Rabu, 08 Desember 2021

TAMBURU

sumber foto : istimewa

Bharata merupakan wilayah kesultanan Buton yang mulanya adalah kerajaan-kerajaan kecil yang berdiri sendiri. Negeri bharata diberi hak otonom yang luas sehingga bharata dapat mengatur dan melaksanakan pemerintahan dan membentuk  peraturan pemerintahannya sendiri, selama itu tidak  bertentangan dengan syara kesultanan Buton dan Undang-Undang Martabat Tujuh.

Empat  wilayah bharata terdiri dari bharata Kahedupa, bharata Muna,  bharata Kulisusu dan bharata Tiworo. Dimana struktur  pemerintahannya terdapat jabatan yang gelarnya dan kedudukannya seperti dalam syara Wolio, namun susunan jabatan tersebut  tidaklah lengkap seperti dalam Syara Wolio jika terpisah-pisah. Kecuali jika di  gabungkan sara dari ke empat bharata tersebut barulah jabatan lengkap seperti pada Syara  Wolio.

Bharata dipimpin oleh seorang raja (Lakina) yang diangkat dari bharata itu sendiri yang berkedudukan dan diperlakukan setingkat  dengan Sultan.

Selain melaksanakan pemerintahan secara otonom, bharata juga memiliki beberapa keistimewaan diantaranya :

1. Memerintah dirinya sendiri

2. Diperlakukan sederajat sultan dalam wilayahnya kecuali disembah (Lakina Bharata tidak disembah seperti Sultan)

3. Memiliki pasukan pertahanan sendiri dalam menjaga keamanan wilayahnya. Wilayah teritorial keamnan bharata Kahedupa dari Morommaho sampai Batuatas yang meliputi seluruh kadie dan Limbo di kepuluan Tukang Besi

4. Dan lain-lain

Karena Lakina bharata yang diperlakuan setara dengan sultan maka Lakina bharata khusunya Bharata Kahedupa juga memiliki pasukan kehormatan seperti yang dimiliki oleh sultan. 

Pasukan kehormatan sultan disebut Tamburu Limanguna sedangkan pasukan kehormatan Lakina bharata disebut Tamburu Pataanguna.

Tamburu Limaanguna merupakan pasukan kehormatan sultan yang jumlah anggotanya sebanyak 7 orang dari golongan Walaka. Kelompok pasukan ini merupakan bentukan dari lima kelompok yaitu mentri Peropa, mentri Baluwu, mentri Gundu-Gundu, mentri Barangkatopa dan Mawasangka. Setiap kelompok memiliki anggotanya masing-masing yaitu 1 Lutunani (Letnan), 1 Alifarisi (Letnan Muda), 4 orang yang bergelar Syaraginti (Sersan) dan 1 yang bergelar Tamburu. Sehingga jumlah keseluruhan anggota pasukan Tamburu Limaanguna sebanyak 35 orang dan berada dibawah pengawasan Kapitalao atau kapitaraja.

Sedangkan pasukan Tamburu Pataanguna di bharata khususnya bharata Kahedupa merupakan pasukan kehormatan Lakina Kahedupa yang berjumlah 5 orang masing-masing 1 orang Lutunani, 1 orang Alfaresi, 2 orang Saragenti dan 1 orang bergelar Tamburu (penabuh gendang). Tamburu bharata merupakan bentukan dari empat kelompok yaitu Miantu'u Sulujaju, Bonto Ogena, Bonto Kiwolu dan Bonto Tapa'a, dengan membentuk 2 kelompok pasukan Tamburu Pataanguna yaitu Tamburu Umbosa dan Tamburu Siofa dengan jumlah keseluruhan sebanyak 10 orang dan berada dibawah pengawasan Miantu'u Sulujaju.

Tugas utama Tamburu adalah sebagai pasukan khusus Lakina Kahedupa yang akan mengawal Lakina Kahedupa baik dalam benteng maupun diluar benteng. Tamburu juga merupakan pasukan elit yang akan berada di garda paling depan dalam menghadapi musuh. 

Tamburu Pataanguna bharata Kahedupa memiliki bendera tersendiri yaitu bendera berwarna merah polos yang dibawa oleh Alfaresi dan akan dikibarkan dibelakang Tombi Pangga bendera perang Miantu'u Sulujaju jika dalam situasi perang perang. 

