Langsung ke konten utama

Postingan

Menjejak Kadie Liya dari Bharata Kahedupa

Pada abad ke 16 Masehi ketika eksistensi kesultanan Buton melebarkan sayap wilayahnya mencakup Pata Bharata (empat bharata), Pitupulu Rua kadie yii sambali (tujuh puluh dua kadie) yang membentang diseluruh daratan Buton dan kepulauan disekitarnya Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi) adalah salah satu wilayah kesultanan Buton yang terletak dalam teritorial keamanan bharata Kahedupa yang terdiri dari 8 Kadie, 2 Bobato, 7 Limbo dan 1 Kafati menjadi wilayah luar sebelah Timur. Pada masa itu bharata Kahedupa merupakan jalur utama pelayaran Buton ke kerajaan Ternate, Maluku dan kerajaan-kerajaan di bagian Timur Nusantara. Dengan letak georafisnya yang sangat strategis menjadikan bharata Kahedupa sebagai sentral jalur rempah-rempah pada periode tertentu.  Walaupun kadie Liya masuk dalam wilayah teritorial keamanan bharata Kahedupa tetapi secara administrasi pemerintahan Kadie Liya merupakan satu dari 72 kadie Sara Wolio.  Lakina Liya jika memasuki Kahedupa secara resmi berhubungan dengan Laolua d

TAMBURU

sumber foto : istimewa Bharata merupakan wilayah kesultanan Buton yang mulanya adalah kerajaan-kerajaan kecil yang berdiri sendiri. Negeri bharata diberi hak otonom yang luas sehingga bharata dapat mengatur dan melaksanakan pemerintahan dan membentuk  peraturan pemerintahannya sendiri, selama itu tidak  bertentangan dengan syara kesultanan Buton dan Undang-Undang Martabat Tujuh. Empat  wilayah bharata terdiri dari bharata Kahedupa, bharata Muna,  bharata Kulisusu dan bharata Tiworo. Dimana struktur  pemerintahannya terdapat jabatan yang gelarnya dan kedudukannya seperti dalam syara Wolio, namun susunan jabatan tersebut  tidaklah lengkap seperti dalam Syara Wolio jika terpisah-pisah. Kecuali jika di  gabungkan sara dari ke empat bharata tersebut barulah jabatan lengkap seperti pada Syara  Wolio. Bharata dipimpin oleh seorang raja (Lakina) yang diangkat dari bharata itu sendiri yang berkedudukan dan diperlakukan setingkat  dengan Sultan. Selain melaksanakan pemerintahan secara otonom, bh

Menjejak Kampung Tenun di Kaledupa Kab. Wakatobi

Jika mendengar nama Wakatobi, pertama kali yang terlintas dalam benak kita adalah wisata bahari yang luar biasa dengan suguhan pemandangan bawah lautnya. Gugusan pulau yang berada tepat diatas jantung segitiga karang dunia yang memiliki 75 % jenis karang yang ada di dunia dengan ribuan jenis spesis ikan menambah kesempurnaan pemandangan bawah laut Wakatobi, tidak heran wisatawan lokal maupun mancanegara menyebutnya surga nyata dibawah laut.  Dalam buku Kaledupa dalam Lintasan Sejarah, nama kabupaten Wakatobi merupakan akronim dari Empat pulau-pulau besar yang berpenghuni yaitu Wanci (Wangi-Wangi), Kaledupa, Tomia dan Binongko. Nama Wakatobi pertama kali di cetuskan sebagai kode rahasia oleh pasukan MOMBRIG  yang datang ke wilayah itu untuk memberantas gerombolan DI/TII.  Pada masa Hindia-Belanda Wakatobi dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi (Tuluka Bessi) yang setiap pulau berstatus sebagai distrik yaitu distrik Wanci, distrik Kaledupa, distrik Tomia dan distrik Binongko.  Jika me

La Ode Djapu Yarona Lakina Sabanjara Barata Kahedupa Terakhir

Beberapa hari lalu saya membuka-buka album tua yang tersusun apik dalam lemari, setelah membuka beberapa album sayapun menemukan 3 lembar foto. Seseorang yang ada dalam ke 3 foto tersebut adalah orang yang sama, namun  dengan raut wajah yang berbeda-beda menggambarkan bahwa ketiga foto ini diambil pada tahun yang tidak bersamaan. Sosok yang ada dalam foto itu adalah La Ode Djapu kakek buyut saya. Tersentak pikiran saya akan kenangan semasa ia hidup. Yang masih terekam dalam memori kolektif anak cucu dan cicitnya adalah didikannya yang keras ala militer.  La Ode Djapu akrab disapa dengan nama La Ata Biru. Ia menjabat sebagai Miantu’u Sabanjara Barata Kahedupa terakhir semasa pemerintahan Lakina Kahedupa La Ode Maundu (Yaro Kahedupa). Saat itu Barata Kahedupa masih berdiri sebagai sistem pemerintahan walaupun intervensi pemerintahan Belanda mulai masuk dalam tatanan pemerintahan Kesultanan Buton tidak terlepas di Barata Kahedupa.  Sabanjara adalah salah satu jabatan dalam Sara Barata yan

