Mesjid Agung Bente hanya terdapat 1 pintu masuk yang melambangkan bahwa pintu masuk islam hanyalah satu pintu yaitu bersyahadat. Dua daun pintu melambangkan dua kalimat syahadat

25 tuko kaba (saka rawa) yang berfungsi sebagai tiang penyangga pembantu yang melambangkan 25 jumlah nabi dan rasul diutusan Allah dalam menyampaikan Tauhid

4 Tuko Belai’a (saka guru) yang berfungsi sebagai tiang penyangga utama melambangkan 4 sahabat utama Rasulullah SAW yang mendukung penuh dakwah Nabi

15 tiang (galaga) yang menghubungkan tuko kaba dan tuko belai’a yang dipasang horizontal dan 9 tiang untuk membentuk Folita’a (reng). Sehingga semua kayu yang digunakan sebagai penghubung sebanyak 24 buah tiang ini berfungsi untuk merangkai dan memperkokoh bangunan mesjid yang melambangkan tulang rusuk manusia yang melindungi organ-organ penting pada manusia.

17 lubang jendela yang melambangkan 17 rakaat dalam shalat wardhu

Dua tingkat tangga dalam mesjid melambangkan dua macam jenis kelamin manusia

Ghanda (Bedug) sepanjang 99 cm yang diikat 3 lilitan dan memiliki 33 pasung untuk mengencangkannya. Panjang Ghanda melambangkan 99 asmaul husna, 3 lilitan melambangkan 3 jenis zikir yang disunnahkan setiap shalat dan 33 pasungnya melambangkan 33 jumlah yang harus dibaca dari setiap dzikir.

Mihrab yang ditutup oleh kain putih yang dibangun sejajar dengan pintu masuk yang secara bersamaan diartikan sebagai pintu masuk dan pintu keluar. Pintu utama melambangkan rahim dan mihrab yang ditutup kain putih diatasnya melambangkan liang lahat yang setiap memasukinya harus tertutup oleh kain putih.

Mimbar yang diletakkan didepan sisi kanan pintu masuk mihrab. Mimbar mesjid Agung Bente memiliki dua anak tangga untuk sampai ditempat duduk mimbar memiliki motif hias dibagian atas kemuncak mimbar bermotif sulur suluran berwarna hijau dengan dasar kuning polos. Pada bagian atas sisi kanan kiri mimbar terdapat tulisan Allah-Muhammad. Makan yang terkandung posisi diletakkannya mimbar memberi pesan bahwa Hukum Allah melalui risalah yang dibawa Rasulullah telah diamanhakan kepada umat manusia sebagai bekal memasuki pintu liang lahat. Dua anak tangga mimbar melambangkan hak dan bathil. Lafaz Allah SWT dan Muhammad SAW diatas sisi kanan dan kiri mimbar melambangkan jalan untuk membedakan hak dan bathil. Hiasan bermotif suluran suluran dikemuncak mimbar melambangkan seseorang yang tidak putus dari ajakan untuk menghambakan diri kepada Allah. Bendera berwarna hijau dan kuning polos yang dihiasi dengan motif benang bapintal melambangkan hijau adalah warna kesukaan Rasulullah dan kuning polos dan lambang kekuatan dalam falsafah masyarakat Kahedupa, sedangkan benar bapintal pada bendera melambangkan persatuan yang bersimpuh dalam kekuatan manusia sesuai tuntunan nabi. Kain putih penutup mimbar melambangkan sorban penutup kepala tokok agama

Bagian kerangka atap terdapat tingkat satu dan dua. Pada bagian tingkat satu tolofufu (usuk/kepala) dipasang seperti bentuk tumpang dengan teknik pemasangan seperti jeruji payung. Pada bagian kedua dipasangkan folita’a (reng) berbentuk empat persegi dan menaungi seluruh atap mesjid. Tingkat pertama (tolofufu) melambangkan keberadaan Allah yang tinggi yang melindungi Folita’a dengan bentuk jeruji payung untuk menaungi seluruh manusia dibawahnya.

Letak penting mesjid ini berkaitan dengan peristiwa - peristiwa penting yang pernah terjadi di Kerajaan Kahedupa. Seperti berkaitannya dengan pemerintahan sebelum bergabung dengan Buton. Mesjid Agung Bente sebagai pusat penyebaran islam dan pusat kajian islam kerajaan Kahedupa kemudian menjadi pusat penyebaran dan pusat kajian islam untuk seluruh wilayah Bharata Kahedupa setelah bergabung dengan Buton.