Selain itu Tamburu memiliki tugas yang lain yaitu memainkan tarian perang sebagai pengumuman resmi bahwa telah ditetapkannya 1 Ramadhan atau lebih dikenal dengan sebutan "Temba'a nu komba"

Penentuan Tembaa nu Komba akan dilakukan oleh sara fofine yaitu sara yang menangani urusan agama, terdiri dari Minatu'u Agama sebagai pimpinan tinggi, imamu Kahedupa, Khatibi, 7 orang moji, Laganda dan satu orang utusan sara Hu'u yaitu Bonto Paseba. 

Dalam pengamatan hilal maka 7 orang Moji akan menyebar ke beberapa titik pemantauan. Setelah mendapat laporan dari moji yang melihat hilal, maka sara fofine akan mengambil keputusan tentang penetapan awal puasa atau 1 Ramadhan yang ditandai dengan dibunyikannya bedug  mesjid oleh Laganda.

Setelah keputusan itu selesai ditetapkan, maka akan dilaksanakan prosesi Temba'a nu Komba, yaitu dengan membunyikan bhadili (bedil/meriam) di salah satu lawa di benteng bharata Kahedupa. 

Bunyi tembakan bhadili secara harfiah bermakna menembak bulan sebagai bentuk pengumuman agar seluruh rakyat tahu awal puasa, budaya ini lah sehingga rakyat Kahedupa menyebut 1 Ramadhan dengan sebutan Temba'a nu komba.

Bonto Paseba sebagai perwakilan sara Hu'u yang ijut proses Temba'a nu komba akan menyampaikan kepada Lakina Kahedupa hasil keputusan dari sara fofine, pada waktu yang bersamaan kemudian pasukan Tamburu akan memainkan tarian mbeli atau tarian perang di Kamali sebagai bentuk pengumuman resmi dari Lakina Kahedupa kepada seluruh rakyat Kahedupa bahwa puasa Ramadhan akan mulai dilaksanakan. 

Tembaa nu komba sama seperti pengumuman resmi pemerintah yang diumumkan ke seluruh rakyat untuk melaksanakan ibadah puasa. Prosesinya dimulai dari pemantauan hilal oleh sara fofine kemudian melaporkan kepada Raja atau Lakina Kahedupa.

Bedug dan Tamburu akan terus dimainkan setiap menjelang buka puasa, setelah bedug magrib berbunyi kemudian akan disambung oleh Tamburu. Hal yang sama juga dilakukan pada 1 Syawal.

Oleh : Ahmad Daulani

Selasa, 29 Juni 2021

Menjejak Kampung Tenun di Kaledupa Kab. Wakatobi

Jika mendengar nama Wakatobi, pertama kali yang terlintas dalam benak kita adalah wisata bahari yang luar biasa dengan suguhan pemandangan bawah lautnya. Gugusan pulau yang berada tepat diatas jantung segitiga karang dunia yang memiliki 75 % jenis karang yang ada di dunia dengan ribuan jenis spesis ikan menambah kesempurnaan pemandangan bawah laut Wakatobi, tidak heran wisatawan lokal maupun mancanegara menyebutnya surga nyata dibawah laut. 

Dalam buku Kaledupa dalam Lintasan Sejarah, nama kabupaten Wakatobi merupakan akronim dari Empat pulau-pulau besar yang berpenghuni yaitu Wanci (Wangi-Wangi), Kaledupa, Tomia dan Binongko. Nama Wakatobi pertama kali di cetuskan sebagai kode rahasia oleh pasukan MOMBRIG  yang datang ke wilayah itu untuk memberantas gerombolan DI/TII. 

Pada masa Hindia-Belanda Wakatobi dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi (Tuluka Bessi) yang setiap pulau berstatus sebagai distrik yaitu distrik Wanci, distrik Kaledupa, distrik Tomia dan distrik Binongko. 

Jika menilik lebih jauh lagi pada masa Kesultanan Buton, Wakatobi merupakan wilayah teritorial keamanan Bharata Kahedupa yang terdiri dari 18 wilayah yaitu 8 Kadie, 2 Bobato, 1 Kafati dan 7 Limbo. Dan pusat pemerintahan (Sara) bharata Kahedupa ada di pulau Kaledupa. 

Selain wisata baharinya yang menakjubkan, Wakatobi juga masih terdapat kampung tua di pulau Kaledupa yang masih melestarikan tenun tradisional dengan penghasil sarung tenun (Furai Horuo) motif Bhoke. Tenun tradisional masyarakat diajarkan secara turun temurun, pemerintah daerah Wakatobi menetapkan Desa Pajam sebagai pusat kerajinan tenun atau Weaving Handicraft Center yang menjadi salah satu kawasan Ecotourism andalan di Wakatobi.

