Meskipun makam ini sekarang tampak tak terurus dan sudah banyak yang melupakannya namun sosok yang ada dibaliknya adalah sosok yang sangat legendaris dan sangat mengemuka di negeri Kahedupa, negeri Buton dan negeri Pancana Muna pada akhir abad ke 16 Masehi.
Di Kahedupa ia bernama La Tingku, ia adalah salah satu bangsawan Kahedupa yang memimpin wilayah Tombuluruha. Ia juga dikenal sebagai ahli perang yang sangat handal sehingga di Kahedupa juga ia dikenal dengan nama Kakadho Tombuluruha.
Sezaman dengan La Tingku yang memimpin Tombuluruha, Kahedupa dimasa itu dipimpin oleh raja La Molingi sementara Buton di pimpin oleh Sultan Laelangi.
Jauh sebelum masa itu sejatinya telah terbentuk persekutuan pertahanan keamanan baik keamanan luar maupun di dalam negeri yang terdiri dari 5 kerajaan yang digagas oleh Sultan Murhum. Persekutuan tsb dikenal dengan persekutuan BHARATA dengan Buton sebagai sentralnya. Kelima negeri itu adalah Buton, Kahedupa, Muna, Kolencusu dan Tiworo.
Tetapi persekutuan bharata mengalami instabilitas pada masa pemerintahan sultan Laelangi disebabkan oleh tindakan perubahan (amandemen) dalam Martabat Tujuh secara sepihak. Beberapa perubahan yang sangat fundamental adalah tentang monopoli wilayah Bharata dan pembentukan Kamboru-mboru Talupalena.
Sikap Laelangi tersebut mendapatkan penolakan dari negeri-negeri bharata dan memicu perlawanan Pancana Muna, mereka secara terbuka menentang dan melawan keputusan Buton yang berimplikasi pada situasi instabilitas kesultanan Buton.
Selanjutnya Laelangi meminta bantuan kepada Kahedupa untuk turut mengamankan situasi Buton yang sedang tidak stabil. bharata Kahedupa mengirim La Tingku sebagai perwakilan. Sesampai di Buton semua utusan dari negeri bharata dan ditambah pasukan kesultanan Buton langsung bergerak menuju Pancana Muna untuk meredam kekisruhan yang terjadi disana.
Kakadho dan pasukannya kemudian diberangkatkan ke negeri Pancana dengan melabuhkan kapalnya di negeri Lakudo. Dan dari Lakudolah jalur penyerangan itu distrategikan. Beberapa hari terjadi peperangan yang sengit antara kakadho Tombuluruhan dan raja Pancana Muna. Kemudian pasukan dari lakudo atas perintah Buton bergabung dan bersekutu dengan kakadho dan pasukan Kahedupa.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya kekisruhan yang sedang terjadi berhasil diredam. Setelah negeri pancana Muna kembali kondusif, semua utusan kembali ke istana Buton untuk melaporkan keberhasilan tugas mereka.
Laelangi ingin mengetahui siapa yang telah berhasil membunuh raja Muna, sehingga semua utusan masing-masing berlomba-lomba memperlihatkan bukti untuk menyakinkan sang Sultan tentang pembunuh raja Muna. Terakhir yang memberikan bukti adalah La Tingku dengan membawa potongan kemaluan raja Muna karena ternyata kelemahan kesaktian sang raja terletak pada kemaluan. Bukti yang dibawa oleh La Tingku mendapat pengakuan Sultan. Akhir dari pengakuan itu La Tingku diberikan gelar kakadho Baa Lasuna (kesatria yang memotong kemaluan). Dan sejak saat itu ia lebih dikenal dengan nama kakadho Balasuna.
La Tingku memiliki istri bernama Wa Kuiramba (perempuan berdarah bangsawan Waloindi) dan anak semata wayangnya bernama Wa Dakki. Wa Dakki memiliki tiga orang anak yaitu Wa Langgo, La Fatu-Fatu dan La Kangka. Setelah ia meninggal tanah warisannya di bagi oleh cucunya. Wa Langgo sebagai cucu yang tertua yang membagi tanah tsb menjadi 3 bagian. Tanah pembagian itu terdapat di fungka wa kalango-langgo, di Kangka dan di fungka Lafatu-fatu. Sampai sekarang jejak pembagian tanah kakadho Balasuna masih sering menjadi istilah "paka tamokana fa langgo safali notoppa terandano notofengka totolu na fungka".
Di Kahedupa untuk mengenang nama dan dedikasinya semua wilayah Tombuluruha yang ia pimpin diganti dengan nama Balasuna.
Oleh : Ahmad Daulani