Setelah Kerajaan Kahedupa bergabung dengan Kesultanan Buton maka status kerajaan berubah menjadi kesultanan. Saripati Baluwu yang merupakan utusan kesultanan Buton datang ke Kaledupa untuk merintis pembetukan Bharata Kahedupa dengan penugasan La Kasawari yang merupakan raja ke 11 (Sebelas) kerajaan Kahedupa sebagai Miantu’u pertama Bharata Kahedupa. Pada masa pemerintahan La Kasawari sebagai Miantu’u Bharata Kahedupa (1635-1673 M) melakukan renovasi pertama pada mesjid. Asal bahan renovasi pembangunan mesjid adalah hasil swadaya masyarakat Kahedupa, Wanci, Tomia, Binongko yang merupakan kadie-kadie (daerah) yang berada dibawah wilayah pemerintahan Bharata Kahedupa, karena Mesjid Agung Bente sudah menjadi mesjid Agung Bharata Kahedupa.

Bharata Kahedupa yang merupakan salah satu dari empat bharata Kesultanan Buton. Bharata Kahedupa merupakan konfederasi dari 18 kadie (daerah) yang terdapat sialimbo dilaro (sembilan daerah didalam pulau Kaledupa) sialimbo diliku (sembilan daerah ada diluar Kaledupa). 9 kadie yang ada dipulau Kaledupa yaitu Langgee, Laulua, Ollo, Fatole, Tapaa, Horuo, Tombuluruha, Tampara, Patua. 4 kadie dipulau wanci yaitu Liya, Mandati, kadie Wanse, kadie Kapota. 2 kadie ditomia yaitu Tongano dan Waha. Dan 3 kadie di Binongko yaitu Palahidu, Popalia dan Wali.

Kahedupa dan Sejarah Terintegrasinya



Jejak kerajaan Kahedupa masa lampau masih menyisakan banyak misteri sampai sekarang. Kahedupa yang awalnya adalah wilayah Sara-Sara Fungka (kepemimpinan Komunal) yang mana masyarakatnya menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. 

Kehidupan masyarakat Kahedupa pada zaman itu mendiami perbukitan/gunung (Fungka). Kehidupan masyarakat Kahedupa masih dibawah kendali Tetua sara-sara fungka yang terbagi menjadi tiga wilayah kekuasaan yaitu wilayah fungka Pangilia, wilayah fungka Patua dan wilayah fungka Horuo. 

Serewaha adalah tetua wilayah fungka Pangilia, La Rahmani adalah tetua wilayah fungka Patua Bente dan Ta’ayomi adalah tetua wilayah fungka Horuo.

Dari ketiga tetua sara-sara fungka yang pertama kali masuk islam adalah La Rahamani. Sebab La Rahamanilah yang banyak berinteraksi dengan orang-orang dari luar Kahedupa karena pelabuhan sentral pulau Kahedupa saat itu berada di sampua Buranga yang notabene adalah wilayah fungka Patua. Banyak yang keluar masuk melalui sampu'a Buranga

Rombongan yang masuk pertama kali adalah rombongan pedagang dari Persia. Tetapi beberapa sumber menuturkan bahwa yang masuk itu bukanlah seorang pedagang biasa tetapi seorang pesyiar Islam yang bernama Muhammad Umar Muhadar. Kemudian belakangan diketahui adalah anak salah satu Ulama besar dari Persia bernama Muhammad Arif Billah Ma’arifatul Al Kurqi yang pernah masuk ke wilayah Samudra Pasai.

Muhammad Umar Muhadar adalah orang yang membawa dan menyebarkan islam pertama kali di pulau Kahedupa. Orang pertama yang ia Islamkan adalah tetua fungka Patua yang kemudian diberi nama Al Rahman, oleh orang Kahedupa dikenal dengan nama La Rahmani. 

Setelah La Rahamani memeluk Islam, ia memperkenalkan Muhammad Umar Muhadar kepada tetua sara-sara fungka yang lain, yang pada akhirnya juga mereka memeluk Islam setelah pertemuan mereka dengan Muhammad Umar Muhadar. Tetua fungka Pangilia bernama La Serewaha kemudian diberi nama As Sirullah dan tetua fungka Horuo bernama La Taayoni diberi nama At Ta'yun.