Desa Pajam, merupakan gabungan dari kampung Pale'a dan kampung Jamarakka. Desa Pajam sekarang terletak di kec. Kaledupa Selatan kab. Wakatobi. Pajam merupakan salah satu dari 2 daerah di Wakatobi sebagai penghasil sarung tenun, kerajinan tangan dan cindera mata eksotik yang khas Kaledupa di Wakatobi.

Dahulu kala Pale'a dijadikan sebagai sentral pertahanan dan peradaban Kerajaan Kahedupa, posisi Pale'a yang berada di area perbukitan menjadikannya sangat strategis dijadikan sebagai pertahanan masyarakat Kahedupa pada masa lampau. Dalam kawasan ini terdapat Benteng kerajaan Kahedupa yang dikenal dengan benteng Pale'a yang sekarang merupakan salah satu obyek wisata paling sering dikunjungi oleh wisatawan ketika melancong ke Pulau Kaledupa.

Di dalam kawasan Benteng Palea inilah tenun khas kaledupa dihidupkan dan lestarikan secara turun temurun dengan motif khas kahedupa yaitu motif bhoke dengan perpaduan warna biru tua dan putih. Namun sekarang motif ini sudah banyak dimodifikasi dengan perpaduan warna-warna yang terang, karena bahan yang digunakan sudah menggunakan benang yang sudah jadi.

Berdasarkan sumber dari para penutur dan pelaku tenun tradisional, tahapan dilakukan secara manual pembuatan furai bhoke dengan bahan kapas adalah sebagai berikut : 

---- Hefatui = memisahkan biji dan kapas

---- Honossi = menghaluskan kapas dgn cara dipukul2

---- Lelu = menggulung 

---- Gili = menggiling kapas yang sudah jadi benang

---- Fante = merendam benang agar berwarna putih bersih

---- Boke = ikat bagian2 kapas yg akan di warnai motif

---- Sobu pake te Feafu (tee nu lolo) = proses memasak benang yg sudah diikat2 utk mewarnai motif yang diinginkan

---- Gantara /purunne = proses menggulung benang agar benang tidak kusut

---- Oluri = memintal 

---- Hesondea = mengawetkan benang yg sdh dpintal dgn menggunakan singkong halus yg didiamkan semalam agar benang tidak mudah putus saat di tenun

---- Homoru = menenun

---- Rotta = proses finishing dan menyambungkan kain yg sdh ditenun menjadi sarung

---- Kantadia = menjemur kain sarung yg telah dicuci dengan cara dikencang dikedua sisinya

Sedangkan jenis-jenis alat yang digunakan adalah sebagai berikut :

---- Lombo lombo = papan tebal yg dlubangi berfungsi sbg tiang utk memasang dopi homoru, berjumlah dua diletanggan sisi kanan dan kiri paling atas.

---- Dopi ttombo = papan yg digunakan utk menggulung benang yang sudah dipintal, kemudian dimasukkan diantara lombo-lombo

---- Sapo nu huhu/papattonga= bayu dengan lilitan benang sol yang berfungsi seperti jangka tapi diletakkan dibagian atas dekat lombo lombo

---- Reppe = kayu yg digubakan utk menindis benang agar rapi dan kencang saat di tenun, diletakkan diantara jangka dan papattonga

---- Jangka = alat untuk memisahkan benang helai demi helai

---- Tenda = kayu pemukul untuk mengencangkan benang

---- Guara = kayu utk menggulung benang 

---- Singkua = tempat guara

Te ati = tempat menggulung kain yg sdh ditenun

Salliku = pengencang ati saat di tenda

Dalam keseharian orang Kahedupa masa lampau, terutama para gadis di Desa Pajam harus menguasai keterampilan menenun ini sebelum mereka menikah, keterampilan tenun diwariskan secara turun-temurun. Konon, selain bertenun para gadis Kahedupa juga harus bisa sangka te katupa, katu te lapa dan sangka te soami'a untuk bekal mereka saat berkeluarga. Sedangkan para pemudanya harus bisa membuat gasa, anyam dinding jelaja, kidhe-kidhe dan sangka te rumbia.

Setelah selesai di Oluri, membutuhkan waktu paling cepat 7 hari untuk menyelesaikan satu sarung tenun. Dengan coraknya yang unik sarung tenun motif bhoke khas Kahedupa ini sudah tersebar di banyak dunia, dan di Indonesia belum lama ini ramai diperbincangkan setelah di perkenalkan oleh mentri pariwisata kepada pejabat negara lain. 