Kaledupa Riwayatmu Kini

Kaledupa pernah berada pada masa keemasan dimana kahedupa atau kaledupa menjadi daerah percontohan bagi daerah-daerah setingkat kecamatan di seluruh indonesia dalam penyelenggaraan pembangunan dan perbaikan daerah. saat itu pada tahun 1960 yang bertepatan dengan ulang tahun RI yang ke 15. Kaledupa di anugrahi penghargaan oleh presiden Ir. Soekarno melalui menteri Dalam Negeri dan Otonomi daerah dalam bentuk sebuah piagam atas keberhasilannya dalam membangun daerahnya. Progres pembangunan di Kaledupa dilakukan secara berkala oleh beberapa kepala pemerintahan dalam beberapa bentuk sistem pemerintahan. Pada masa pemerintahan Yaro Kahedupa, Kaledupa masih berstatus sbg sentral pemerintahan salah satu Barata Kesultanan Buton. Selanjutnya pada Masa pemerintahan La Ukaasa dan idhanu Hayunu Kaledupa masih berstatus sebagai distrik Kaledupa (pemerintahan Hindia Belanda). Dan pada masa pemerintahan La Rahi sebagai Camat Kaledupa menjadi ibukota kecamatan Wandupa (Wanci - Kaledupa) tepatnya di Bu

Syiar Islam Imamu Fadha di Kahedupa

sumber foto : istimewa Syair Islam yang dibawa oleh para pedagang maupun yang berdiaspora dengan latar belakang yag beragam berkembang dengan pesat diwilayah kerajaan-kerajaan yang penyebarannya menyeluruh kehampir pelosok negeri. Pada awal abad ke 14 Masehi kerajaan Kahedupa dibawah kepemimpinan raja Muhammad Baengu yang merupakan raja ke – 4 kerajaan Kahedupa, sampailah rombongan para saudagar muslim ke kerajaan Kahedupa. Salah seorang diantara mereka bernama Syech Ahmad bin Qais Al Idrus dari Kerajaan Pattani  di Johor yang masuk melalui Padang,  Sumatra Barat. Kedatangan Syech Ahmad ke Kahedupa bukanlah semata-mata urusan perdagangan tetapi ia datang dengan misi khusus penyebaran agama Islam. Syech Ahmad bin Qais Al Idrus bukanlah penyiar Islam yang pertama sampai di kerajaan kahedupa, sebab saat ia sampai ketanah Kahedupa pengaruh Islam sudah ada di wilayah itu dan terdapat nilai – nilai ajaran Islam yang berdialektika dengan kebudayaan lokal. Namun pengaruh Islam belumlah merata

Kaomu dan Walaka (Sebenarnya kasta milik siapa ?)

Dalam tulisan saya kali ini untuk merefleksi tulisan tangan-tangan jahil yang beredar dimedsos. Dalam tulisan tersebut salah satunya membahas tentang kasta Kaomu dan Walaka. Sepenggal saya copy paste tulisan yang menjadi objek kita sbb : "Pada masa Tongka Allamu di kenalkan Ragi yaitu Sarung Tenun berbeda warna dan motif sebagai identitas dari masing-masing rumpun keluarga berdasarkan kelas sosialnya antara Kaomu (Bangsawan), Walaka (yang di tokohkan),  dan Papara (masyarakat biasa)" red. Katanya pada masa pemerintahan Tongka Allamu kasta Kaomu dan Walaka sudah ada di Kerajaan Kaledupa yang ditandai dengan Ragi (motif) Furai (sarung). Berdasarkan manuskrip sejarah Kaledupa Tongka Allamu memerintah pada tahun 1260 - 1310 M. Ini berati bahwa menurut penulis ia mengklaim kasta Kaomu dan Walaka itu adalah milik Kerajaan Kaledupa, walaupun sebenarnya klaim ini tanpa didasari oleh bukti yang kuat. Strata sosial dalam kehidupan bermasyarakat sejak dahulu seakan menjadi sebuah kebutu