Keberadaan Muhammad Umar Muhadar banyak membawa perubahan terhadap perilaku dan keyakinan masyarakat sara-sara fungka.

Karena kekaguman La Rahmani atas kepiawaian ilmu Muhammad Umar Muhadar, sang tetua fungka Patua kemudian menikahkannya dengan putrinya yang bernama Wa Bae-Baengu atau putri Bahniy

Sejak saat itu Muhammad Umar Muhadar diangkat menjadi wakil La Rahamani sebagai tetua fungka Patua, sehingga Umar Muhadar sering menjadi perwakilannya dalam mengelola urusan pemerintahan.

Keberhasilan Umar Muhadar selama berada di pulau Kahedupa mendapatkan tempat khusus dihati para tetua sara-sara fungka. Kemudian La Rahamani mengusulkan agar para tetua sara-sara fungka bertemu untuk membahas wilayah mereka.

La Serewaha adalah orang yang bertanggung jawab untuk mencari lokasi yang akan dijadikan tempat pertemua para tetua. Dalam gua yang terletak di wilayahnya kemudian pertemuan para tetua itu di laksanakan. Hadir juga Umar Muhadar dalam pertemuan itu.

Dari hasil pertemuan para tetua sara-sara fungka memutuskan penyatuan seluruh wilayah sara-sara fungka dalam satu sistem pemerintahan Kerajaan Kahedupa. Setelah melalui proses musyawarah yang panjang para tetua mengambil sebuah keputusan yang dalam bahasa Kaledupa di istilahkan dengan “no pale’e mo na pogau atau “Pale’a nu Pogau” .

Keputusan tersebut menyatakan bahwa benteng Kerajaan Kahedupa akan dibangun diatas bukit dimana para tetua melakukan pertemuan. Bukit itu diberi nama bukit Pale’a (Fungka nu Pale’a) yang artinya bukit pengambilan keputusan, dan Muhammad Umar Muhadar ditunjuk sebagai raja pertama Kerajaan Kahedupa dengan gelar Muhammad Ndangi Tongka Allamu. Sejak saat itu rakyat Kahedupa mengenal Muhammad Umar Muhadar dengan nama Tongka Allamu.

Simbol kerajaan Kahedupa adalah Tombi Mosega atau bendera bercabang Tiga yang melambangkan penyatuan tiga wilayah utama sara-sara fungka.

Pada masa pemerintahannya, Tongka Allamu membangun Benteng Pale’a sebagai pertahanan dan pusat pemerintahan kerajaan Kahedupa. Benteng Pale'a dibangun tepat diatas gua yang dijadiakan sebagai tempat musyawarah para tetua sara-sara fungka. Pengerjaan benteng mulai dibangun secara gotong royong oleh masyarakat dari ketiga wilayah sara-sara fungka. Benteng Palea dibangun berbentuk persegi empat dengan luas sekitar 100x120 m2. Material benteng banyak diambil dari wilayah Pangilia dan Horuo. Selain itu didalam benteng Pale’a terdapat Bhantea (Balai), Kamali, Langgar, dan rumah berukuran 3x4 meter yang digunakan sebagai tempat Harua dan Podupaa (saat itu masyarakat kahedupa masih banyak menganut kepercayaan animisme dan dinamisme). 

Struktur bangunan benteng Pale’a dilengkapi dengan 4 lawa (gerbang) yaitu :
Lawa Naga merupakan gerbang utama benteng, lawa Montu, lawa Te'e dan lawa Sambalagi

Saat pelaksanaan penobatan (Sakaa) Tongka Allamu sebagai raja pertama Kahedupa dengan gelar Muhammad Ndangi Tongka Allamu, sang raja juga melaksanakan ritual islamisasi atau sunatan massal. Tapi tidak dilaksanakan secara frontal, sehingga orang yang mulanya berkeyakinan Animisme Dinamisme sampai saat ini masih banyak dijumpai dalam tradisi dan kebiasaan orang Kahedupa. Sunatan masal yang dilakukan oleh Tongka Allamu masih dilestarikan sampai saat ini di Kahedupa dalam tradisi Karia. 