Sarung tenun motif bhoke dengan bahan kapas sekarang dijual kisaran harga 1 juta keatas tetapi susah tidak banyak lagi ditemukan bhoke berbahan kappa (kapas), sedangkan sarung tenun motif yang sama hasil modifikasi dengan berbahan benang kisaran harga 500 sampai 700 an rupiah.

Oleh : Ahmad Daulani

Jumat, 30 April 2021

La Ode Djapu Yarona Lakina Sabanjara Barata Kahedupa Terakhir


Beberapa hari lalu saya membuka-buka album tua yang tersusun apik dalam lemari, setelah membuka beberapa album sayapun menemukan 3 lembar foto. Seseorang yang ada dalam ke 3 foto tersebut adalah orang yang sama, namun  dengan raut wajah yang berbeda-beda menggambarkan bahwa ketiga foto ini diambil pada tahun yang tidak bersamaan. Sosok yang ada dalam foto itu adalah La Ode Djapu kakek buyut saya. Tersentak pikiran saya akan kenangan semasa ia hidup. Yang masih terekam dalam memori kolektif anak cucu dan cicitnya adalah didikannya yang keras ala militer. 

La Ode Djapu akrab disapa dengan nama La Ata Biru. Ia menjabat sebagai Miantu’u Sabanjara Barata Kahedupa terakhir semasa pemerintahan Lakina Kahedupa La Ode Maundu (Yaro Kahedupa). Saat itu Barata Kahedupa masih berdiri sebagai sistem pemerintahan walaupun intervensi pemerintahan Belanda mulai masuk dalam tatanan pemerintahan Kesultanan Buton tidak terlepas di Barata Kahedupa. 

Sabanjara adalah salah satu jabatan dalam Sara Barata yang hanya bisa dipimpin oleh bangsawan ber Trah Kaomu. Yang menduduki jabatan Sabanjara disebut Miantu’u Sabanjara. salah satu tugas dan kewenangan Miantu’u Sabanjara adalah menjaga dan mengawasi kedaulatan laut teritorial Barata Kahedupa. 

Dalam keikut sertaannya untuk bergabung dalam kesatuan bersenjata resmi atau kelaskaran yang diakui oleh pemerintahan RI dengan berperan secara aktif dalam peperangan membela dan mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada agresif Belanda kedua, mengantarkan La Ode Djapu masuk dalam barisan salah satu penerima Tanda Kehormatan Veteran Republik Indonesia.

La Ode Djapu adalah anak dari La Ode Kassimu dan Wa Ode Tua. Wa Ode Tua merupakan bangsawan bertrahkan Kumbewaha dari jalur La Ode Mpafa bin La Ode Ndolopu bin Mancuana Kaluku Bula bin La Ode Wiridi bin La Jampi Oputa Galampa Batu. Sedangkan dari jalur ayahnya La Ode Kassimu merupakan bangsawan Kaomu yang ber trah kan “Tanailandu” dari jalur bapaknya yang bernama La Ode Mane (Yarona Lakina Sulujaju) dari bapaknya La Ode Idirisi Maa Lakoci Lakina Burukene Mancuana dari bapaknya La Tangkaraja dari bapaknya Laelangi Oputa Mobholina Pauna.

La Ode Kassimu memiliki 4 orang istri, 2 di Kaledupa, 1 di Muna dan 1 di Salabangka (di Salabangka ia merubah namanya menjadi La Ode Mangarabu). Dari istri di Muna tidak memiliki anak, dari istri di Salabangka memiliki seorang anak perempuan (namanya saya lupa tapi sudah pernah ketemu cucunya), dari istri pertama di Kaledupa memiliki empat orang anak yaitu ; Wa Ode Rassia, La Ode Abudini, Wa Ode Abe dan Wa Ode Pole. Sedangkan dari istrinya Wa Ode Tua yaitu La Ode Djapu dan Wa Idha. 

La Ode Djapu memiliki istri 2 orang. Istri pertamanya adalah Wa Ode Maniija anak pertama dari La Ode Aidi dan Wa Aja. La Ode Aidi adalah anak dari La Ode Nggolopu. Dari pernikahan La Ode Djapu dengan Wa Ode Maniija, memiliki 11 orang anak yaitu : Ld Oda, Ld Musula, Ld Masalisi, Ld Kaimuddini, Wd Harusa, Ld Ampo, Ld Saharu, Wd Mutia, Ld Nunu, Ld Mbiu dan Ld Djumaiddin. Dan dari pernikahan La Ode Djapu dengan Wa Lohi memiliki 2 orang anak bernama Wd Mungki dan Wd Munaeni. Total anak La Ode Djapu 13 orang bersaudara dari 2 ibu. Dari anaknya Ld Kaimuddini lahirlah ayah saya La Alimaaji (Al Majid).