Dalam penobatan tersebut Tongka Allamu sebagai raja pertama ia dibacakan sumpah dari para tetua sara-sara fungka yang termuat dalam hikayat Kahedupa sbb :
 
Tadhemo la Tongka Allamu
Te tombi no bhelo-bhelomo
Te tombi no bhelo-bhelomo
Di lawa naga numpalea
Di lawa naga numpalea

Di kerajaan nung kahedupa
Kaiso di fungka nupatua bente napamokoto’a nu adati
Dikerajaan Kahedupa nanokedhe na sara hu’u

Nako nontoromo na adati
Kusamaa Langkahedupa
Kahedupa gau satoto
Bhara kene ninsoso nnako

Untuk menjaga dan memperkuat wilayahnya, kerajaan Kahedupa membangun benteng – benteng pertahanan yang tersebar diseluruh wilayah-wilayah yang rawan diserang musuh. Adapun hubungan benteng Pale’a di pulau Kaledupa dengan benteng benteng lain yang ada di Kaledupa, yakni sebagai sentral informasi dan komunikasi dalam proses pertahanan sehingga dapat menjalin kerja sama dengan benteng yang lain. Sepanjang peradabannya Kahedupa membangun benteng sebanyak 15 benteng yang tersebar didalam dan bagian terluar pulau Kahedupa. 

Kahedupa dalam eksistensinya sebagai kerajaan pernah dipimpin oleh 10 raja diantaranya adalah :

1.   Muhammad Ndangi Tongka Allamu (1260-1310M)
2.   Muhammad Syamsa Allamu (1310-1362M)
3.   Muhammad Kapala Fari Allamu (1362-1391M)
4.   Muhammad Baengu (1391-1437M)
5.   Imamu Fadha (1437-1490M)
6.   La Olepe (1490-1525M)
7.   La Mbongi (1525-1541M)
8.   La Yofi-Yofi (1541-1577M)
9.   La Kongki (1577-1607M)
10. La Molingi (1607-1635M)

Setelah dimasa pemerintahan raja La Molingi sebagai raja ke 10 kerajaan Kahedupa sekitar tahun (1607-1635M), kerajaan Kahedupa mulai banyak berhubungan dengan kesultanan Buton khususnya dalam hubungan pernikahan. Walaupun pernikahan antara orang Kahedupa dan Buton sudah pernah terjadi jauh sebelum itu, namun yang banyak pada zaman La Molingi.

Pernikahan antara bangsawan Kahedupa dan bangsawan dari Buton mulai banyak terjalin diantaranya pernikahan La Ode Benggali dengan anak Raja La Molingi, La Ode Benggali adalah anak dari Mosabuna Yi Lelamu (La Ode Asifadi) di Kahedupa dikenal dengan nama Kasafari bersaudara dengan Sapati Baluuwu, Mosabuna Kumbewaha, dan Mia Dhao (La Ode Batini) yang keempatnya adalah anak dari Laki Mancuana Kumbewaha. Mia Dhao juga menikah di Kahedupa dengan anak Mansuana Tapa'a. Sedangkan anak kedua dari Kasafari yang bernama La Ode Buke menikah dengan anak Waopu Patua Mansuana, dan masih banyak lagi.

Pasca kematian La Molingi raja ke 10 kerajaan Kahedupa, membawa kerajaan kahedupa pada konflik tahta. La Ode Benggali yang harusnya memiliki hak sebagai penerus tahta karena ia merupakan anak mantu dari sang raja namun ia tidak menerima tahta tersebut malah menyerahkan kepada Kasafari yang notabene tidak memiliki hak sama sekali. Sehingga penunjukan Kasafari sebagai raja Kahedupa ke 11 mendapat penolakan dari banyak rakyat Kahedupa, terutama dari raja Horuo yang merupakan salah satu pilar utama kerajaan Kahedupa.

Penolakan raja Horuo kepada Kasafari, menimbulkan perlawanannya terhadap keputusan kerajaan Kahedupa, perlawanan tersebut menyebabkan ia harus berhadapan dengan Sapati Baluuwu. Terjadi perang diantara raja Horuo dan Sapati Baluuwu yang notabene datang mendukung saudaranya. Dalam perang itu raja Horuo ditaklukan oleh Sapati Baluuwu dengan bantuan beberapa Kapita Waloindi. Disanalah raja Horuo menyatakan somba waopu (kepada Sapati Baluuwu). Bukti penaklukan ini muncullah nama Sombano diwilayah penaklukan itu sebagai tempat sombaanu raja Horuo.

Kekalahan raja Horuo dari rombongan Sapati Baluwu maka tersingkirlah rintangan Kasafari menjadi raja Kahedupa menggantikan La Molingi.

Pada masa pemerintahan Kasafari sebagai raja ke 11 kerajaan Kahedupa, Saripati Baaluwu datang ke Kahedupa sebagai utusan Sultan Buton untuk merintis pembentukan Bharata Kahedupa sebagai wilayah kesultanan Buton. Kasafari yang adalah saudara Sapati Baluwu dengan mendapat persetujuan dari pejabat-pejabat kerajaan Kahedupa kemudian menyetujui penyatuan tersebut dan menunjuk Kasafari (La Ode Asifadi) sebagai Raja/Lakina Bharata Kahedupa yang pertama pada tahun 1635-1673M. 

Kahedupa sebagai Bharata diwilayah Timur Buton diberikan keistimewaan yang termuat dalam falsafah ”Kahedupa tenirabu teandi-andi nu Wolio” (Kaledupa yang diperhitungkan adalah adik kandung Buton). Falsafah ini adalah semboyang untuk mempererat hubungan Kahedupa-Buton sekaligus sebagai tameng untuk meredam gejolak perlawanan dan penolakan orang Kahedupa. 

Bahwa kahedupa jika berada di Buton posisinya sebagai Bharata Kahedupa di bawah kesultanan Buton dan jika dalam wilayahnya sendiri maka Kahedupa menjadi dirinya sendiri dalam artian memiliki wewenang atau otonomi khusus untuk mengkoordinir wilayahnya. 

Ditahun pertama kepemimpinannya, Kasafari (1635 – 1673 M) sebagai Lakina Bharata Kahedupa memerintahkan pembangunan benteng Togo (Benteng Ollo). Pembangunan benteng Togo ini dibawah pengawasan Laode Battini atas perintah Kasafari. Pembangunan benteng Togo ini bertujuan untuk meningkatkan pertahanan kekuatan diwilayah Siofa.

Selain itu benteng Togo juga rencananya akan digunakan sebagai pusat sitem pemerintahan yang baru. Di kemudian hari di ketahui bahwa pembangunan benteng Togo ini ternyata  memiliki maksud tersembunyi yaitu agar memudahkan peralihan pusat sistem pemerintahan yang tadinya di benteng Pale’a kemudian di pindahkan ke benteng Togo. Peralihan pusat sistem pemerintahan dan pertahanan ini tidak luput dari campur tangan dan dominasi pihak Kesultanan Buton. Sebab dari peralihan ini oleh masayarakat setempat dikenal dengan  istilah “no mosilo na folio” maksudnya Kesultanan Buton merasa perlu merubah tatanan sistem pemerintahan di Kahedupa sebab jika sistem pemerintahan masih berkedudukan di benteng Pale’a,  struktur dan sistem pemerintahan yang berlaku  masih menggunakan fungsi penuh dari Kerajaan Kahedupa karena keistimewaan yang di berikan oleh Kesultanan Buton. Peralihan penuh sistem pemerintahan dan pertahanan secara paripurna dari benteng Pale’a ke benteng Togo terjadi pada masa pemerintahan Sangia Jalima (1702 – 1727 M). 

Akibat pemindahan dari Pale'a Ke Togo (Benteng Ollo) tatanan kehidupan Kahedupa banyak kehilangan jati dirinya sebagai Kerajaan. Tetapi Kahedupa dikenal karena kesetiaannya kepada Buton sehingga banyak komando pasukan pertahanan Buton berasal dari Kahedupa.

Karena pengaruh Kesultanan Buton sudah sangat kental di Kahedupa, maka konstruksi benteng Togo sedikit berbeda dengan benteng Pale’a. terutama pada jumlah lawa (gerbang) dan bentuknya. Dibenteng Togo dibangun sembilan lawa untuk menghubungkan keseluruh wilayah-wilayah pemukiman masyarakat yang sudah mulai menyebar.