La Ode Djapu meninggal di Kaledupa dan dimakamkan di Tioma Patua, semoga belia dilapangkan kuburnya, diampuni segala dosanya dan diterima segala amal ibadahnya. 

Oleh : Ahmad Daulani

Jumat, 09 April 2021

Kaledupa Riwayatmu Kini

Kaledupa pernah berada pada masa keemasan dimana kahedupa atau kaledupa menjadi daerah percontohan bagi daerah-daerah setingkat kecamatan di seluruh indonesia dalam penyelenggaraan pembangunan dan perbaikan daerah. saat itu pada tahun 1960 yang bertepatan dengan ulang tahun RI yang ke 15. Kaledupa di anugrahi penghargaan oleh presiden Ir. Soekarno melalui menteri Dalam Negeri dan Otonomi daerah dalam bentuk sebuah piagam atas keberhasilannya dalam membangun daerahnya.

Progres pembangunan di Kaledupa dilakukan secara berkala oleh beberapa kepala pemerintahan dalam beberapa bentuk sistem pemerintahan. Pada masa pemerintahan Yaro Kahedupa, Kaledupa masih berstatus sbg sentral pemerintahan salah satu Barata Kesultanan Buton. Selanjutnya pada Masa pemerintahan La Ukaasa dan idhanu Hayunu Kaledupa masih berstatus sebagai distrik Kaledupa (pemerintahan Hindia Belanda). Dan pada masa pemerintahan La Rahi sebagai Camat Kaledupa menjadi ibukota kecamatan Wandupa (Wanci - Kaledupa) tepatnya di Buranga (Provinsi Sulsel-Tra).

Progres perumusan pembangunan itu juga dilakukan belakangan karena desa Ambeua baru terbentuk sebagai ibukota kecamatan yang sebelumnya di desa Buranga. Perumusan pemindahan ibukota kecamatan dilakukan sejak pemerintahan Yaro Kahedupa sebagai Lakina Barata Kahedupa yang juga merangkap sebagai kepala distrik Kaledupa, namun pemindahan itu resmi diberlakukan pada masa pemerintahan La Rahi.

Ibukota kecamatan yang sebelumnya di Buranga dalam perumusan pemindahannya ada 4 daerah sebagai alternatif yang akan dijadikan sebagai tempat ibukota baru yaitu Te'e Laganda, Kaninubu, Ambeua dan Sombano, yang pada akhirnya pilihan jatuh ke desa Ambeua karena beberapa alasan salah satunya adalah karena daerah tersebut banyak sumber mata air.

Setelah Ambeua resmi menjadi ibukota kecamatan perencanaan pembangunan dan tata kotanya digenjot dengan ekstra, salah satu tokoh yang mendesain tatakota ibukota kecamatan adalah La Rahimu (Saat itu menjabat sebagai Lurah Buranga sekaligus merangkap sbg kepala desa Ambeua). Dan kepala kontraktor pembangunan kantor kecataman, gedung aula dan kantor polsek yang baru adl pak Manto dari Toraja. Pembangunan kantor2 tsb diselesaikan pada masa pemerintahan La Ode Usman sbg Camat Wandupa ke 2 memggantikan La Rahi.

Walaupun usia desa Ambeua belum cukup 1 tahun menjadi ibukota kecamatan pada masa pemerintahan La Rahi tetapi penyelenggaraan pembangunan dan perbaikan daerah progresnya begitu signifikan yang dipusatkan di Ambeua sehingga melampaui banyak daerah-daerah setingkat kecamatan yang lain.