Kerajaan Kahedupa dalam peralihannya sebagai Bharata Kahedupa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem strategi pertahanan kesultanan buton Hal  ini dapat di lihat dari  masuknya sistem strategi pertahanan kesultanan buton dalam bagian sistem pertahanan Bharata yakni sebuah konsepsi strategi pemerintahan pada masa pemerintahan Sultan Qaimoeddin Khalifatul Khamiz (Murhum, 1538-1587M) yang dikenal dengan istilah “Empat Penjuru Berlapis”.

Wilayah Bharata adalah wilayah yang diperintah secara tidak langsung oleh Sultan Buton karena Bharata sesungguhnya merupakan kerajaan-kerajaan kecil. Jadi pertahanan Bharata Kahedupa memiliki kekuasaan otonomi penuh untuk bertindak langsung apabila ada musuh yang mengganggu integritas wilayah Kesultanan Buton serta bertanggung jawab atas keamanan diwilayah teritorialnya. Kesultanan Buton menerapkan sistem pemisahan kekuasaan sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Martabat Tujuh bahwa pembagian wilayah terdiri dari pemerintahan yang berada di ibukota Kesultanan, pemerintahan Bharata dan pemerintahan Kadie diberikan kebebasan untuk mengurus dan memimpin sepenuhnya diwilayahnya sendiri tanpa campur tangan pemerintahan diatasnya baik kesultanan maupun bharata. Begitu juga penentuan dan pembayaran pajak kadie-kadie dalam wilayah bharata langsung membayar sendiri ke kesultanan tanpa melalui bharata, hubungan kadie-kadie dalam wilayah bharata adalah koordinasi.

Dalam pembagian wilayah teritorial Bharata yang termuat dalam UU Martabat Tujuh, wilayah teritorial Bharata Kahedupa dari Morommaho sampai Batuata. Bharata Kahedupa yang merupakan salah satu dari empat bharata Kesultanan Buton terdiri dari 18 kadie (daerah) yang terdapat sialimbo dilaro (sembilan daerah didalam pulau Kaledupa) sialimbo diliku (sembilan daerah ada diluar Kaledupa). 9 kadie yang ada dipulau Kaledupa yaitu Langgee, Laulua, Ollo, Fatole, Tapaa, Kifolu, Tombuluruha, Tampara,  Lefuto. 4 kadie dipulau wanci yaitu Liya, Mandati, kadie Wanse, kadie Kapota. 2 kadie ditomia yaitu Tongano dan Timu. Dan 3 kadie di Binongko yaitu Palahidu, Popalia dan Wali. Seluruh kadie atau limbo yang berada dibawah wilayah teritorial bharata mempimpin dirinya sendiri secara penuh dan tidak bertanggung jawab kepada Lakina Bharata tapi langsung kepada Sultan. Terdapat 1 kadie yang dipimpin Lakina dari kalangan Kaomu yang diberi gelar keistimewaan oleh kesultanan Buton sebagai Bobato Mancuana Haya yaitu Kadie Liya dipulau wanci.

Kahedupa dalam eksistensinya sebagai bharata pernah dipimpin oleh 22 Lakina atau Miantu’u diantaranya adalah :
La Ode Asifadi  gelar Kasafari (1635 – 1673 M)
La Ode Benggali  gelar Yi Indolu Palea (1673 – 1702 M)
Laode Mane Umbe  gelar Sangia Jalima (1702 – 1727 M)
La Ode Idiri  gelar Galampa Melangka (1727 – 1744 M)
La Ode Buke  gelar Sangia Wande-Wande (1744 – 1764 M)
La Ode Siripua  gelar Sangia Geresa (1764 – 1799 M) 
La Ode Kamara  gelar Sangia Fengka Fabeka (1799 – 1784 M)
La Ode Yifi  gelar Sangia Fatu Mohute (1799 – 1805 M)
La Ode Labunta  gelar Sangia Tapa’a Bente (1805 – 1816 M)
La Ode Idirisi  gelar Sangia Kamali Bente (1816 – 1834 M)
La Ode Adam Salihi  gelar Moori Tuminggala (1834 – 1844 M)
La Ode Rabba  gelar Waopu Kamali Masae (1844 – 1864 M)
La Ode Muhammadi Lawa  gelar Waopu Kamali Asana (1864 – 1881 M)
La Ode Uma  gelar Waopu Kamali Molengo Melaiy (1881 – 1891 M)
La Ode Taode  gelar Waopu Kamali Mokimu (1891 – 1892 M)
La Ode Maddu  gelar Waopu Kamali Foou Melaiy (1892 – 1911 M)
La Ode Rafa   gelar Waopu Kamali Hanta (1911 – 1919 M)
La Ode Taibu   gelar Waopu Kamali Guu (1919 – 1929 M)
La Ode Raa   gelar Asal  Kamali Asana (1929 – 1931 M)
La Ode Amunu (Saudara Kandung Sultan ke 38) (1931 – 1940 M)
La Ode Hibali  (Dari Wolio/Komisaris) (1940 – 1942 M)
La Ode Maundu  gelar Yaro Kahedupa (1942 – 1958 M)

Dimasa pemerintahan Waopu Kamali Hanta sampai dengan Yaro Kahedupa, sistem pemerintahan mulai beralih kesistem pemerintahan distrik dimana intervensi Belanda mulai masuk kedalam sistem pemerintaham. Belanda masuk ke Kaledupa pada tahun 1909 M. Dalam pelaksanaan kontrol antar pulau di Bharata Kaledupa.

Meskipun jabatan kepala distrik dijabat rangkap oleh Lakina bharata Kahedupa tetapi struktur pemerintahan bharata mulai dilemahkan. Setelah selesai masa jabatan Yaro Kahedupa maka kepemimpinan kepala distrik tidak lagi mutlak turunan bangsawan karena struktur dan kewenangan Bharata sudah dihilangkan oleh Belanda. 

Kepala distrik Kaledupa yang pernah menjabat selama proses peralihan sistem kepemimpinan oleh pihak Belanda. Kepala distrik Kaledupa pertama adalah La Ukaasa tetapi masa pemerintahannya yang tidak lama karena di culik dan dibunuh oleh gerombolan yang masuk ke Kaledupa  sekitar tahun 1958 M. Dan kepala distrik Kaledupa setelahnya adalah Idhanu Hayunu yang masa pemerintahannya juga tidak lama karena daerah-daerah swapraja telah resmi dibubarkan salah satunya adalah distrik Kaledupa sebagai salah satu daerah swapraja Onderafdeking Buton-Laiwui berdasarkan undang-undang RI no. 29 tahun 1959 tentang pembentukan daerah tingkat II di Sulawesi dan di Wakatobi terbentuk 2 kecamatan yaitu kecamatan Wandupa dan kecamatan Tombino

Setelah kepemimpinan Idhanu Hayunu, Wilayah territorial Bharata Kahedupa yang meliputi gugusan pulau wakatobi terbagi menjadi 2 kecamatan yaitu kecamatan WANDUPA (Wanci Kaledupa) dengan Buranga sebagai ibukotanya (sekarang telah menjadai kelurahan Buranga Kecamatan Kaledupa), dan kecamatan TOMBINO (Tomia Binongko) yang beribukota di Onemai Tomia. 

Adapun unsur-unsur pimpinan kecamatan Wandupa sbb : 
1. Camat Wandupa pertama yakni PELDA ABDUL RAHIM
2. Wakil camat Wandupa adl Moi Syarifuddun
3. Dan Ramil Wandupa adl La Maga
4. Kapolsek Wandupa adl La Dhonga
5. Kepala Kantor Urusan Agama adl La Ode Siebe

Camat ke 2 Wandupa adalah La Ode Usman dan Wakilnya adalah La Ode Bosa. Pada masa pemerintahan mereka Wanci mekar dari Wandupa menjadi kecamatan Wangi-wangi dengan camat pertamanya adl La Ode Bosa. Sedangkan kecamatan Kaledupa pernah dipimpin oleh 18 camat. La Dhonga sebagai camat pertama kecamatan Kaledupa.

Kaledupa sepanjang sejarah peradabannya dengan berbagai latar belakang sistem pemerintahannya sejak zaman Sara-Sara Fungka - kerajaan Kahedupa - Bharata Kahedupa - Distrik Kaledupa - kecamatan Wandupa - kecamatan Kaledupa pernah terjadi pergantian kepemimpinan sebanyak 55 kali kepemimpinan.
 
---------oleh : Ahmad Daulani



Tarekat Qadiriyah : Ajaran & Nasehat Kuno yang Sirna dari Bumi Kahedupa

  oleh : Ahmad Daulani Di antara kehidupan modern dan budaya barat yang merajalela, ada kelip cahaya di Kahedupa yang   merawat ayat-ayat ...