Pada masa ini juga migrasi penduduk Kaledupa dipindahkan agar bermukim di Ambeua. Pemindahan tersebut ada yang secara suka rela ada juga yang karena paksaan dari pemerintah setempat. Pada tahun 1960 pejabat muspika adalah sbb :
1. La Rahi sebagai Camat Wandupa
2. Mou Syarifuddin sebagai Wakil Camat Wandupa
3. La Maga sebagai Danramil Wandupa
4. La Donga sebagai Kapolsek Wandupa
5. La Ode Siebe sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Wandupa

-------oleh : Ahmad Daulani


Senin, 22 Februari 2021

Syiar Islam Imamu Fadha di Kahedupa

sumber foto : istimewa


Syair Islam yang dibawa oleh para pedagang maupun yang berdiaspora dengan latar belakang yag beragam berkembang dengan pesat diwilayah kerajaan-kerajaan yang penyebarannya menyeluruh kehampir pelosok negeri. Pada awal abad ke 14 Masehi kerajaan Kahedupa dibawah kepemimpinan raja Muhammad Baengu yang merupakan raja ke – 4 kerajaan Kahedupa, sampailah rombongan para saudagar muslim ke kerajaan Kahedupa. Salah seorang diantara mereka bernama Syech Ahmad bin Qais Al Idrus dari Kerajaan Pattani  di Johor yang masuk melalui Padang,  Sumatra Barat. Kedatangan Syech Ahmad ke Kahedupa bukanlah semata-mata urusan perdagangan tetapi ia datang dengan misi khusus penyebaran agama Islam.

Syech Ahmad bin Qais Al Idrus bukanlah penyiar Islam yang pertama sampai di kerajaan kahedupa, sebab saat ia sampai ketanah Kahedupa pengaruh Islam sudah ada di wilayah itu dan terdapat nilai – nilai ajaran Islam yang berdialektika dengan kebudayaan lokal. Namun pengaruh Islam belumlah merata diseluruh wilayah kerajaan Kahedupa.

Tetapi kedatangannya ke Kahedupa merupakan salah satu penyebab penyebaran Islam secara menyeluruh di tanah Kahedupa. Syech Ahmad bin Qais Al Idrus lebih dikenal dengan sebutan imamu fadha (dialeg lokal). Penyebutan Syech Ahmad dengan sebutan imamu fadha karena beberapa alasan. pertama, karena ia merupakan ulama yang datang dari negri Padang, Sumatra barat. Kedua, ada juga sumber yang mengatakan bahwa Syech Ahmad dipanggil dengan sebutan imamu fadha karena saat dalam perjalanan untuk syiar Islam ia terlihat melaksanakan shalat diatas padang ilalang di daerah Fabheka Bahili.

syech Ahmad tidak banyak mendapat kesulitan dalam berkomunikasi dan berdakwah Islam karena sejak sebelumnya masyarakat Kerajaan Kahedupa sudah sedikit mengenal tentang Islam. Keberadaan Syech Ahmad di Kahedupa mendapat perhatian khusus dari sang raja yang telah memeluk Islam secara turun temurun dari kakeknya.

Imamu Fadha menyiarkan agama Islam diseluruh wilayah kerajaan Kahedupa tetapi lebih banyak di daerah Langge, fungka Ppaha. Di fungka Ppaha terdapat tempat pemujaan  peninggalan Animisme – Dinamisme yang ditinggalkan. Kemudian tempat tersebut dirubah menjadi masjid oleh Imamu Fadha karena rakyat Kahedupa sudah tidak terlalu banyak lagi yang menganut kepercayaan itu. Masjid yang dibangun di fungka Ppaha itu merupakan transformasi dari tempat pemujaan sebelumnya dan diberi nama masigi Toppale. Sejak dijadikan sebagai masjid fungka Ppaha kemudian lebih dikenal dengan nama Fungka Masigi.

Karena syiar Islam yang begitu pesat dilakukan oleh Imamu Fadha kemudian ia diperintahkan oleh Raja Kahedupa untuk mencari lokasi pembangunan masjid baru yang akan digunakan sebagai tempat ibadah dan kajian Islam. Imamu Fadha kemudian melakukan perjalanan untuk mencari lokasi dari fungka masigi kearah siofa (barat) melewati Kollo Onitu – Sampalu Melangka – Fabheka Bahhili – Fabheka To’oge – Kaangi-angi – Bente. Setelah sampai di Bente ia menemukan lokasi yang cocok untuk pembangunan mesjid yang baru. Masjid yang dibangun itu diberi nama masjid Agung Ahmadi.

Bersambung.....

Oleh : Ahmad Daulani

Sumber : dikutip dari buku Kaledupa Dalam Lintasan Sejarah

Tarekat Qadiriyah : Ajaran & Nasehat Kuno yang Sirna dari Bumi Kahedupa

  oleh : Ahmad Daulani Di antara kehidupan modern dan budaya barat yang merajalela, ada kelip cahaya di Kahedupa yang   merawat ayat-ayat ...